“Dan apabila aku sakit. Dialah (Allah) yang menyembuhkanku” (As Syu’araa: 80)
Slide 1 Code Start -->

ODHA dengan Infeksi Oportunis : Dermatitis Kronis dan SGB

Perbaikan yang begitu cepat hanya dalam waktu 1 bulan pengobatan. Alhamdulllah

Control Keberadaan Virus HIV

Sangat penting di lakukan Kontrol VL selama Pengobatan Kami

Rasulullah ï·º
“Setiap penyakit ada obatnya, dan bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah”

KEBIJAKAN PENANGANAN HIV/AIDS DALAM BINGKAI SEKULER VERSUS KHILAFAH


Pendahuluan
Peringatan Hari AIDS sedunia pada tanggal 1 Desember merupakan momentum rutin yang digawangi UNAIDS untuk mempopulerkan program global penanggulangan HIV AIDS.    Berbagai langkah dan strategi –pada berbagai level- sudah dilakukan untuk mengendalikan dan menghilangkan epidemi HIV/AIDS di dunia. Namun ternyata hingga kini ’perang melawan HIV/AIDS’ ini tidak juga berhasil. Alih-alih berkurang atau minimal stagnant hingga akhirnya rudimenter (menghilang), ternyata jumlah penderita HIV/AIDS ini justru bertambah dari tahun ke tahun. Saat ini dunia telah terjangkit HIV/AIDS dengan angka yang memiriskan hati. HIV/AIDS di dunia sebanyak 25 juta dan saat ini di dunia 33 juta orang yang masih hidup bersama HIV/AIDS “Kasus HIV/AIDS di Indonesia bagaikan gunung es. Yang terlihat hanya 10 persen dari jumlah kasus yang sebenarnya,” kata Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) Nafsiah Mboi. KPAN memprediksi jumlah kasus HIV/AIDS sebenarnya  mencapai 298.000 kasus. Padahal jumlah yang dilaporkan, untuk penderita AIDS hanya 18.442 dan kasus HIV berjumlah 28.260 kasus. Sehingga total penderita HIV/AIDS hanya mencapai 46.702 kasus.

Data  KPA N menunjukkan, tahun 1987 jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia masih 5 kasus. Dan hanya dalam tempo 10 tahun, bertambah menjadi 44 kasus. Tetapi sejak 2007, kasus AIDS tiba-tiba melonjak menjadi 2.947 dan periode Juni 2009, meningkat  hingga delapan kali lipat menjadi 17.699 kasus.(www.bkkbn.or.id/18/11/09)
Dengan dalih untuk mengatasi laju pertambahan HIV AIDS yang telah mengancam nyawa manusia, UNAIDS menyeru Negara- Negara anggota untuk melaksanakan program penanggulangan HIV AIDS melalui program-program :  kondomisasi, substitusi metadon, pembagian jarum suntik steril dan hidup sehat dengan ODHA.  Namun, sampai saat ini tidak ada satu negarapun yang mampu memberi jaminan bahwa berhasil menghilangkan  penyebaran HIV AIDS. Hal ini disebabkan karena factor penularannya tidak secara serius di hilangkan, sehingga wajar HIV/AIDS tidak akan pernah bisa hilang di dunia ini.  Disinyalir, mayoritas penularan melalui heteroseksual (48.8%; Heteroseksual bukan hanya karena suami-istri semata, tetapi karena sering berganti-ganti pasangan (pergaulan bebas/perselingkuhan),pengguna narkoba (41.5%) dan homoseksual(3.3%). Apa yang salah dari kebijakan penanganan epidemi HIV/AIDS selama ini? 


Kesalahan Kebijakan Penanggulangan HIV-AIDS di Dunia dan Indonesia
Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia secara umum mengadopsi strategi yang digunakan oleh UNAIDS dan WHO. Kedua lembaga internasional ini menetapkan beberapa langkah penanggulangan HIV/AIDS di dunia dengan beberapa area prioritas.. Upaya penanggulangan HIV/AIDS versi UNAIDS ini telah menjadi kebijakan nasional yang berada di bawah koordinasi KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional).
Diantara program-program yang masuk dalam area pencegahan pada Strategi Nasional Penanggulangan HIV-AIDS adalah: kondomisasi, Subsitusi Metadon, Pembagian Jarum Suntik Steril dan Hidup sehat bersama ODHA.  Program-program secara hakiki ternyata tidaklah mampu menghilangkan penyebaran HIV/AIDS, bahkan berpotensi untuk mempertahankan keberadaan penyebaran virus ini tetap ada di sekeliling kita.  Hal ini di jelaskan dalam pemaparan di bawah ini

  1. 1.      Kondomisasi (Obral Kondom = leluasa berzina/alat penyebar HIV AIDS)
Kondomisasi (100% kondom) sebagai salah satu butir dari strategi nasional tersebut telah ditetapkan sejak tahun 1994 hingga sekarang. Kampanye pengunaan kondom awalnya dipopulerkan melalui kampanye ABCD. ABCD, yaitu A: abstinentia; B: be faithful; C: use Condom dan D: no Drug.
Saat ini kampanye penggunaan kondom semakin gencar dilakukan melalui berbagai media, seperti buklet-buklet, melalui stasiun TV nasional, seminar-seminar, penyebaran pamflet-pamflet dan stiker dengan berbagai macam slogan yang mendorong penggunaan kondom untuk ‘safe sex’ dengan ‘dual protection’ (melindungi dari kehamilan tak diinginkan sekaligus melindungi dari infeksi menular seksual). Kampanye kondom tak jarang dilakukan dengan membagi-bagikan kondom secara gratis di tengah-tengah masyarakat seperti mal-mal dan supermarket. Bahkan ada pula disertai dengan peragaan penggunaan kondom pada alat kelamin.  Ke sekolah-sekolah, remaja, dan perguruan tinggi, kampanye kondom kian mengarus melalui program kependudukan yang dinamakan KRR (Kesehatan Reproduksi Remaja).
Bahkan, meskipun mengundang banyak penolakan, kini telah diluncurkan program ATM kondom. Hingga akhir Desember 2005 telah ada 6 lokasi ATM kondom di Jakarta yaitu di BKKBN pusat, RSPAD Gatot Subroto, Mabes TNI AD, poliklinik Mabes Polri, Dipdokkes polda Metro Jaya, dan klinik Pasar Baru.1
Kampanye kondom tak jarang dilakukan dengan membagi-bagikan kondom secara gratis di tengah-tengah masyarakat seperti mall-mall dan supermarket. Kampanye tentang kondom pun telah masuk ke perguruan tinggi dan sekolah-sekolah. Terakhir, demi memperluas cakupan sasaran penggunaan kondom (utamanya para ABG/remaja yang masih segan kalau harus membeli di apotik), kini telah diluncurkan program ATM (Anjungan Tunai Mandiri) kondom. Cukup dengan memasukkan 3 koin lima ratus perak, maka akan keluar 3 boks kondom dengan 3 rasa.
Banyak pihak yang meragukan dan menyatakan ketidaksetujuan terhadap upaya penyebaran kondom (kondomisasi) sebagai jalan untuk mencegah penularan HIV AIDS.  Paus  Benedict XVI dalam lawatannya ke Afrika pada tanggal 17 maret 2009, mengatakan:“Kamu tidak bisa menanggulanginya(HIV/AIDS) dengan membagi-bagikan kondom,” kata Paus kepada, Malahan, itu akan menambah masalah.”(www.acehkita.com/19/03/09). Organisasi medis nirlaba, MER-C, bahkan secara tegas menolak kampanye penggunaan kondom sebagai tindakan pencegahan penyebaran HIV/AIDS. Sebagaimana dinyatakan USCDC (United State Center of Diseases Control), bahwa  program kondomisasi telah gagal dalam mengatasi bahaya HIV/AIDS di AS.
Kondomisasi tidak berhasil memutus mata rantai penularan HIV-AIDS. Promosi kemampuan kondom untuk mencegah penularan HIV/AIDS ternyata mengandung kebohongan dan bahaya besar, hal ini dapat dilihat dari beberapa hal:
  1.         i.     Secara factual, kondom terbukti tidak mampu mencegah penularan HIV.  
         Hal ini karena kondom terbuat dari bahan dasar latex (karet), yakni senyawa hidrokarbon dengan polimerisasi yang berarti mempunyai serat dan berpori-pori. Dengan menggunakan mikroskop elektron, terlihat tiap pori berukuran 70 mikron,10 yaitu 700 kali lebih besar dari ukuran HIV-1, yang hanya berdiameter 0,1 mikron.11 Selain itu para pemakai kondom semakin mudah terinfeksi atau menularkan karena selama proses pembuatan kondom terbentuk lubang-lubang. Terlebih lagi kondom sensitif terhadap suhu panas dan dingin,12 sehingga 36-38% sebenarnya tidak dapat digunakan.13 Dengan demikian, alih-alih sebagai penyelamat generasi dari bahaya HIV, kondomisasi justru mendorong masyarakat berseks bebas dan mempercepat penyebaran HIV/AIDS. Ini terbukti adanya  peningkatan laju infeksi sehubungan dengan kampanye  kondom 13-27% lebih.2

  1.       ii.     Kondomisasi pintu masuk liberalisasi seks. 
         Kampanye ABCD ini tidak menyebutkan dengan tegas bahwa hubungan seks mutlak dilakukan dalam ikatan pernikahan. Tetapi yang menonjol adalah anjuran pemakaian kondom untuk seks yang aman.  Kampanye itu dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik.  Yaitu berupa buklet,15,16 leaflet, stiker, melalui station TV nasional, seminar-seminar,  yang mendorong masyarakat untuk berseks bebas dengan kondom, dengan jargon ‘safe sex use condom’.
            Kampanye kondomisasi semakin gencar dilakukan, untuk membentuk mindset(persepsi)  dan merubah perasaan masyarakat menjadi permissive dan toleran terhadap perbuatan maksiat.  Di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur, ketaqwaan kian menipis, kultur yang kian individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian menghimpit masyarakat dan maraknya industri prostitusi, kampanye kondomisasi jelas akan membuat masyarakat semakin berani melakukan perzinahan apalagi dengan adanya rasa aman semu yang ditanamkan dengan menggunakan kondom.
   Mengapa bersifat semu? Karena seks bebas akan tetap dimurkai Allah SWT meskipun menggunakan kondom.  Jangankan melakukan, mendekati perzinahan saja tidak boleh.  Dan program kondomisasi jelas-jelas bertujuan untuk  menfasilitasi berbagai kemaksiatan, termasuk perzinahan, homo.   
             Bila dicermati secara seksama, muatan liberalisasi seks yang kental dalam kampanye kondom memang tidak dapat dilepaskan dari pemikiran yang mendasari gagasan kampanye kondom itu sendiri.  Yaitu gagasan pemenuhan hak-hak reproduksi yang tidak harus dalam bingkai pernikahan.  Pandangan ini disampaikan pada Konfrensi Wanita di Bejing, tahun 1975 dan dikuatkan pada Konfrensi Kependudukan Dunia Tahun 1994 di Kairo (ICPD, 1994).  
Dengan demikian, kondomisasi tidak terbukti mampu mencegah penyebaran HIV/AIDS. Di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur, ketaqwaan yang kian tipis (bahkan mungkin tidak ada), kultur yang kian individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian menghimpit masyarakat, maraknya industri prostitusi, dan ketika seseorang tidak lagi takut dengan ancaman ’azab’ Tuhan, melainkan lebih takut kepada ancaman penyakit mematikan ataupun rasa malu karena hamil di luar nikah, maka kondomisasi dengan propaganda dual proteksinya jelas akan membuat masyarakat semakin berani, ’nyaman dan aman’  melakukan perzinahan. Sekalipun sebenarnya kondisi ’nyaman dan aman’ tersebut adalah semu.
Mencermati uraian di atas, jelaslah bahwa kondomisasi, apapun alasannya, sama saja dengan menfasilitasi seks bebas, yang dimurkai Allah swt.  Dari segi kesehatan, seks bebas jelas merupakan sarana penularan HIV/AIDS.  Seks bebas akan mengakibatkan berjangkitnya berbagai penyakit menular seksual seperti sifilis, gonore.  Hal ini akan meningkatkan resiko penularan HIV 100 kali, karena peradangan dan nyeri memudahkan pemindahan HIV menembus barier mukosa.3

  1. 2.      Subsitusi Metadon dan Pembagian Jarum Suntik Steril = Menambah Korban
Penyebaran HIV/AIDS karena penggunaan jarum suntik secara bergantian dikalangan IDU yang sangat cepat akhir-akhir ini, dijadikan sebagai alasan untuk men-sahkan tindakan memberikan jarum suntik steril dan subsitusi metadon bagi penyalahguna NARKOBA suntik. 
Saat ini, strategi subsitusi metadon dalam bentuk Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) dan pembagian jarum suntik steril telah menjadi salah satu layanan di rumah-rumah sakit, puskesmas-puskemas dan di klinik-klinik VCT (voluntary Counseling and Testing). DepKes menyediakan 75 rumah sakit untuk layanan CST (Care Support and Treatmen), tercatat 18 Puskesmas percontohan, 260 unit layanan VCT yang tersebar di seluruh Indonesia.
Melalui layanan ini, para penasun (pengguna NARKOBA suntik) dapat dengan mudah memperoleh jarum suntik dan metadon dengan harga cukup murah, yaitu sekitar Rp7500/butir. Kehidupan para penasun yang lebih teratur, tidak melakukan tindak kriminal selalu diopinikan untuk membenarkan upaya ini. Namun benarkah upaya ini akan mengurangi risiko penularan HIV/AIDS? Jawabannya jelas tidak. Mengapa?
Subsitusi adalah mengganti opiat (heroin) dengan zat yang masih merupakan sintesis dan turunan opiat itu sendiri, misalnya metadon, buphrenorphine HCL, tramadol, codein dan zat lain sejenis.  Subsitusi pada hakekatnya tetap membahayakan, karena semua subsitusi tersebut tetap akan menimbulkan gangguan mental, termasuk metadon. (Hawari, D. , 2004) Selain itu metadon tetap memiliki efek adiktif. (Bagian Farmakologi. FK. UI. Jakarta.2003) Sementara itu mereka yang terjerumus pada penyalahgunaan NARKOBA termasuk para IDU pada hakikatnya sedang mengalami gangguan mental organik dan perilaku, dimana terjadi kehilangan kontrol diri yang berikutnya menjerumuskan para pengguna NARKOBA dan turunannya tersebut pada perilaku seks bebas.
Adapun pemberian jarum suntik steril kepada penasun agar terhindar dari penularan HIV/AIDS, jelas merupakan strategi yang sangat absurd. Ketika seorang pemakai sedang ’on’ atau ’fly’ karena efek narkoba suntik tersebut, mungkinkah masih memiliki kesadaran untuk tidak mau berbagi jarum dengan teman ’senasib sepenanggungannya’?!

Di saat seperti itu, masihkah mereka memiliki kesadaran yang bagus tentang bahaya berbagi jarum suntik bersama, padahal pada saat yang sama mereka sudah lupa (baca: tidak sadar lagi) bahwa memakai narkoba suntik sebagaimana yang mereka lakukan sekarang -dengan atau tanpa berbagi jarum suntik- adalah hal yang membahayakan kesehatannya?! Lagi pula, sudah menjadi hal yang dipahami bahwa mereka-mereka yang sudah terlanjur ’terperangkap’ dalam jerat gaya hidup yang rusak ini biasanya memiliki rasa kebersamaan dan solidaritas yang sangat tinggi dengan teman-temannya sesama pemakai. Dari temanlah mereka pertama kali mengenal narkoba, dan bersama teman jugalah mereka kemudian bersama-sama berpesta narkoba. Hal ini dibuktikan oleh tingginya angka kekambuhan akibat bujukan teman-teman. Dan biasanya setiap pemakai memiliki peer group dengan anggota 9-10 orang.

Fakta menunjukkan bahwa peredaran narkoba di masyarakat berlangsung melalui jaringan mafia yang tertutup, rapi dan sulit disentuh hukum.  Jaringan tersebut bersifat internasional, terorganisir rapi dan bergerak dengan cepat.33 Selain itu, sekali masuk perangkap mafia narkoba sulit untuk melepaskan diri. Dalam kondisi lemahnya ketaqwaan, himpitan ekonomi yang semakin berat, siapa yang bisa menjamin bahwa para pelayan penasun tidak akan “bermain mata” dengan para mafia narkoba? Bukankah bisnis haram ini menjanjikan untung yang menggiurkan? Dan bukankah ini justru membiarkan penasun sebagai penyalah guna narkoba? Siapakah yang bisa melakukan pengawasan 24 jam terhadap penasun, sehingga penasun dapat dipastikan akan menggunkan jarum sendiri?
Perilaku seks bebas pada pasien yang mendapat terapi subsitusi metadon juga diakui oleh dokter yang berkerja pada salah satu program terapi rumatan metadon di Bandung.32 Dan yang penting lagi adalah para pengguna narkoba meskipun  menggunakan jarum suntik steril tetap berisiko terjerumus pada perilaku seks bebas akibat kehilangan kontrol. Sementara itu seks bebas merupakan media penularan terpenting HIV/AIDS.
            Dr. James Blogg, dari AUSAIDS, pada Simposium Nas, 30Nov-1 Des, mengatakan  AS masih menolak program kondomisasi & subsitusi metadon untuk mengatasi epidemi HIV/AIDS. 
Dengan demikian, memberikan jarum suntik meskipun steril, di tengah-tengah jeratan mafia NARKOBA sama saja menjerumuskan anggota masyarakat kepada penyalahgunaan NARKOBA. 

  1. 3.      Kepedulian Terhadap “ODHA” Penuh Kejanggalan
             “ODHA” yang dimaksud adalah Orang dengan HIV/AIDS dari kalangan pezina, pelacur, homo dan lesbi, penasun.  Dan termasuk juga orang-orang yang beresiko terinfeksi  HIV  karena termasuk komunitas pelaku maksiat ini.
          Pada International Congress on AIDS in Asia and the Pacific (ICAAP), yaitu Kongres Internasional AIDS se Asia Pacific ke 9, 9-13 Agustus 2009 lalu, semakin jelas adanya perhatian khusus kepada komunitas “ODHA”.  Yaitu adanya undangan untuk perwakilan-perwakilan organisasi-organisasi pelaku seks bebas ini, sebagaimana ada undangan untuk tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, para peneliti yang berhubungan dengan HIV/AIDS.  Mereka difasilitasi memperluas dan memperkuat jaringan, dengan dalih pemberdayaan.
            Selain itu, pasca perhelatan akbar se Asia-Pacifik yang menghabiskan dana milyaran rupiah ini sebuah station TV swasta yang berpengaruh melakukan wawancara khusus dengan seorang Gay yang memiliki reputasi Nasional.  Acara itu nampaknya untuk mengokohkan persepsi masyarakat bahwa Gay, lesbi, pelacur, pezina adalah orang-orang “baik” (bukan pelaku maksiat,) yang pantas diberi ruang kehidupan yang sama dengan orang-orang baik.
             Dan yang cukup mengejutkan adalah, adanya kongres PSK (baca:pelacur) se-Karawang.  Dan berbagai pertemuan-pertemuan yang memberikan “ruang” yang sama dengan orang-orang “baik”.
            Kepedulian Dunia terhadap “ODHA” memang “istimewa”.  Bagaimana tidak,  perbuatan mereka yang jelas-jelas dibenci Allah swt, dan bertentang dengan fitrah manusia harus dilihat sebagai perbuatan “baik” dan wajar.  Masyarakat didorong menerima pelaku maksiat ini dengan dalih HAM (Hak Asasi Manusia); dan pemerintah harus menfasilitasi aktivitas yang mereka lakukan.  Meskipun untuk semua itu harus mengorbankan orang-orang yang baik dan sehat.
Misalnya saja, hingga saat ini tidak bisa dilakukan skrining masal.  Padahal skrining masal sangat penting sebagai salah satu langkah preventif penanggulangan HIV/AIDS, demikian dinyatakan Prof. Dr. dr. Zubairi Djoerban, SpPD-KHOM (Republika, Ahad 27 Mei 2007). Hal ini karena penderita HIV/AIDS pada  stadium asimtomatik terlihat sehat-sehat saja, namun darah serta cairan tubuh penderita berpotensi menularkan HIV dan fase ini berlangsung sangat lama, yaitu 3 hingga 10 tahun.3
Demikian pula petugas VCT, tidak bisa melakukan pemeriksaan terhadap orang-orang yang diduga dan bresiko terinfeksi HIV, kecuali atas izin dan kerelaan yang bersangkutan.  Dan hasil pemeriksaan harus dirahasiakan, meskipun terbukti positif mengidap HIV.  Pada hal pengidap HIV berpotensi menularkan HIV meskipun terlihat sehat-sehat saja (belum sampai pada fase AIDS).  Sementara itu kampanye “Hidup Sehat Bersama ODHA”, semakin menghilangkan sikap kehati-hatian berbagai pihak terhadap penyakit yang membahayakan ini.
Akibatnya, HIV semakin mudah membunuh.  Apa lagi adanya resiko koinfeksi TB (Tuberkulosis), HIV dan malaria.  Penderita HIV beresiko lebih tinggi terinfeksi TB dan sebaliknya. Sementara itu, terdapat 9,2 juta penderita TBC di Indonesia (WHO, 2008). 
Jika dicermati perjalanan penyakit HIV /AIDS yang menghabiskan waktu satu dekade (Gambar 1),4 terlihatlah adanya fase-fase kritis penularan tersebut. Selama fase-fase kritis, ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) berada dalam kondisi yang memungkinkan penularan melalui darah dan atau cairan tubuhnya. Terlebih lagi karena ODHA sendiri maupun orang-orang disekitarnya  tidak menyadari potensi tersebut, baik karena tidak terlihat gejala adanya infeksi HIV/AIDS pada penderita maupun karena hasil uji lab yang negatif.

Perjalanan penyakit HIV/AIDS diawali dengan adanya infeksi primer, yaitu bila sejumlah HIV dengan derajat virulensi tertentu masuk dalam sistem peredaran darah, seperti melalui mukosa atau luka (meskipun sangat kecil), sementara itu sistem imun tidak mampu mencegah interaksi HIV dengan sel-sel imun (CD4) sebagai sel target.3,4,5 Fase ini tidak menunjukkan gejala yang khas, sehingga pengobatan dan antisipasi kemungkinan penularan melalui darah dan cairn tubuh ODHA tidak bisa dilakukan segera. Biasanya penderita merasa lelah, terlihat adanya ruam kulit dan ulkus di mulut serta genital.9 Gejala tidak khas ini muncul setelah 2-3 minggu terinfeksi dan akan hilang 2-3 minggu kemudian.6
Dalam waktu 24-48 jam setelah terjadi infeksi primer, sel dendritik yang terinfeksi bermigrasi ke kelenjar limfe regional. Replikasi di sel limfosit berlangsung dengan cepat, setiap sel limfosit dapat mengeluarkan 5000 partikel virus, jumlah partikel HIV meningkat eksponensial secara terus menerus.3,17,18
Respon imun terlihat baik diawal infeksi, tetapi tidak mampu mengatasi infeksi dan menurun sejak bulan pertama hingga 3 bulan kemudian.  Akibatnya, uji serologi tidak mampu mendeteksi adanya infeksi, kondisi ini dikenal dengan sebutan window periode.  Ini adalah fase kritis berikutnya, karena tidak terlihat gejala dan uji serologi juga negatif. Sementara itu, HIV terus bereplikasi, darah dan cairan tubuh penderita berpotensi menularkan HIV.3,17,18 Pada fase inilah umumnya terjadi infeksi HIV melalui transfusi darah.
Adapun stadium asimtomatik, penderita terlihat sehat-sehat saja, sehingga  ODHA bisa hilang kehati-hatian dan kewaspadaan untuk tidak menularkan dan demikian juga orang-orang disekitarnya. Sementara itu HIV bereplikasi secara aktif di jaringan limfoid, dan darah serta cairan tubuh penderita berpotensi menularkan HIV. Fase ini berlangsung sangat lama, yaitu 3 hingga 10 tahun.3,17,18  Inilah yang menjadi alasan mengapa fase ini dianggap kritis.
Setelah melampai masa tanpa gejala, penyakit memasuki stadium AIDS, ditandai dengan penurunan kerja sistem imun yang signifikan, perkembangan neoplasma yang tidak lazim, serta berbagai infeksi opurtunistik. Pada keadaan AIDS lanjut terjadi penurunan sistem kekebalan tubuh yang tajam, sehingga tubuh tak mampu membuat antibodi dan pemeriksaan serologi negatif. Sementara itu derajat virulensi HIV terus meningkat seiring dengan peningkatan stadium, ini berarti pada fase AIDS, risiko terinfeksi akibat terpapar darah dan cairan tubuh ODHA semakin tinggi.3,17,18
Darah dan cairan tubuh ODHA berisiko menularkan HIV karena mengandung virus yang  dapat bertahan hidup tujuh hari pada suhu kamar.7  Kadarnya adalah: 18.000 partikel/mL darah; 11.000 partikel/mL semen; 7.000/mL cairan vagina; 4.000 partikel/mL cairan amnion; dan 1 partikel/mL saliva.8 Tingkat risiko penularan tinggi adalah darah, serum, semen, sputum dan sekresi vagina. Cairan amnion, cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan peritoneal, cairan perikardial, cairan sinovial tergolong masih sulit ditentukan risikonya. Mukosa seviks, muntah feses, saliva, keringat, air mata dan urin tergolong risiko rendah selama tidak terkontaminasi darah. Penelitian pada binatang menunjukkan peningkatan risiko jika paparan terjadi dengan darah yang volumenya banyak dan luka yang dalam. Risiko juga meningkat jika orang yang menjadi sumber penularan dalam keadaan AIDS lanjut, atau viral load tinggi.9
Oleh karena itu, sebaiknya dihindari untuk bersalaman, berciuman, penggunaan bersama alat makan, toilet,sikat gigi, alat pencukur, dan alat-alat lain yang dapat terkontaminasi darah (termasuk darah haid). Orang yang terinfeksi agar tidak mendonorkan darah, plasma, jaringan tubuh atau sperma. Wanita seropositif atau wanita dengan pasangan seksual seropositif , jika hamil bayi berisiko tinggi terinfeksi HIV. Setelah kecelakaan yang menimbulkan perdarahan, permukaan yang terkontaminasi harus dibersihkan pencuci rumah tangga yang diencerkan 1:10 dalam air. Alat yang menusuk kulit, misal jarum hipodemik, atau jarum akupuntur harus disterilisasi uap.  Alat kedokteran gigi harus disterilisasi panas sebelum penggunaan ulang.3
Adanya fase-fase kritis penularan, sementara itu darah serta semua cairan tubuh ODHA berpotensi menularkan HIV/AIDS, tetapi karena alasan HAM telah mengabaikan aspek kewaspadaan dan kehati-hatian. Jelas hal ini sama saja menfasilitasi penularan HIV/AIDS pada orang yang sehat. Upaya media massa menutup-nutupi informasi sebenarnya seputar AIDS, bahkan mengangkat isu yang keliru, sebenarnya justru menutup jalan penyelesaian yang tepat terhadap penanggulangan HIV/AIDS.
Dengan demikian, perlakukan yang istimewa terhadap “ODHA” tidak saja menenggelamkan masyarakat dalam perbuatan maksiat (seks bebas), namun juga   melapang HIV membantai jutaan bahkan ratusan juta orang-orang yang sehat.
            Lebih jauh lagi, uraian di atas membuktikan sesungguhnya kepedulian Dunia (AS dan sekutunya)  terhadap HIV/AIDS hanyalah tipu daya belaka. Tipu daya untuk mengokohkan keberadaan ideologi Kapitalis dan menghalangi kebangkitan Ideologi Islam.
Allah swt telah mengingatkan QS 2:120, yang artinya ”Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". Dan QS 8:30, yang artinya “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. Peringatan-peringatan Allah SWT tersebut tentu saja sangat pantas bahkan wajib kita yakini, bahwa musuh-musuh Allah SWT tidak akan henti-hentinya melakukan kejahatan, konspirasi, sehingga kita mengikuti jalan hidup mereka, mejauhkan kita dari kehidupan Islam dan perjuangan untuk itu.

Paradigma Sekuler-Liberal dalam  Penanggulangan HIV/AIDS
Telah jelas bahwa penanggulangan HIV/AIDS melalui kondomisasi, subsitusi metadon, pembagian jarum suntik steril dan pemberian hak hidup atas nama ”Kedulian” terhadap ODHA, sebenarnya tidak realistis dan tidak rasional. Kedua perilaku  (free sex dan penyalagunaan NAPZA) yang kita semua sudah sepakat menyebutnya sebagai ’penyimpangan perilaku’ sebenarnya menunjukkan kesepakatan yang seharusnya kita ambil bahwa sebuah penyimpangan adalah kesalahan. Sebuah penyimpangan atau kesalahan adalah sesuatu yang harus kita luruskan dan kembalikan kepada jalan yang benar. Pembenaran terhadap sebuah penyimpangan perilaku/kesalahan meniscayakan munculnya kerusakan. Sehingga upaya yang kita lakukan seharusnya all out dalam mengupayakan pelurusan terhadap penyimpangan yang terjadi, sembari menutup celah ’muncul dan terpeliharanya’ penyimpangan perilaku tadi di tengah-tengah masyarakat.
Ketidaktegasan kebijakan ini untuk menjadikan perilaku seks bebas dan penyalahgunaan narkoba sebagai suatu tindakan menyimpang, salah dan harus diluruskan, menunjukkan dengan sangat jelas bahwa paradigma yang melandasi strategi ini adalah paradigma sekuler dan liberal. Dikatakan sekuler karena paradigma ini berupaya menjauhkan pengaturan kehidupan dunia dari agama atau sebaliknya. Sehingga standard untuk menilai apapun (termasuk perbuatan manusia) bukanlah halal-haram, baik-buruk ataupun terpuji-tercela sebagaimana yang diajarkan oleh agama, melainkan ’kemanfaatan (yang lebih bersifat fisik/materi)’ yang dijadikan ukuran sebuah perbuatan itu baik atau buruk, dilakukan atau ditinggalkan, dibolehkan atau dilarang. Dikatakan liberal karena paradigma ini menjadikan kebebasan individu (termasuk didalamnya kebebasan seksual) sebagai hal yang diagung-agungkan, dan harus dijamin oleh negara secara mutlak atas nama hak asasi manusia. Tidak ada yang membatasi kebebasan individu ini kecuali kebebasan individu yang lain. Dan tugas negara adalah menjadi penjamin atas terpenuhinya semua kebebasan individu tadi.
Inilah yang meniscayakan negara pengusung liberalisme senantiasa mengambil kebijakan yang bersifat ”permissive/serba boleh” atas nama HAM . Dalam paradigma sekuler-liberal, kita tidak boleh melarang seseorang untuk tidak bergonta-ganti pasangan atau membatasi orientasi seksualnya agar tidak kepada sesama jenis dengan alasan hal itu adalah perbuatan menyimpang (melanggar HAM) dan akan menyebabkan dia beresiko terkena infeksi menular seksual. Karena sekali lagi, kebebasan seksual ini adalah bagian dari kebebasan individu yang harus dijamin. Gampangnya, seseorang mau jadi sakit atau tidak, baik atau menyimpang, adalah hak asasi dia (kebebasan dia untuk memilih) yang harus kita hargai dan hormati, dengan tidak memaksakan pilihan kita kepada dia. Akan tetapi kita boleh keberatan dengan perilaku seks bebas seseorang tersebut, kalau kita merasa terganggu. Misalnya, kita merasa risih melihat aktivitas seks bebas tersebut di lakukan di tempat umum atau di tengah keramaian yang membuat kita terganggu melakukan aktivitas kita. Maka dalam keadaan dua hak kebebasan ini meminta jaminan pemenuhan, sementara kalau dibiarkan meniscayakan adanya benturan, maka negara akan turun tangan dengan kebijakan ’jalan tengah’nya. Dalam hal ini, kebijakan yang mungkin diambil adalah menetapkan dimana area seseorang boleh melakukan free sex secara legal (lokalisasi prostitusi) dan dimana area yang terlarang, tanpa harus mengatakan bahwa free sex adalah perbuatan yang salah, dan seks dalam bingkai pernikahan adalah yang benar. Karena karakter kebijakan ’permissive’ pada sistem berbasis paradigma sekuler-liberal ini adalah tidak menghukumi mana yang benar sehingga harus dibela, dan mana yang salah sehingga harus dilarang. Akan tetapi dia harus mengakomodasi dua kutub tersebut tanpa harus ada kejelasan sikap tentang benar atau salah.
Sebaliknya, ketika suatu saat terjadi perilaku -yang umumnya dipandang- menyimpang dan merugikan akan tetapi tidak ada pihak lain yang merasa terampas hak/kebebasannya, maka negara dalam kondisi ini tidak bisa turun tangan untuk melarang perilaku tersebut. Misalnya fenomena ’swinger sex’ atau saling bertukar pasangan suami/istri dengan orang lain atas dasar suka sama suka (baca: sepakat dan saling menyetujui untuk berselingkuh dengan bertukar pasangan dengan orang lain) adalah sesuatu yang dipandang ’baik-baik’ saja oleh sistem ini karena kebebasan individu adalah sesuatu yang harus dijamin, sementara tidak ada yang merasa terampas hak/kebebasannya dengan perilaku ini.

Khilfah Penjamin Penyelamat Generasi=Bebas Seks Bebas &HIV AIDS
          Berbeda dengan sistem kehidupan sekuler, sistem kehidupan Islam adalah sistem kehidupan yang membebaskan manusia dari segala rasa takut, demikian pula rasa takut akibat ancaman senjata bilogi AS, sebagaimana firman Allah swt dalam QS QS 24:55, yang artinya, Allah swt berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka; dan akan menukar (keadaan mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.  Mereka tetap menyembah-Ku tampa mempersekutukan sesuatu apapun denganAku.  Siapa saja yang tetap kafir sesudah janji itu maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.
            Hal yang semakna juga diungkapkan Rasulullah saw, beliau mengibaratkan sistem kehidupan Islam (Khalifah) sebagai pelindung. Yaitu pelindung dari segala yang akan membahayakan kehormatan, jiwa dan harta kaum muslimin, termasuk pelindung masyarakat dari ancaman kuman rekayasa AS, dan seks bebas, hadist itu berbunyi, yang artinya”Sesungguhnya iman (khalifah) itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang dibelakngnya dan berlindung kepadanya”.(HR Muslim).   
            Kemampuan Islam membebaskan generasi dari ancaman bahaya HIV dan seks bebas adalah pasti, yaitu karena sifatnya sebagai sistem kehidupan yang berasal dari Allah swt Pencipta manusia, memiliki visi dan misi yang mendunia, yaitu rahmat bagi seluruh alam, penyelamat kehidupan, kehormatan, dan aqidah.   umat. Allah swt  berfirman dalam QS 21:107, yang artinya “Dan tidaklah   Kami mengutusmu (Muhammad ) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam.”  Rahmat yaitu yang mensejahterakan, termasuk di dalamnya menyehatkan. 
Hal ini memastikan sistem kehidupan Islam (Khilafah Islam) akan menjadi sebuah kekuatan politik yang akan mengalahkan kekuatan politik AS. 
          Sesungguhnya, Allah swt telah mengharamkan segala sesuatu yang membahayakan.  Karena Rasulullah saw, bersabda, yang artinya “Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan membahayakan orang lain dalam Islam”.(HR Ibnu Majah). Hadis ini soheh.  

Upaya  Khilafah Menghilangkan HIV/AIDS
Ada dua program yang dapat dilakukan untuk menuntaskan penularan HIV/AIDS dalam bingkai khilafah Islamiyah, yaitu upaya preventif untuk memutuskan rantai penularan agar kuman tersebut tidak menyebar pada orang-orang yang sehat. Dan kedua, upaya kuratif, yaitu mengobati masyarakat yang  terinfeksi HIV.
  a.     Upaya Preventif
 Upaya preventif yang dimaksud dalam hal ini adalah perubahan perilaku yang liberal menjadi perilaku yang sesuai dengan syariat Islam. Upaya ini penting karena transmisi (media penularan yang utama)  penyakit HIV/AIDS berkaitan erat dengan perilaku seks bebas dan penyalahgunaan narkoba.  Oleh karena itu pencegahannya harus  dengan menghilangkan segala bentuk praktek seks bebas dan segala hal yang menfasilitasinya , yang meliputi media-media yang merangsang (pornografi-pornoaksi), tempat-tempat prostitusi, club-club malam, tempat maksiat  dan pelaku maksiat.
         Untuk itu, Departemen Luar Negeri Khilafah wajib membatalkan segala konvensi internasional yang membentuk mindset permissive di tengah masyarakat, dan menfasilitasi perilaku seks bebas dan penyalahgunaan narkotika.  Negara juga harus melepaskan diri dari kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga internasional dalam hal ini WHO, UINAIDS, NODOC, karena terbukti semakin menguatkan ancaman bahaya HIV dan seks bebas.   
         Sementara itu dalam Negeri, Khalifah menerapkan Islam secara kaafah, yaitu sistem pendidikan Islam yang akan membentuk individu yang berkepribadian islam; sistem ekonomi Islam yang mensejahterakan semua orang serta menjauhkan dari segala perbuatan maksiat termasuk bisnis/mafia prostitusi dan narkoba; menerap sistem pergaulan Islam yang membersihkan masyarakat dari perilaku seks bebas dan akhlak yang rendah; menerapkan sistem sangsi yang sesuai syariat yang membuat masyarakat takut dan berhati-hati melanggar aturan Allah swt.
         Karena itu Khalifah melarang perzinahan termasuk berduaan  tanpa ada kepentingan yang dibolehkan syara’ dan dijatuhkan sangsi bagi pelanggarnya.  Yang demikian karena Islam mengharamkan perbuatan ini, sebagaimana hadist Rasulullah saw yang artinya “Jangan sekali-kali seorang lelaki dengan perempuan menyepi (bukan muhrim) karena sesungguhnya syaithan ada sebagai pihak ketiga”. (HR Baihaqi).  Adapun larangan perbuatan zina, Allah SWT sampaikan pada QS 17:32, yang artinya “Janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan”.
Segala cela bagi hadirnya perilaku homoseks  (laki-laki dengan laki-laki) dan lesbian  (perempuan dengan perempuan) wajib ditutup. Karena Allah swt mengutuk kedua perbuatan ini, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS 7:80-81, yang artinya “Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: Mengapa kamu mengerjakan perbuatan kotor itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun manusia (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka ), bukan kepada wanita. Bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”.
Khilafah akan melarang pria-wanita melakukan perbuatan-perbuatan  yang membahayakan akhlak dan merusak masyarakat, termasuk pornografi dan pornoaksi. Karena Islam melarang seorang pria dan wanita  melakukan kegiatan  dan pekerjaan yang menonjolkan sensualitasnya. Rafi’ ibnu Rifa’a pernah bertutur demikian, yang artinya “Nabi Saw telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan  wanita kecuali yang dikerjakan oleh kedua tangannya. Beliau bersabda “Seperti inilah jari-jemarinya yang kasar sebagaimana halnya tukang roti, pemintal, atau pengukir.
Penyalahgunaan Narkoba termasuk sesuatu yang dapat menghilangkan akal dan menjadi pintu gerbang dari segala kemaksiatan termasuk seks bebas. Sementara seks bebas inilah  media penting penyebaran virus HIV/AIDS. Selain itu, penyalahgunaan narkoba itu sendiri juga menjadi media penting penularan HIV/AIDS.  Oleh karena itu, segala hal yang dapat menjerumuskan setiap orang pada penyalahgunaan narkoba tidak dibolehkan.
Dan Islam mengharamkan khamr dan seluruh benda yang memabukkan serta mengharamkan narkoba. Sabda Rasulullah Saw , yang artinya “Setiap yang menghilangkan akal itu adalah haram”(HR. Bukhori Muslim).
Karena aktivitas seks bebas, dan segala yang menfasilitasinya, penyalahgunaan narkoba dan segala yang menfasilitasinya adalah haram (aktivitas kriminal/kejahatan).  Maka Islam telah menentukan sangsi bagi pelakunya.  Yaitu berupa hukuman rajam bagi pezina muhshan (sudah menikah), dan hukum bunuh bagi pelaku homoseksual.  Hal ini dengan sendirinya akan memutuskan rantai penularan  dari pengidap HIV pelaku maksiat ini.
Adapun pezina ghoiru muhshan dicambuk 100 kali, dan penyalahgunaan narkoba juga dihukum cambuk. Para pengedar dan pabrik narkoba diberi sangsi tegas sampai dengan mati. Semua fasilitator seks bebas  yaitu pemilik media porno, pelaku porno, distributor, pemilik tempat-tempat maksiat, germo, mucikari, backing baik oknum aparat atau bukan, semuanya diberi sangsi yang tegas dan dibubarkan.
Pencegahan penyebaran kuman infeksi menular seksual seperti HIV/AIDS, adalah dengan melaksanakan hukum rajam bagi pezina muhson oleh Departemen Peradilan.
            Khalifah juga mendorong dan menfasilitasi masyarakat untuk hidup bersih.  Membentuk mindset pentingnya kebersihan untuk menghindari penularan HIV melalui program di berbagai media masa.  Secara praktis upaya promosi kesehatan ini dapat dilakukan oleh Departemen penerangan Khilafah.
            Khalifah (yang secara praktis dilakukan Departemen terkait) menjamin  penyediaan fasilitas umum yang sesuai syariat, sehat dan bersih.  Rasulullah saw bersabda, yang artinya:”Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan, Mahabersih dan mencintai kebersihan, Mahamulia dan mencintai kemuliaan.  Karena itu, bersihkanlah rumah dan halaman kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi” (HR At-Tirmidzi dan Abu Ya'la).
Demikianlah cara Khilafah melakukan upaya preventif.

 b.  Upaya Kuratif
         Upaya pengobatan yang dilakukan haruslah mengikuti prinsip-prinsip pengobatan yang sesuai dengan syariat Islam.  Yaitu antara lain tidak membahayakan, tidak menggunakan bahan-bahan yang diharamkan, mendorong dan menfasilitasi penderita untuk semakin taqwa kepada Allah swt.
         Khalifah wajib memberikan pengobatan gratis bagi para penderita HIV yang memiliki hak hidup.  Selain gratis, juga mudah dijangkau semua kalangandan  dalam jumlah memadai.  Karena kesehatan termasuk kebutuhan pokok publik yang wajib dijamin pemenuhannya oleh Negara.  Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw yang artinya, “Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Al-Bukhari).
         Hanya saja haruslah dilakukan screening masal terlebih dahulu untuk mengetahui pengidap yang tidak terlihat sebagai pengidap HIV, sementara itu ia bisa menularkan kuman HIV dan kuman HIV sudah “tersebar” di tengah masyarakat. 
         Upaya kuratif ini dilakukan oleh Departemen Kemaslahatan Umat, Bidang kesehatan.  Dalam hal ini dibutuhkan tenaga medis yang profesional dibidangnya, seperti dokter, perawat, laboran, apoteker.
         Departemen industri bidang farmasi dan peralatan medis harus difasilitasi untuk memproduksi peralatan medis, obat-obatan yang dibuthkan untuk pengobatan HIV.  Industri farmasi juga harus didorong untuk memproduksi sarana dan prasaran yang dibutuhkan untuk rapid test (pemeriksaan cepat).
            Khalifah juga wajib memotivasi danmenfasilitasi para ahli di bidang biomedik, para dokter, ahli farmasi untuk menemukan obat HIV yang hingga saat ini belum ditemukan obatnya.  Karena sesungguhnya setiap penyakit pasti ada obatnya.  Rasulullah saw bersabda, yang artinya “Setiap penyakit ada obatnya.  Jika obat yang tepat diberikan, dengan izin Allah, penyakit itu akan sembuh.”(HR Ahmad dan Hakim).
           Selain itu, Khaligah juga harus memutuskan dan mencabut segala perjanjian yang bersifat mengebiri dan menjajah Indonesia di bidang industri farmasi dan kesehatan
         Dalam upaya pencegahan penyebaran penyakit pada orang yang sehat, Khalifah wajib menyediakan rumah sakit atau tempat perawatan khusus bagi pasien penderita HIV yang memiliki hak hidup. Seperti penderita HIV akibat efek spiral (anak yang HIV karena orang tuanya pengidap HIV).  Dan selama masa perawatan pengidap penyakit diisolasi dari orang yang sehat, sedemikian rupa sehingga penularan dapat dicegah. Hal ini karena Rasulullah saw bersabda, yang artinya: “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menularkan kepada yang sehat” (HR Bukhari). Demikian pula sabda beliau, yang artinya “Apabila kamu mendengar ada wabah di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya dan apabila wabah itu berjangkit sedangkan kamu berada dalam negeri itu , janganlah kamu keluar melarikan diri” (HR. Ahmad, Bukhori, Muslim dan Nasa’i dari Abdurrahman bin ‘Auf).
         Hanya saja selama diisolasi (dikarantina), haruslah dipenuhi segala kebutuhan pengidap HIV .  Dapat berinteraksi dengan orang-orang tertentu di bawah  pengawasan  dan  jauh dari media serta aktivitas yang mampu menularkan.  Juga harus diupayakan rehabilitasi  mental (keyakinan, ketawakalan, kesabaran) sehingga mempercepat kesembuhan dan memperkuat  ketaqwaan. Telah diakui bahwa kesehatan mental mengantarkan pada 50% kesembuhan.25
        Adapun untuk melakukan semua itu saat ini sangatlah mungkin.  Karena  sesungguhnya Indonesia memiliki SDM yang unggul, misal ahli biomedik, biologi molekuler, tekhnik kimia, kefarmasian yang berpotensi menjadi pakar masa depan dalam pembangunan senjata biologi Daulah.  Pelaksanaan sistem pendidikan berdasarkan aqidah Islam akan mempercepat proses penyediaan SDM yang dibutuhkan.
            Jelas untuk melakukan dua agenda di atas dibutuhkan anggaran yang besar.  Pengelolaan baitul maal yang efektif  yang ditopang dengan berjalannya sistem perekonomian yang sesuai syaraiat Islam,  memungkinkan Negara mampu membiayai berbagai kebutuhan yang diperlukan. Apa lagi Indonesia memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, yang merupakan salah satu pos pemasukan keuangan Negara yang sangat penting dan strategis.
            Anggaran untuk pos jihad dapat diambil dari sumber pemasukan baitul maal mana saja, yang meliputi Fa-i dan kharaj; harta milik umum; dan zakat.  Bahkan ketika kas baitul maal kosong,  sementara agenda ke dua tidak bisa ditunda, maka Khalifah bisa mengambil tabaru'at dari kaum muslimin.  Dan jika tidak mencukupi, Daulah dibolehkan menetapkan kewajiban pajak dalam rangka memenuhi anggaran yang dibutuhkan.       Sedang anggaran untuk melakukan upaya preventif dan kuratif salah satunya bisa diambil dari pos pemasukan pemilikan umum.
            Hanya saja kepentingan Indonesia hidup dalam sistem kehidupan Islam bukanlah semata-mata karena dorongan menyelamatkan generasi dari ancaman HIV, serangan senjata biologi AS dan agar terbebas dari seks bebas.  Akan tetapi ini adalah kewajiban yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, karena sesungguhnya kaum muslimin hanya boleh hidup tampa khilafah paling lama tiga hari saja.  Dan sekarang sudah 85 tahun sang perisai tidak ada di tengah-tengah kita.  Sungguh kita merindukannya.   Semoga melalui upaya ini Allah swt mendekatkan pertolongan-Nya, memenuhi janjinya, kembalinya Khilafah Rasyidah ke dua dalam waktu dekat.  Amien ya Allah. 
Allahua'lam.


    Daftar Pustaka
  1. Hawari, D.  2006.  Global Effect, HIV/AIDS, Dimensi Psikoreligi.  Balai Pustaka-FKUI.  Jakarta.
  2. Weller S, Davis K. Condom effectiveness in reducing heterosexual HIV transmission (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 2,. Chichester, John Wiley & Sons. UK, 2004
  3. Brooks, GF et al. Medical Microbiology.Ed.20th. Terjemahan.EGC:Jakarta, 1995.
  4. Murray, P.R.,   Rosenthal,  K.S., Pfaller,M. A.  Medical Microbiology, fifth edition.  Elsevier Mosby.  2005.
  5.  Holmes KK et al.Sexual Transmitted Diseases.Ed 3th. New York:McGraw-Hill, 1999.
  6. Direktorat Jenderal.  P2MPL-DepKes.  Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagai ODHA.  DepKes   RI.  Jakarta, 2003.
  7. Tjokronegoro A, Djoerban Z dan Matondang C.  S.  Seluk Beluk AIDS  yang Perlu Anda Ketahui. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 1992. 
  8. Aditiawati, P.  HIV/AIDS. Diskusi HIV/AIDS.  ITB.  Bandung, 2006.   (handout).
  9. Djauzi,S dan Djoerban, Z. Penatalaksanaan Infeksi HIV di Pelayanan Kesehatan Dasar.Balai Penerbit FKUI. Jakarta,2002
  10. Anomalous Fatigue Behavior in Polysoprene," Rubber Chemistry and Technology, Vol. 62, No:4, Sep.-Okt. 1989.
  11.  Lytle, C. D., et al., "Filtration Sizes of Human Immunodeficiency Virus Type 1 and Surrogate Viruses Used to Test Barrier Materials," Applied and Environmental Microbiology, Vol. 58, No: 2, Feb. 1992.
  12. Vesey, W.B., HLI Reports, Vol. 9, pp. 1-4, 1991.
  13. Collart, David G., M.D., op. cit.
  14. CDC.  Global Summary of  The AIDS Epdemic December 2006.
  15. Anonim.  Apa sih HIV/AIDS itu? (booklet edukasi HIV/AIDS). The Global Fund.     Jakarta, 2005
  16. Anonim.   IMS itu epong sih ne? The Global Fund.  Jakarta, 2005
  17. Priohutomo S.  Kebijakan Pengendalian HIV/AIDS.  Dirjen P2PL-Depkes RI.  Seminar TB-HIV Sahid Jaya Hall. 11-12 Desember 2006.(hand out).
  18. AIDS Setelah Dua Dekade.  Ledakan HIV/AIDS sudah terjadi di Indonesia.Republika.  27 Mei 2007.
  19.  Hawari, D.  2006.  Global Effect, HIV/AIDS, Dimensi Psikoreligi.  Balai Pustaka-FKUI.  Jakarta.
  20. Bkkbn-online.” KASUS HIV/AIDS DI INDONESIA MENINGKAT TAJAM”(www.bkkbn.or.id/18/11/09)
  21. Kondom Bukan Solusi Melawan HIV: Paus”(www.acehkita.com/19/03/09).
  22. (Republika, Ahad 27 Mei 2007).
  23. An-Nabhani.  An Nidzomul Ijtima’i (terjemahan:Sistem Pergaulan Dalam Islam),  2001. 
  24. Al-Maliki A.    Sistem Sangsi Dalam Islam.  PTI.  Bogor, 2002.
  25. .Struktur Negara Khilafah.HTI.2007 
sumber : http://lailagizi-fkm.web.unair.ac.id

ODHA, Jangan Tertipu dengan Test CD4

CD4 - Para Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dan praktisi medis sering memakai hasil test CD4 untuk mengukur tingkat kesehatan penderita HIV/AIDS. Standar batas normal CD4 yang diakui adalah 400-1400. Jika di bawah 400, seorang Odha dinyatakan tidak sehat karena virus HIV mulai aktif menyerang. Terlebih lagi jika ada yang kadar CD4-nya di bawah 40, secara teori sudah sangat sakit dan dalam keadaan “bed rest”.

Nah, diartikel ini saya akan menjelaskan bahwa pengukuran/test CD4 sebenarnya merupakan “timbangan rusak”, dalam artian, test ini tidak bisa mengukur tingkat kesehatan seseorang dengan benar, terlebih lagi untuk mengukur kesehatan seorang Odha akibat serangan HIV. Keberadaan sel T CD4 sebenarnya secara alami bukanlah karena adanya serangan virus, tapi karena adanya tingkat “kolesterol jahat” yang perlu dinetralisir oleh tubuh kita.

Jadi orang yang sehat CD4nya malah bisa rendah, sedangkan orang yang sakit CD4-nya bisa tinggi.
CD4 Naik Karena Si Kolesterol Jahat Melebihi Ambang Batas Normal
CD4 sebenarnya penanda bagi adanya kolesterol dan plak arteri, bukan penanda system imun. CD4 dan CD8 akan naik ketika kadar kolesterol naik. Pemberian nicotinamide (vitamin B3) bisa menurunkan CD4 karena nicotinamide bisa menetralkan kolesterol. Sel CD4 biasanya berkumpul di area yang ada plak arteri dan memberikan signal ke sel darah putih untuk datang dan melahap kolesterol.

Jadi boleh dibilang, kadar kolsterol dalam darah Anda akan mempengaruhi jumlah sel T Anda. Sel T CD4 terlibat dalam hal perbaikan arteri. Contoh peneitian – penelitian yang menjelaskan hal ini bisa Anda lihat di link:

Disamping itu, peningkatan jumlah CD4 dalam terapi HAART sebenarnya bisa meningkatkan resiko sakit jantung. Aterosklerosis (penebalan dinding arteri) sering didapati pada Odha yang memakai ARV dan CD4 mereka juga tinggi. Laporan ini bisa Anda lihat di link:

Para peneliti telah menemukan pola makan dengan lemak yang banyak akan menaikkan CD4 sedangkan pemberian vitamin yang menurunkan kadar kolesterol akan menurunkan CD4. Anda bisa melihat hubungan antara pemberian vitamin/perbaikan nutrisi bisa menurunkan CD4 di link:

Dalam suatu penelitian juga dijelaskan bahwa makanan yang banyak mengandung Omega 6 akan meningkatkan CD4. Penelitian ini bisa Anda lihat di link

Antara Hasil Test CD4 dan Realita Fisik yang Bikin Bingung
Saya sering mendengar dari para Odha yang menghubungi saya bahwa ketika mereka memperbaiki pola makan dengan nutrisi yang benar, kadar CD4 mereka malah turun. Begitu juga dengan mereka yang menggantikan terapi ARV dengan herbal tertentu.

Ada juga pasien positif HIV yang kadar CD4-nya hanya 8 tapi dia tidak terlihat seperti layaknya orang yang sakit keras. Ia masih bekerja seperti biasanya. Padahal secara teori, dengan kadar CD4 “super rendah” seperti itu, ia seharusnya sudah terbaring sekarat di tempat tidur.

Para mantan pecandu narkoba juga mengalami penurunan CD4 ketika berhenti memakai narkoba. Jadi penggunaan obat-obatan juga bisa meningkatkan CD4. Itulah sebabnya kenapa pecandu narkoba berat, bisa saja memiliki kadar CD4 yang tinggi seperti misalnya 700-900.

Selain itu, Anda bisa juga menemukan seorang olahragawan professional yang sehat, yang bukan pecandu narkoba, tidak merokok dan tidak suka minum alkohol, kadar CD4-nya rendah. Nah, disaat sang olahragawan ini diberikan ARV, makin naiklah kadar kolesterolnya, begitu juga CD4. Namun, seiring naiknya CD4 sang olahragawan, kondisi kesehatannya makin memburuk.
Kesimpulan
Jangan pernah lagi memakai test CD4 untuk mengukur kesehatan Odha! Dari penjelasan di atas cukup menjelaskan bahwa test CD4 untuk para Odha adalah suatu timbangan rusak yang menyesatkan. Orang sakit akan dinyatakan sehat, sedangkan orang sehat akan dinyatakan sakit oleh test CD4 ini.

Obat-obatan, suplemen, herbal maupun makanan sehari-hari bisa mempengaruhi tingkat CD4 seseorang, jadi bukan karena virus HIV seperti yang dipercaya oleh kebanyakan orang.
Jika Anda masih belum percaya dengan pernyataan-pernyataan di atas, kenapa tidak mencoba mengadakan test CD4 ke sekelompok orang sehat seperti misalnya para dokter, para pemuka agama, dan para olahragawan?

Kenapa tidak menguji kebenaran tentang test CD4 ini ke 10 dokter yang secara fisik terlihat sehat, dengan berat badan ideal, tidak merokok, tidak minum alkohol dan juga sehat secara emosional? Kita lihat apakah CD4 mereka tinggi atau rendah?

Nah, semoga dengan penjelasan singkat artikel ini, akan memberikan pencerahan bagi semua orang sehingga para Odha bisa selamat dari jebakan “mafia kesehatan” yang memaksa mereka untuk mengonsumsi ARV supaya CD4 naik, padahal dengan makin naiknya CD4, para Odha akan jadi makin bertambah sakit.

Awas, Jangan Tertipu dengan Test CD4


Test CD4 seringkali dipakai oleh medis konvensional dalam mengukur kesehatan para Odha dengan keyakinan bahwa CD4 yang rendah HANYA ditemui di kasus HIV/AIDS. Yang sering dikabarkan oleh dunia adalah:
  1. Test CD4 digunakan sebagai tolak ukur kesehatan Odha. Makin rendah CD4 Odha, makin parahlah kondisi kesehatannya.
  2. Hasil Test CD4 rendah HANYA ada pada kasus HIV/AIDS, bukan di kasus penyakit/kondisi kesehatan lainnya.
Dalam artikel ini, saya akan membuka rahasia besar bahwa sudah ada penelitian-penelitian yang mengungkapkan fakta:
  1. Hasil Test CD4 rendah JUGA ADA pada kasus serangan jantung, pneumonia, olahraga berlebih, luka, depresi, malaria, TBC, narkoba, kehamilan, malnutrisi, isolasi sosial, dan sebagainya.
  2. Mereka yang diteliti (dengan hasil CD4 rendah) adalah orang-orang HIV-negatif.
Saya berikut contoh beberapa hasil penelitian-penelitian tersebut:





Jumlah CD4 Rendah di Ruang ICU
Di tahun 1995, Feeney dan kawan-kawan menguji jumlah CD4 pada 102 pasien di ruang ICU, dimana semuanya adalah HIV negatif. Pasien-pasien menderita 34 penyakit yang berbeda-beda, dimana yang paling umum adalah serangan jantung, pendarahan yang parah, gagal ginjal, trauma, dan penyakit paru kronis. 30% dari mereka memiliki jumlah CD4 kurang dari 300 dan 41% memiliki CD4 kurang dari 400.
Dalam studi ini ditemukan hasil yang sama pada rasio CD4/CD8, yang memberikan fakta bahwa perhitungan rasio CD4/CD8 ternyata TIDAK HANYA ada pada kasus HIV/AIDS, tapi juga ada pada kasus penyakit UMUM.
.
Jumlah CD4 Rendah pada Kasus Pneumonia, Pielonefritis, Abses, Luka Terinfeksi, Selulitis, dan Sepsis
Pada tahun 1983, sekitar satu tahun sebelum HIV pertama kali disebutkan sebagai kemungkinan penyebab AIDS, Williams dan kawan-kawan menerbitkan sebuah studi yang menunjukkan sangat kurangnya jumlah CD4 pada 146 orang dengan infeksi akut serius yang dirawat di rumah sakit mereka di New Mexico. Infeksi termasuk pneumonia, pielonefritis akut, abses, luka yang terinfeksi, selulitis, infeksi jaringan dalam, dan sepsis.
Para penulis hanya menyediakan jumlah CD4 rata-rata untuk sebagian besar pasien, kecuali untuk grafik yang memplot jumlah CD4 untuk semua 45 pasien pneumonia. Penelitian ini mengungkapkan bahwa 31 dari 45 (69%) memiliki jumlah CD4 kurang dari 500 sel/mm3, 19 dari 45 (42%) memiliki jumlah di bawah 300, 13 dari 45 (29%) memiliki jumlah di bawah 200, 6 dari 45 (13% ) memiliki 100 atau kurang, dan 2 dari 45 (4%) memiliki kurang dari 50 nilai. CD4 rata-rata untuk semua penderita pneumonia adalah 574.
.
Jumlah CD4 Rendah pada Kasus Malaria
Malaria disebabkan oleh parasit dari spesies plasmodium, dan sangat umum di Afrika dan di daerah tropis. Pada tahun 1999 diterbitkan surat mendokumentasikan turunnya jumlah CD4 pada pasien Afrika dengan malaria (Chirenda 1999). Penulis memeriksa jumlah CD4 pada 78 pasien dengan malaria yang HIV-positif, dan 19 yang HIV-negatif. Dia terkejut menemukan bahwa kasus malaria pada HIV-negatif lebih banyak memiliki jumlah CD4 sangat rendah dibanding pada kasus HIV-positif, rata-rata, dengan 8 dari 19 (42%) kasus HIV-negatif yang di bawah 200, sementara hanya 31 dari 78 (40%) kasus HIV-positif memiliki jumlah CD4 di bawah 200. Tujuh HIV-negatif kasus malaria memiliki jumlah CD4 di bawah 100. Selain itu, 6 pasien HIV-positif memiliki jumlah CD4 yang normal.
.
Jumlah CD4 Rendah pada Kasus Kehamilan Normal
Beberapa studi telah dipublikasikan mengenai jumlah CD4 selama kehamilan normal. Baru-baru ini, Burns dan kawan-kawan menerbitkan sebuah studi pada tahun 1996, di mana mereka berusaha untuk mengendalikan faktor pembaur seperti peningkatan volume darah yang biasanya terjadi pada kehamilan.
Mereka menggunakan persentase CD4 dan mendapati bahwa sel CD4 temuan mereka untuk wanita HIV-negatif ternyata konsisten dengan mayoritas penelitian sebelumnya, yang menunjukkan penurunan jumlah CD4 selama kehamilan normal (Burns et al. 1996, halaman 1465 ).
Mereka juga menemukan bahwa wanita HIV-positif mengalami penurunan lebih parah dalam perhitungan pasca-melahirkan dibandingkan dengan wanita HIV-negatif, meskipun mereka gagal untuk mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan menurunkan jumlah CD4. Ini termasuk setiap infeksi bahwa wanita mungkin pernah mengalami, efek traumatis dari operasi Cesar yang biasanya dilakukan pada wanita HIV-positif untuk mencegah penularan neonatal, atau stres psikologis berpotensi parah yang mengkhawatirkan jika bayi mereka juga akan HIV-positif, yang dapat berlangsung hingga 18 bulan
Pada tahun 1989 sebuah studi yang diterbitkan mengenai kehamilan normal, ditemukan adanya pengurangan persentase CD4 pada trimester 1 dan trimester 2, serta pengurangan rasio CD4/CD8 pada trimester 2 (Castilla et al, 1989.).
Para penulis pada studi sebelumnya melihat berbagai perubahan limfosit selama kehamilan dan menyatakan, “Dalam studi ini, variasi dalam jumlah dan proporsi CD4 + limfosit adalah perubahan yang paling sering dilaporkan (Castilla et al, 1989, halaman 104).” Persentase CD8 limfosit + ditemukan tidak berubah. Mereka juga mengklaim bahwa, “kami telah memperhitungkan semua faktor yang diketahui saat ini dapat mengubah konsentrasi subset T-sel dalam darah”(Castilla et al. 1989, halaman 104), namun pada kenyataannya mereka tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang dijelaskan dalam makalah ini, seperti infeksi, trauma, olahraga berlebih, variasi normal sehari-hari, atau stres psikologis. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dokter dan peneliti melakukan penelitian yang berfokus khusus pada tingkat CD4 sering tidak menyadari berapa banyak kondisi yang berbeda menyebabkan rendahnya jumlah CD4.
Ada satu studi terakhir yang perlu dipertimbangkan lagi (Sridama et al. 1982). Para peneliti ini menemukan berkurangnya jumlah CD4 mutlak, serta berkurangnya persentase CD4 + T-sel dalam 76 wanita dengan kehamilan normal. Pada trimester ketiga, wanita hamil memiliki rata-rata hanya 543 + 169 CD4 + T-sel, dibandingkan dengan 1073 + 441 pada wanita tidak hamil. Kedua angka mutlak dan persentase tetap rendah sampai beberapa bulan pasca-melahirkan, dan hasil yang sama diperoleh untuk rasio CD4/CD8 yang juga berkurang.
B-sel ditemukan meningkat yang berarti sesuai dengan peningkatan kadar antibodi yang biasanya ditemukan dalam kehamilan manusia, dan yang juga sering terlihat pada orang yang didiagnosis HIV-positif. Ini adalah satu-satunya studi pada kehamilan normal yang menyediakan data tentang jumlah CD4 mutlak, dan rata-rata 543, dengan standar deviasi dari 169, yang berarti adanya persentase besar dari wanita-wanita ini yang memiliki tingkat lebih rendah dari 500, titik di mana obat antiretroviral akan dimulai pada seseorang yang didiagnosis HIV-positif.
Masih Banyak Lagi Faktor Non-HIV/AIDS yang Bisa Mengurangi Jumlah CD4
Ya, benar. Masih ada banyak faktor non-HIV/AIDS yang bisa menyebabkan CD4 kita turun, dan ini tidak hanya terjadi pada para Odha, tapi juga non-Odha. Apa yang saya beberkan di atas adalah kutipan dari jurnal medis The British Medical Journal Online, September 2003, berjudul: “Low CD4 Counts: A Variety of Causes and Their Implications to a Multi-factorial Model of AIDS” oleh Matt Irwin, MD.
Referensi-referensi medis untuk artikel ini juga ada banyak, seperti yang bisa Anda lihat di bawah artikel. Jika Anda ingin mempelajari lebih mendalam tentang topik ini, saya menyarankan Anda untuk membaca artikel berbahasa Inggris di link: http://www.aliveandwell.org/html/viral_load_tcell/low_cd4.html
Anda juga bisa melihat fakta lainnya bahwa kadar kolesterol seseorang juga bisa mempengaruhi jumlah CD4 dan fakta bahwa orang-orang sehat juga bisa memiliki CD4 yang rendah. Penasaran untuk mengetahui hal-hal ini lebih dalam lagi? Silahkan Anda membaca artikel saya yang berjudul “Awas, Jangan Tertipu dengan Test CD4!”.
Mungkin Anda tidak percaya dengan apa yang kami tulis, yang sangat bertentangan dengan pandangan umum. OK, tidak apa-apa. Demi keselamatan para Odha, bagi Anda yang tidak percaya, saya menyarankan Anda untuk melakukan uji coba mandiri (jangan menunggu orang lain atau pemerintah untuk melakukannya bagi Anda), yaitu sebagai berikut:
  1. Ujilah jumlah CD4 dari minimal 10 orang sehat, misal: dokter, tabib, olahragawan, dll dimana mereka juga menjaga pola makan sehat dan kadar kolesterol yang normal. Kita lihat berapa di antara mereka yang memiliki jumlah CD4 yang rendah.
  2. Ujilah jumlah CD4 dari minimal 10 orang hamil non-Odha yang sehat. Kita lihat berapa di antara mereka yang memiliki jumlah CD4 yang rendah.
Para kaum cendikiawan atau professional kesehatan biasanya hanya melakukan uji coba CD4 pada Odha. Cobalah melakukan uji coba pada beberapa orang non-Odha dan lihat bagaimana hasilnya!
Semoga artikel ini bisa membuka mata kita semua untuk tidak memakai Test CD4 sebagai tolak ukur kesehatan para Odha.
Healindonesia, Dt Awan (Andreas Hermawan)


.

FAKTOR FAKTOR YANG ,MEMPENGARUHI HASIL CD4

Anda harus mengetahui factor-faktor lain yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya jumlah CD4

  • Jumlah CD4 cenderung rendah pada pagi hari dan tinggi pada malam hari.
  • Penyakit akut seperti pneumonia, influenza, atau infeksi  herpes simplex virus dapat sebabkan jumlah CD4 menurun untuk sementara waktu.
  • Bila penderita mendapat vaksin atau saat tubuh pasien mulai melawan infeksi, jumlah  CD4 dapat naik atau turun.
  • Khemoterapi kanker dapat sebabkan jumlah  CD4 menurun.
  • Fatigue dan stress dapat juga mempengaruhi hasil test.




Referensi:
Abbott Laboratories (1997). HIV Type 1, HIVAB, EIA. Abbot laboratories diagnostic division (668805/R5).
Alberts SC, Sapolsky RM, Altmann J (1992). Behavioral, endocrine and immunological correlates of immigration by an aggressive male into a natural primate group. Hormones and Behavior 26; 167-178.
Andreoli TE et al. (1993). Cecil essentials of medicine. W.B. Saunders; Philadelphia.
Antonaci S, Jirillo E, Stasi D, De Mitrio V, La Via MF, Bonomo L (1988). Immunoresponsiveness in hemophilia: lymphocyte- and phagocyte-mediated functions. Diagn Clin Immunol;5(6):318-25
Antonacci AC, Good RA, & Gupta S (1982). T-cell subpopulations following thermal injury. Surg Gynecol Obstet; 155(1); 1-8.
Ashton LJ, Carr A, Cunningham PH, Roggensack M, McLean K, Law M, Robertson M, Cooper DA, Kaldor JM (Jan 1998). Predictors of progression in long-term nonprogressors. Australian Long-Term Nonprogressor Study Group. AIDS Res Hum Retroviruses;14(2):117-21
Atzori (2000). In Vitro activity of HIV protease inhibitors against Pneumocystis carinii. J Infect Dis; 181; 1629-1634.
Azar ST, Melby JC (1993). Hypothalamic-pituitary-adrenal function in non-AIDS patients with advanced HIV infection. Am J Med Sci May;305(5):321-5.
Babameto G & Kotler DP (1997). Malnutrition in HIV infection. GI Clin North America: 26(2): 393-413.
Bacellar A, Munoz A, Miller EN, Cohen EA, Besley D (1994). Temporal trends in the incidence of HIV-1 related neurological diseases: Multicenter AIDS cohort study. Neurology ; 44:1892-1900.
Balter M (1997, November 21). How does HIV overcome the body’s T-cell bodyguards? Science 278: 1399-1400.
Beck JS, Potts RC, Kardjito T, and Grange JM (1985). T4 lymphopenia in patients with active pulmonary tuberculosis. Clin Exp Immunol, Volume 60, 49-54.
Beisel WR (1996, october). Nutrition in pediatric HIV infection: setting the research agenda. Nutrition and immune function: overview. J Nutr;126(10 Suppl):2611S-2615S
Berkman L & Syme S (1979). Social networks, host resistance, and mortality: a nine year follow up study of alameda county residents. Am J Epidemiol; 109(2): 186-203.
Bird AG (1996). Non-HIV AIDS: nature and strategies for its management. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 37 Suppl B, 171-183.
Blatt SP, Lucey CR, Butzin CA et al. (1991). Total lymphocyte count as a predictor of absolute CD4+ percentage in HIV infected persons. JAMA 269; 622-626.
Bonneau RH, Sheridan JF, Feng N, Glaser R (1993). Stress-induced modulation of the primary cellular immune response is mediated by both adrenal-dependent and adrenal independent mechanisms. Journal of Neuroimmunology; 42; 167-176.
Britton S, Thoren M, Sjoberg HE (December 20, 1975). The immunological hazard of Cushing’s syndrome. British Medical Journal 4; 678-680.
Burns DN, Nourjah P, Minkoff H, et al. (1996). Changes in CD4 and CD8 cell levels during pregnancy and post partum in women seropositive and seronegative for HIV-1. Am J Obstet Gyn; 174(5); 1461-1468.
Carney WP, Rubin RH, Hoffman RA, et al. (1981). Analysis of T lymphocyte subsets in CMV mononucleosis. The Journal of Immunology 126(6); 2114-2116.
Carr DJJ, Serou M (1995, November). Exogenous and endogenous opioids as biological response modifiers. Immunopharmacology; 31(1): 59-71
Cassone (1999). In vitro and in vivo anticandidal activity of HIV protease inhibitors. J Infect Dis; 180; 448-453.
Castilla JA, Rueda R, Vargas L, et al. (1989). Decreased levels of circulating CD4+ T lymphocytes during normal human pregnancy. J Reprod Immunol; 15; 103-111.
Castle S, Wilkins S, Heck E, Tanzy K, Fahey J (1995, September). Depression in caregivers of demented patients is associated with altered immunity: impaired proliferative capacity, increased CD8+, and a decline in lymphocytes with surface signal transduction molecules (CD38+) and a cytotoxicity marker (CD56+ CD8+). Clin Exp Immunol;101(3):487-93
CDC (1999). HIV/AIDS Surveillance Report. Centers for Disease Control, Atlanta, GA.
Chandra RK (1997, August). Nutrition and the immune system: an introduction. Am J Clin Nutr; 66(2) :460S-463S
Chirenda J (1999). Low CD4 count in HIV-negative malaria cases, and normal CD4 count in HIV-positive and malaria negative patients. Cent Afr J Med; Volume 45(9): page 248.
Choi S, Lagakos SW, Schooley RT, Volberding PA (1993). CD4+ lymphocytes are an incomplete surrogate marker for clinical progression in persons with asymptomatic HIV infection taking zidovudine. Ann Intern Med; 118; 674-680.
Christeff N, Gharakhanian S, Thobie N et al. (1992). Evidence for changes in adrenal and testicular steroids during HIV infection. J Acquired Imm Def Syn; 5: 841-846.
Concord Coordinating Committee (1994). Concorde: Randomised double-blind controlled trial of immediate and deferred Zidovudine in symptom-free HIV infection. Lancet ;343:871-881.
Coodley GO, Loveless MO, Nelson HD et al. (1994). Endocrine function in the HIV wasting syndrome. J Acquired Imm Def Syn; 7: 46-51.
Culver KW, Ammann AJ, Partridge JC, Wong DF, Wara DW, Cowan MJ (1987, August). Lymphocyte abnormalities in infants born to drug-abusing mothers. J Pediatr;111(2):230-5.
Dalakas MC, Illa I, Pezeshkpour GH, Laukaitis JP, Cohen B, Griffin JL. (1990, April 19) Mitochondrial Myopathy caused by long-term Zidovudine therapy. New England Journal of Medicine ; 322(16):1098-1105.
Des Jarlais DC, Friedman SR, Marmor M et al. (1987, July). Development of AIDS, HIV seroconversion, and potential cofactors for CD4 cell loss in a cohort of intravenous drug users. AIDS 1(2): 105-111.
Duesberg PH (1992). AIDS acquired by drug consumption and other non-contagious risk factors. Pharmacology and Therapeutics ;55:201-277.
Duesberg P, Rasnick D (1998). The AIDS dilemma: drug diseases blamed on a passenger virus. Genetica; 104(2): 85-132
Engle GL (1971). Sudden and rapid death during psychological stress: Folklore or folk wisdom? Ann Intern Med 74; 771-782.
Engle GL (1968). A life setting conducive to illness: the giving-up-given-up complex. Bull Menninger Clin 32; 355-365.
Epitope, Organon Teknika (1997). HIV Type 1 Western Blot kit. PN201-3039 Revision #6, page 11.
Feeney C, Bryzman S, Kong L, Brazil H, Deutsch R, Fritz LC (1995, Oct). T-lymphocyte subsets in acute illness. Crit Care Med; 23(10):1680-5.
Fox CH (1996). The pathogenesis of HIV-disease. J Nutr; 126(10 Suppl): 2608S.
Gallo RC, Salahuddin SZ, Popovic M, et al (1984). Frequent Detection and Isolation of Cytopathic Retro-viruses (HTLV-III) from Patients with AIDS and at Risk for AIDS. Science ; 224:500-502.
Garrett L (2001). Change in Guidelines for HIV; U.S. officials to tout new treatment policy. Newsday (New York, NY), January 17, 2001, Wednesday, page A22.
Goldman (2000). Cecil Textbook of Medicine, 21st edition, W.B. Saunders, Inc.
Goodkin K, Feaster DJ, Asthana D, et al. (1998, May). A bereavement support group intervention is longitudinally associated with salutory effects on the CD4 cell count and number of physician visits. ClinDiagn Lab Immunol: 5(3); 382-91.
Guyton AC & Hall JE (1996). Textbook of Medical Physiology. Saunders; New York
Harbige LS (1996). Nutrition and immunity with emphasis on infection and autoimmune disease. Nutrition and Health: 10; 285-312.
Hegde HR, Woodman RC, Sankaran K (1999, March). Nutrients as modulators of anergy in acquired immune deficiency syndrome. J Assoc Physicians India; 47(3): 318-25
Hamilton JD et al (1992). A controlled trial of early versus late treatment with Zidovudine in symptomatic HIV infection. New England Journal of Medicine ;326:437-443.
Herbert TB & Cohen S (1993). Stress and immunity in humans: A meta-analytic review. Psychosomatic Medicine; 55;364-379.
House et al. (1988). Social relationships and health. Science ;241:540-545.
Hughes MD, Daniels MJ, Fischl MA et al. (1998). CD4 cell count as a surrogate endpoint in HIV clinical trials. AIDS; 12; 1823-1832.
Junker AK, Ochs HD, Clark EA et al. (1986, Sep). Transient immune deficiency in patients with acute Epstein-Barr virus (EBV) infection. Clin Immunol Immunopathol 40(3); 436-446.
Kennedy S, Kiecolt-Glaser JK, Glaser R (1988 Mar). Immunological consequences of acute and chronic stressors: mediating role of interpersonal relationships. Br J Med Psychol; 61(Pt 1):77-85.
Keusch GT & Thea DM (1993). Malnutrition in AIDS. Med Clin North America: 77(4); 795-813.
Kiecolt-Glaser JK, Ricker D, George J (1984). Urinary cortisol levels, cellular immuno-competency, and loneliness in psychiatric inpatients. Psychosomatic Medicine; 46(1): 15-23.
Kiecolt-Glaser JK, Dura JR, Speicher CE et al. (1991). Spousal caregivers of dementia victims: Longitudinal changes in immunity and health. Psychosomatic Medicine; 53;345-362.
Kiecolt-Glaser JK, Glaser R (1992). Acute, psychological stressors and short-term immunological changes. Psychosomatic Medicine; 54;680-685.
Kotze M (1998). Ability of the total lymphocyte count to accurately predict the CD4+ T-cell count in a group of HIV1-infected South African patients. Int Conf AIDS – 1998; 12: 810 (abstract no. 42187)
Laudenslager M, Ryan SM, Drugan RC, et al. (1983). Coping and immunosuppression: Inescapable but not escapable shock suppresses lymphocyte proliferation. Science, 221;568-570.
Learmont J, Tindall B, Evans L, et al (1992). Long-term symptomless HIV-1 infection in recipients of blood products from a single donor. Lancet ;340:863-867.
Leserman J, Jackson ED, Petitto JM, et al. (1999) Progression to AIDS: the effects of stress, depressive symptoms, and social support. Psychosomatic Medicine; 61; 397-406.
Lewi DS, Kater CE, Moreira AC (1995 Mar-Apr). Stimulus of the hypophyseal-adrenocortical axis with corticotropin releasing hormone (CRH) in acquired immunodeficiency syndrome. Evidence for activation of the immune-neuroendocrine system (article in Portuguese). Rev Assoc Med Bras;41(2):109-18.
Lortholary O, Christeff N, Casassus P, Thobie N, Veyssier P, Trogoff B, Torri O, Brauner M, Nunez EA, Guillevin L (1996 Feb). Hypothalamo-pituitary-adrenal function in human immunodeficiency virus-infected men. J Clin Endocrinol Metab ;81(2):791-6
Mackinnon LT (1997). Immunity in athletes. Int J Sports Med;18 Suppl 1:S62-8
Madhok R, Gracie A, Lowe GD, Burnett A, Froebel K, Follett E, Forbes CD (1986, Oct 18). Impaired cell mediated immunity in haemophilia in the absence of infection with human immunodeficiency virus. Br Med J (Clin Res Ed);293(6553):978-80
Marchisio P, Esposito S, Zanchetta N, Tornaghi R, Gismondo MR, Principi N ( Aug 1998). Effect of superimposed infections on viral replication in human immunodeficiency virus type 1-infected children. Pediatr Infect Dis J;17(8):755-7
McChesney MB & Oldstone A (1987). Viruses perturb lymphocyte functions. Ann Rev Immunol, Volume 5: 279-304.
McDonough RJ, Madden JJ, Falek A, et al. (1980). Alteration of T and null lymphocyte frequencies in the peripheral blood of human opiate addicts: In Vivo evidence for opiate receptor sites on T lymphocytes. J Immunol: 125(6); 2539-43.
Membreno L, Irony I, Dere W, Klein R, Biglieri EG, Cobb E (1987 Sep). Adrenocortical function in acquired immunodeficiency syndrome. J Clin Endocrinol Metab;65(3):482-7.
Mientjes GH, Miedema F, van Ameijden EJ, Hoek AA, et al. (1991). Frequent injecting impairs lymphocyte reactivity in HIV-positive and HIV-negative drug users. AIDS: 5; 35-41.
Momose JJ, Kjellberg RN, Kliman B (1971). High incidence of cortical atrophy of the cerebral and cerebellar hemispheres in Cushing’s disease. Radiology 99; 341-348. Grau O, Tuppin P, Slizewicz B, Launay V, Goujard C, Bahraoui E, Delfraissy JF,
Montagnier L (1998). A longitudinal study of seroreactivity against Mycoplasma penetrans in HIV-infected homosexual men: association with disease progression. AIDS Res Hum Retroviruses; 20; 14(8): 661-7
Nishijima MK, Takezawa J, Hosotsubo KK et al. (1986). Serial changes in cellular immunity of septic patients with multiple organ-system failure. Critical Care Medicine, Volume 14(2); 87-91.
Norbiato G, Bevilacqua M, Vago T, Clerici M (1996, July). Glucocorticoids and interferon-alpha in the acquired immunodeficiency syndrome. J Clin Endocrinol Metab;81(7):2601-6
Norbiato G, Bevilacqua M, Vago T, Taddei A, Clerici (1997, Oct). Glucocorticoids and the immune function in the human immunodeficiency virus infection: a study in hypercortisolemic and cortisol-resistant patients. J Clin Endocrinol Metab; 82(10): 3260-3.
O’Mahoney JB, Palder SB, Wood JJ, et al. (1984). Depression of cellular immunity after multiple trauma in the absence of sepsis. J Trauma: 24(10); 869-75.
O’Mahoney JB, Wood JJ, Rodrick ML, Mannick JA (1985). Changes in T lymphocyte subsets following injury. Ann Surg; 202(5); 580-586.
Ornish D (1997). Love and Survival: the Scientific Basis for the Healing Power of Intimacy; Harper Collins; New York.
Pariante CM, Carpiniello B, Orru MG, Sitzia R, Piras A, Farci AM, Del Giacco GS, Piludu G, Miller AH (1997). Chronic caregiving stress alters peripheral blood immune parameters: the role of age and severity of stress. Psychother Psychosom;66(4):199-207.
Polk HC, George CD, Cost K, et al. (1986). A systematic study of host defense processes in badly injured patients. Ann Surg; 204; 282-299.
Robbins SL, Cotran RS, Kumar V (1994). Pathologic Basis of Disease (5th Edition); W. B. Saunders; Philadelphia, PA.
Roederer, M (1998). Getting to the HAART of T cell dynamics. Nature Medicine 4: 145-146.
Sapolsky RM, Uno H, Rebert CS, Finch CE (1990 Sep). Hippocampal damage associated with prolonged glucocorticoid exposure in primates. J Neurosci ; 10(9):2897-902.
Sapolsky RM (1996, August 9). Why stress is bad for your brain. Science 273; 749-750.
Schmitz SH, Scheding S, Voliotis D, Rasokat H, Diehl V, Schrappe M (1994). Side effects of AZT prophylaxis after occupational exposure to HIV-infected blood. Annals of Hematology; 69:135-138.
Shallenberger F (1998). Selective compartmental dominance: an explanation for a non-infectious, multifactorial etiology for AIDS. Medical Hypotheses: 50; 67-80.
Sonnabend JA, Witkin SS, Purtilo DT (1984). A multifactorial model for the development of AIDS in homosexual men. Ann N Y Acad Sci; 437: 177-83
Sridama V, Pacini F, Yang S, et al. (1982). Decreased levels of helper cells: A possible cause of immunodeficiency in pregnancy. New Eng J Med: 307(6); 352-356.
Starkman MN, Gebarski SS, Berent S et al. (1992). Hippocampal formation volume, memory dysfunction, and cortisol levels in patients with Cushing’s syndrome. Biological Psychiatry; 32: 756-765.
Stefanski V, Engler H (1998 Jul). Effects of acute and chronic social stress on blood cellular immunity in rats. Physiol Behav;64(5):733-41
United States Pharmacopeial Convention (1996). USP DI: Drug Information for the Health Care Professional, 16th Edition. pages 3032-3034.
Verde TJ, Thomas SG, Moore RW, et al. (1992). Immune responses and increased training of the elite athlete. J Appl Physiol; 73(4); 1494-9.
Verges B, Chavanet P, Desgres J, Vaillant G, Waldner A, Brun JM, Putelat R (1989 Nov). Adrenal function in HIV infected patients. Acta Endocrinol (Copenh);121(5):633-7.
Walton C (1999). What makes a survivor? Continuum 5(5); 16-18.
Williams RC, Koster FT, Kilpatrick KA (1983, November). Alterations in lymphocyte cell surface markers in various human infections. Am J Med: Volume 75; 807-816.

sumber : http://aidsalternative.com/2011/12/06/banyak-kondisi-non-aids-yang-bisa-menyebabkan-cd4-rendah/

Benarkah Selebritis Mati Karena AIDS? Faktanya Tidak

18 April 2013 15:26:39 Dibaca : 1687
Benarkah Selebritis Mati Karena AIDS? Faktanya Tidak
-
Sebagai fakta pemula, faktanya terdapat lebih dari 2500 ilmuwan terkenal dunia bahkan beberapa diantaranya adalah peraih nobel yang dengan tegas mengatakan bahwa HIV/AIDS hanyalah propaganda sebagai bagian dari bisnis maha besar dari dunia Pharmacy. Faktanya adalah virus HIV tidak pernah di isolasi sampai dengan detik ini karena virus HIV hanyalah sebuah dongeng belaka.
Yang terngiang-ngiang di telinga dan di otak anda sekarang ini bahwa penyanyi terkenal seperti mendiang Fredy Mercuri mati karena AIDS. Benarkah demikian? 

Tidak ada satupun selebriti yang meninggal karena AIDS

Apabila Aids merupakan penyakit menular seksual, publik akan tahu pasti bahwa kasus kematian dari para selebriti karena AIDS akan sangat banyak jumlahnya dan akan menjadi sangat luar biasa (seperti anda ketahui free-sex merajalela di sana). Namun hal itu tidak seperti yang di harapkan sebenarnya. Sepertiyang di ceritakan oleh pihak keluarga dan teman terdekat dari mantan selebritis tersebut bahwa Rock Hudson, Nureyev, Anthony Perkins, Freddie Mercury, danNĂ©stor Almendros mati bukan karena AIDS. Selain itu bahwa pada kasus mereka ditemukan penyebab kematian yang berbeda-beda. Kenyatannya Nureyev meninggal karena keracunan seperti pengakuan dari pacar prianya (sumber Guardian 30 Januari 2003), Hudson di beritakan meninggal karena kanker kelenjar getah bening, Freddie Mercury merupakan pemakai narkoba (drug user) dan meninggal karena over dosis dan multi-lobe broncopneumonia. Kemudian NĂ©stor Almendros meninggal karena kanker, dan Antony Perkins meninggal yang di akibatkan oleh pneumonia yang di propagandakan oleh para maistream sebagai penyakit terdefinisi AIDS. Namun ada hal yang sangat tidak masuk di akal, karena selama hidupnya setelah di diagnose HIV positif, Antony Perkins tidak menularkan infeksi virus HIV kepada istrinya (istrinya menceritakan setelah di diagnosa hiv, tetap berhubungan intim sebagai suami istri / tanpa pengaman).
Fakta lain bahwa beberapa gay selebritis yang masih hidup walapun telah di diagnosa HIV seperti Juara Olimpiade Greg Louganis (Amerika) yang memproklamirkan hidup sehat. Pada kenyataannya, Greg tidak pernah mengkonsumsi “obat hiv” atau seperti skater terkenal bernama Rudy Galindo, selain itu Magic Johnson masih hidup dan sehat sampai sekarang, dan petinju Tommy Morrison yang sehat dan masih hidup tanpa pengobatan yang kemudian dengan tegas mencela teori AIDS sebagai penipuan (propaganda untuk mengeruk keuntungan).
Greg Luganis : tips yang terbaik adalah berhenti mengkonsumsi obat tersebut. Karena saya merasa bahwa kualitas hidup saya hilang pada saat mengkonsumsi obat tersebut ­((The State, 15 April, 1997).
Suami dariMargaret Heckler yang merupakan pengacara yang sangat fanatik yang pada tahun bersama 1984 pertama kali mempresentasikan theory AIDS bersama Dr. Gallo meninggal karena pneumonia. Hal ini tentu sangat lucu dan sungguh tidak masuk akal, karena ketika mereka mempresentasikan penyakit pneumonia sebagai penyebab dari AIDS pada saat itu.

ASHE AND PERKINS TIDAK PERNAH MENGINFEKSI VIRUS HIV KEPADA ISTRI MEREKA
Arthur Ashe, pemenang tenis Wimbledon diduga terinfeksi HIV dalam transfusi darah untuk bypass pada tahun 1983. Dan kematian Arthur di atributkan untuk AIDS. Tetapi pada kenyataannya bahwa Arthur meninggal karena komplikasi penyakit hati setelah dia mendapat kenyatan bahwa itu merupakan penyakit bawaan lahirnya. Bertahun-tahun selama masih hidup, Arthur tidak pernah pernah menularkan virus tersebut kepada istrinya walaupun mereka tetap berhubungan pada sebagai suami istri. Ashe meninggal pada tahun 1993.

Begitu pula dengan apa yang terjadi pada Perkins, dan anak nya lahir dengan sehat dan tidak pernah terinfeksi HIV. BUKTI KESEKIAN KALINYA BAHWA HIV BUKAN MERUPAKAN PENYAKIT YANG MENULAR LEWAT HUBUNGAN SEKSUAL. Obat HIV yang telah dia konsumsi menyebabkan Perkins meninggal dunia, berdasarkan pernyataan dari Duesberg (ilmuwan peraih nobel) yang dengan tegas mengatakan Perkins merupakan korban dari AZT (salah satu obat hiv/aids yang sangat berbahaya dan beracun yang sebelumnya telah di larang di gunakan untuk terapi kanker, karena setelah di gunakan obat tersebut, orang-orang malah meninggal dunia).
13662728781369513938

ANTHONY PERKINS MATI KARENA PNEUMONIA BUKAN AIDS
136627292258844919

ROCK HUDSON MATI KARENA KANKER GETAH BENING, BUKAN AIDS
1366272968980046852

ARTHUR ASHE MATI KARENA MASALAH JANTUNG (PENYAKIT BAWAAN), , TOXIC MEDICATION BUKAN AIDS
13662730111032693067

NUREYEV MATI KARENA KERACUNAN, BUKAN AIDS
136627305032600175

TOMMY MORRISON HIV + SEHAT TANPA OBAT, SEKARANG MALAH NEGATIV HIV.
13662730881476862877

MAGIC JOHNSON, SEHAT TANPA OBAT
13662731231151471231

GREG LUGANIS SEHAT TANPA OBAT HIV.
Didiagnosa positif tidak berarti sama sekali bahwa anda akan mendapatkan AIDS
Buktinya
Faktanya bahwa para selebritis yang di tes positif hiv tidak berarti sama sekali (meaningless), semua orang bisa saja di test positif berdasarkan STDs, hepatitis, flu atau citomegaloviruses. Kemudia mereka menyusun latency (Penundaan yang terjadi ketika informasi dikirimkan dari propaganda kepada korbannya) dan menunggu sampai mereka yang di diagnosa mendapatkan diagnosa penyakit selama tahun tersebut, kemudian mereka secara cerdik menamakan itu sebagai AIDS, padahal sebenarnya tidak, penyakit mereka sudah ada bahkan sebelum mereka terkena AIDS.

Sumber:
Crewdson, J, (2002) Science Fictions, p. 448 (Pulitzer prize) Carlson, J. R., et al. "Evaluation of commercial AIDS screening test kits." Lancet 1(8442):1388, June 15, 1985 (lancet merupakan salah satu jurnal medical terkenal di dunia jadi bukan merupakan jurnal rethinker AIDS)


AZT YANG MEMBUNUH SEL-T, BUKAN HIV (Balzarini, 1989)

HIV tidak membunuh anda, karena didalam sejarah tidah pernah ada retrovirus yang pernah membunuh binatang bahkan manusia. Tetapi AZT yang secara pasti membunuh. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Balzarini. Biakan virus hiv yang di tempatkan pada vitro didalam laboratorium selama 4 bulan di dapatkan hasil tidak membunuh sel-T. (Hoxie et al, 1985). Obat AIDS dari dokter lah yang membunuh anda. Apabila anda percaya pada teori tersebut dan meracuni diri anda sendiri, maka anda akan mati sia-sia dengan sesuatu yang tanpa dasar ilmiah di buktikan. 

INGAT DISANA ADA JUTAAN ORANG DI DUNIA YANG HIDUP SEHAT SETELAH DI DIAGNOSA HIV+ WALAUPUN TANPA MENGKONSUMI OBAT, Contoh sederhana Silvia L. , Nuria G. and Dr. Garrido yang telah di diagnosa selama 18 dan lebih dari 20 tahun, dan masih banyak lagi (lihat saja pengakuan mereka di : http://livingwithouthivdrugs.com/)

Balzarini, J., Herdewijn, P. and De Clercq, E. (1989) Differential patterns of intracellular metabolism of 2',3'-didehydro-2',3'-dideoxythymidine and 3'-azido-2',3'-dideoxythymidine, two potent anti-human immunodeficiency virus compounds. J. biol. Chem. 264: 6127-6133.

Teringat saya menanyakan salah satu dokter di daerah saya yang ketika saya tanyakan mengenai seorang pria HIV+ di Manchester hidup sehat selama 20 tahun walaupun tanpa mengkonsumsi obat HIV. Beliau menjawabnya “ oh kita tetap akan menggunakan obat HIV karena sudah ketentuan dari Pihak WHO. Oh that’s almost funny for me, because the WHO lies to us all the time. They very friendly with the drug companies…

KESIMPULAN
MEDIA PROPAGANDA DAN REPETISI GOEBBELIAN BERBOHONG DAN BERUSAHA MENCUCI OTAK KITA (BRAIN WASHED) SEHINGGA KITA PERCAYA BAHWA MEREKA TELAH MATI KARENA AIDS. SAMPAI SAAT INI VIRUS HIV YANG DI KIRA ADA, NYATANYA BELUM BISA DI ISOLASI. TIDAK ADA SEORANG ILMUWAN PUN YANG BISA MENGHUBUNGKAN KEMATIAN DENGAN AIDS. NO ONE. AIDS TERDIRI DARI 30 PENYAKIT YANG SELALU ADA JAUH SEBELUM AIDS ITU DI HOAX-KAN, SEPERTI KANKER UTERUS, PNEUMONIA, TBC, DEMENTIA, KAPOSI’S SARCOMA ATAU KANKER REKTUM. AIDS MERUPAKAN KEBOHONGAN YANG SANGAT MONUMENTAL (SEBUAH GAGASAN DARI SOSIAL POLITIK). AIDS BUKANLAH MERUPAKAN ILMU ATAU PENYAKIT BARU, DAN TUGAS KITA SEMUA BERSAMA-SAMA UNTUK MENGAKHIRI TIPUAN GLOBAL INI

SUMBER : http://www.kompasiana.com/alexander1/benarkah-selebritis-mati-karena-aids-faktanya-tidak_552c703a6ea834101f8b45a1

Disclaimer :

Untuk Hasil Sembuh Fungsional Permanen Umumnya di butuhkan pengobatan selama 3-6 bulan pengobatan. Faktor kondisi tubuh seseorang dan suport keluarga sangat berpengaruh terhadap reaksi kesembuhan. Simpanlah alamat & nomor HP kami 082332222009