Tanya : Apakah AIDS dapat dijadikan alasan perceraian menurut perspektif atau pandangan hukum Islam ? (Putra Semarang)
Jawab : Pada dasamya syariat islamiyah mulai dari shalat,
zakat, puasa, haji, muamalat, jinayat, sampai munakayat atau pernikahan
bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia baik sebagai makhluk
individual, maupun makhluk sosial dalam hubungannya dengan Allah, antara
sesama manusia (lingkungan sosial) dan alam yang muara akhirnya adalah
sa’adatu ad-daraini (kebahagiaan dunia dan akhirat).
Dalam konteks pertanyaan di atas, perlu disinggung terlebih dahulu makna apakah yang terkandung pada syariat penikahan.
Secara etimologi pernikahan adalah mengumpulkan, sedangkan menutut
syara’ mempunyai arti akad yang membolehkan istimta’ (pemenuhan
kebutuhan biologis) di antara pasangan suami-istri menurut aturan
syara’pula (Al Fiqhu Al-Manhajy).
Kebutuhan bergaul dengan manusia lain dan pemenuhan kebutuhan
biologis bagi manusia bukan sekedar watak manusiawi yang tanpa makna.
Karena manusia hidup secara totalitas sebagai makhluk individu maupun
sosial yang diciptakan oleh Allah lebih sempurna dan mulia. Oleh karena
itu untuk menjaga kesempurnaan dan kemuliaannya, Islam memberikan jalan
salah satunya berupa syariat pernikahan.
Namun demikian, kita
sadar bahwa manusia memiliki kelemahan fisik maupun batin yang dalam
pernikahan dapat menjadi cacat bagi pasangan suami istri sehingga
berakibat tidak dapat melaksanakan dan menjalankan fungsi-fungsi atau
kewajibannya masing-masing.
Menurut ajaran Islam (fikih) ada
tujuh macam cacat yang diidentifikasj sebagai cacat penikahan (‘uyubu
an-nikah) yang dapat membolehkan suami istri membatalkan pernikahannya
atau cerai (fasakh), tiga di antaranya terdapat pada suami dan istri
yaitu, sakit jiwa atau gila, barash atau penyakit kulit (belang-belang),
judzam (lepra), dan empat cacat yang lain masing-masing dua cacat hanya
terdapat pada suami yaitu, ‘unnaji (tidak dapat ereksi), majbub
(terpotongnya penis) dan dua cacat yang lain sebaliknya hanya terdapat
pada istri yaitu, qarn (tertutupnya alat senggama atau v*g*na) oleh
tulang dan rataq (tertutupnya alat senggama oleh daging tumbuh).
(Al-Majmu XVII, 435)
Kalau dikaji lebih dalam tujuh cacat di atas, dapat disederhanakan
menjadi dua sebab, pertama, cacat yang dapat menjadikan orang lain
menghindar (tanfir) karena membahayakan (adh-dharar) atau merasa risih
sehingga mengganggu eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Dalam
terminologi fikih disebutkan tiga cacat (sakit jiwa, barash, judzam)
yang kedua, cacat yang dapat menghalangi pemenuhan kebutithan biologis
yang menjadi tujuan utama (maqasid al-a’zham) dari perkawinan itu
sendini yaitu jima’(istimta) atau hubungan s*ks*al. Ini berarti
mengurangi fitrah manusia sebagai mahluk individu yang membutuhkan
kepuasan s*ks. Dalam hal ini fikih menyebutkan empat cacat (‘unnah,
majbub pada suami, rataq, qarn pada istri). (Kifayah A1-Akhyar II,
59-60, Syarqawi; 235)
Seirama dengan perubahan zaman, fenomena rumah tanggapun semakin
berkembang seperti terjadi pada kasus-kasus yang baru “bagaimana kalau
salah satu dari suami atau istri mengidap penyakit AIDS”. Untuk menjawab
pertanyaan ini setidaknya kita harus tahu terlebih dahulu apa dan
bagaimanakah sifat-sifat AIDS itu.
AIDS (Acquired Immujiuno Deficiency Syndrome) adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus HIV yang menurut analisa medis akan menghilangakan
sistem kekebalan tubuh penderitanya sehingga sangat memudahkan
penyakit-penyakit lain menyerang.
Penyakit-penyakit lain yang timbul setelah serangan AIDS menjadi
susah atau tidak dapat disembuhkan karena dengan hilangnya sistem
kekebalan tubuh. Semua injeksi obat-obatan menjadi tidak berarti,
sementara AIDS itu sendiri sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Oleh
karena itu pada batas tertentu umumnya AIDS akan merenggut nyawa
penderitanya.
Menurut ilmu medis, AIDS merupakan salah satu penyakit menular. Di
antara media penularanya melalui cairan-cairan tubuh yang aktif
(transfusi darah, sperma atau hubungan s*ks*al). Berdasarkan analisa
medis pula, hubungan s*ks dengan penderita AIDS sangat berbahaya karena
dapat terinfeksi virus HIV (AIDS) yang sewaktu-waktu dapat merenggut
jiwa. Padahal dalam ajaran agama, menjaga diri, kehormatan dan harta
benda adalah kewajiban.
Dengan demikian AIDS telah menghilangkan atau setidaknya mengurangi
arti penting sebuah perkawinan yang memiliki nuansa sosial dan
individual. Pertama, menghalangi inaqshud al-a‘zham dan perkawinan yaitu
Jima’ (istimta’) atau hubungan s*ks*al. Yang kedua, manjadikan orang
menghindar (tanfir) karena ada adh-dharar (bahaya) maupun karena risih.
Dalam kondisi semacam itu dimana salah satu pihak dari pasangan
suami-istri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibanya sebagai suami-istri, maka agama membolehkan
adanya perceraian. (Al Majmu XVII, 435, KHI Pasal 166 E).