“Dan apabila aku sakit. Dialah (Allah) yang menyembuhkanku” (As Syu’araa: 80)
Slide 1 Code Start -->

ODHA dengan Infeksi Oportunis : Dermatitis Kronis dan SGB

Perbaikan yang begitu cepat hanya dalam waktu 1 bulan pengobatan. Alhamdulllah

Control Keberadaan Virus HIV

Sangat penting di lakukan Kontrol VL selama Pengobatan Kami

Rasulullah ï·º
“Setiap penyakit ada obatnya, dan bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah”
Tampilkan postingan dengan label berita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label berita. Tampilkan semua postingan

Benarkah Selebritis Mati Karena AIDS? Faktanya Tidak

18 April 2013 15:26:39 Dibaca : 1687
Benarkah Selebritis Mati Karena AIDS? Faktanya Tidak
-
Sebagai fakta pemula, faktanya terdapat lebih dari 2500 ilmuwan terkenal dunia bahkan beberapa diantaranya adalah peraih nobel yang dengan tegas mengatakan bahwa HIV/AIDS hanyalah propaganda sebagai bagian dari bisnis maha besar dari dunia Pharmacy. Faktanya adalah virus HIV tidak pernah di isolasi sampai dengan detik ini karena virus HIV hanyalah sebuah dongeng belaka.
Yang terngiang-ngiang di telinga dan di otak anda sekarang ini bahwa penyanyi terkenal seperti mendiang Fredy Mercuri mati karena AIDS. Benarkah demikian? 

Tidak ada satupun selebriti yang meninggal karena AIDS

Apabila Aids merupakan penyakit menular seksual, publik akan tahu pasti bahwa kasus kematian dari para selebriti karena AIDS akan sangat banyak jumlahnya dan akan menjadi sangat luar biasa (seperti anda ketahui free-sex merajalela di sana). Namun hal itu tidak seperti yang di harapkan sebenarnya. Sepertiyang di ceritakan oleh pihak keluarga dan teman terdekat dari mantan selebritis tersebut bahwa Rock Hudson, Nureyev, Anthony Perkins, Freddie Mercury, danNéstor Almendros mati bukan karena AIDS. Selain itu bahwa pada kasus mereka ditemukan penyebab kematian yang berbeda-beda. Kenyatannya Nureyev meninggal karena keracunan seperti pengakuan dari pacar prianya (sumber Guardian 30 Januari 2003), Hudson di beritakan meninggal karena kanker kelenjar getah bening, Freddie Mercury merupakan pemakai narkoba (drug user) dan meninggal karena over dosis dan multi-lobe broncopneumonia. Kemudian Néstor Almendros meninggal karena kanker, dan Antony Perkins meninggal yang di akibatkan oleh pneumonia yang di propagandakan oleh para maistream sebagai penyakit terdefinisi AIDS. Namun ada hal yang sangat tidak masuk di akal, karena selama hidupnya setelah di diagnose HIV positif, Antony Perkins tidak menularkan infeksi virus HIV kepada istrinya (istrinya menceritakan setelah di diagnosa hiv, tetap berhubungan intim sebagai suami istri / tanpa pengaman).
Fakta lain bahwa beberapa gay selebritis yang masih hidup walapun telah di diagnosa HIV seperti Juara Olimpiade Greg Louganis (Amerika) yang memproklamirkan hidup sehat. Pada kenyataannya, Greg tidak pernah mengkonsumsi “obat hiv” atau seperti skater terkenal bernama Rudy Galindo, selain itu Magic Johnson masih hidup dan sehat sampai sekarang, dan petinju Tommy Morrison yang sehat dan masih hidup tanpa pengobatan yang kemudian dengan tegas mencela teori AIDS sebagai penipuan (propaganda untuk mengeruk keuntungan).
Greg Luganis : tips yang terbaik adalah berhenti mengkonsumsi obat tersebut. Karena saya merasa bahwa kualitas hidup saya hilang pada saat mengkonsumsi obat tersebut ­((The State, 15 April, 1997).
Suami dariMargaret Heckler yang merupakan pengacara yang sangat fanatik yang pada tahun bersama 1984 pertama kali mempresentasikan theory AIDS bersama Dr. Gallo meninggal karena pneumonia. Hal ini tentu sangat lucu dan sungguh tidak masuk akal, karena ketika mereka mempresentasikan penyakit pneumonia sebagai penyebab dari AIDS pada saat itu.

ASHE AND PERKINS TIDAK PERNAH MENGINFEKSI VIRUS HIV KEPADA ISTRI MEREKA
Arthur Ashe, pemenang tenis Wimbledon diduga terinfeksi HIV dalam transfusi darah untuk bypass pada tahun 1983. Dan kematian Arthur di atributkan untuk AIDS. Tetapi pada kenyataannya bahwa Arthur meninggal karena komplikasi penyakit hati setelah dia mendapat kenyatan bahwa itu merupakan penyakit bawaan lahirnya. Bertahun-tahun selama masih hidup, Arthur tidak pernah pernah menularkan virus tersebut kepada istrinya walaupun mereka tetap berhubungan pada sebagai suami istri. Ashe meninggal pada tahun 1993.

Begitu pula dengan apa yang terjadi pada Perkins, dan anak nya lahir dengan sehat dan tidak pernah terinfeksi HIV. BUKTI KESEKIAN KALINYA BAHWA HIV BUKAN MERUPAKAN PENYAKIT YANG MENULAR LEWAT HUBUNGAN SEKSUAL. Obat HIV yang telah dia konsumsi menyebabkan Perkins meninggal dunia, berdasarkan pernyataan dari Duesberg (ilmuwan peraih nobel) yang dengan tegas mengatakan Perkins merupakan korban dari AZT (salah satu obat hiv/aids yang sangat berbahaya dan beracun yang sebelumnya telah di larang di gunakan untuk terapi kanker, karena setelah di gunakan obat tersebut, orang-orang malah meninggal dunia).
13662728781369513938

ANTHONY PERKINS MATI KARENA PNEUMONIA BUKAN AIDS
136627292258844919

ROCK HUDSON MATI KARENA KANKER GETAH BENING, BUKAN AIDS
1366272968980046852

ARTHUR ASHE MATI KARENA MASALAH JANTUNG (PENYAKIT BAWAAN), , TOXIC MEDICATION BUKAN AIDS
13662730111032693067

NUREYEV MATI KARENA KERACUNAN, BUKAN AIDS
136627305032600175

TOMMY MORRISON HIV + SEHAT TANPA OBAT, SEKARANG MALAH NEGATIV HIV.
13662730881476862877

MAGIC JOHNSON, SEHAT TANPA OBAT
13662731231151471231

GREG LUGANIS SEHAT TANPA OBAT HIV.
Didiagnosa positif tidak berarti sama sekali bahwa anda akan mendapatkan AIDS
Buktinya
Faktanya bahwa para selebritis yang di tes positif hiv tidak berarti sama sekali (meaningless), semua orang bisa saja di test positif berdasarkan STDs, hepatitis, flu atau citomegaloviruses. Kemudia mereka menyusun latency (Penundaan yang terjadi ketika informasi dikirimkan dari propaganda kepada korbannya) dan menunggu sampai mereka yang di diagnosa mendapatkan diagnosa penyakit selama tahun tersebut, kemudian mereka secara cerdik menamakan itu sebagai AIDS, padahal sebenarnya tidak, penyakit mereka sudah ada bahkan sebelum mereka terkena AIDS.

Sumber:
Crewdson, J, (2002) Science Fictions, p. 448 (Pulitzer prize) Carlson, J. R., et al. "Evaluation of commercial AIDS screening test kits." Lancet 1(8442):1388, June 15, 1985 (lancet merupakan salah satu jurnal medical terkenal di dunia jadi bukan merupakan jurnal rethinker AIDS)


AZT YANG MEMBUNUH SEL-T, BUKAN HIV (Balzarini, 1989)

HIV tidak membunuh anda, karena didalam sejarah tidah pernah ada retrovirus yang pernah membunuh binatang bahkan manusia. Tetapi AZT yang secara pasti membunuh. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Balzarini. Biakan virus hiv yang di tempatkan pada vitro didalam laboratorium selama 4 bulan di dapatkan hasil tidak membunuh sel-T. (Hoxie et al, 1985). Obat AIDS dari dokter lah yang membunuh anda. Apabila anda percaya pada teori tersebut dan meracuni diri anda sendiri, maka anda akan mati sia-sia dengan sesuatu yang tanpa dasar ilmiah di buktikan. 

INGAT DISANA ADA JUTAAN ORANG DI DUNIA YANG HIDUP SEHAT SETELAH DI DIAGNOSA HIV+ WALAUPUN TANPA MENGKONSUMI OBAT, Contoh sederhana Silvia L. , Nuria G. and Dr. Garrido yang telah di diagnosa selama 18 dan lebih dari 20 tahun, dan masih banyak lagi (lihat saja pengakuan mereka di : http://livingwithouthivdrugs.com/)

Balzarini, J., Herdewijn, P. and De Clercq, E. (1989) Differential patterns of intracellular metabolism of 2',3'-didehydro-2',3'-dideoxythymidine and 3'-azido-2',3'-dideoxythymidine, two potent anti-human immunodeficiency virus compounds. J. biol. Chem. 264: 6127-6133.

Teringat saya menanyakan salah satu dokter di daerah saya yang ketika saya tanyakan mengenai seorang pria HIV+ di Manchester hidup sehat selama 20 tahun walaupun tanpa mengkonsumsi obat HIV. Beliau menjawabnya “ oh kita tetap akan menggunakan obat HIV karena sudah ketentuan dari Pihak WHO. Oh that’s almost funny for me, because the WHO lies to us all the time. They very friendly with the drug companies…

KESIMPULAN
MEDIA PROPAGANDA DAN REPETISI GOEBBELIAN BERBOHONG DAN BERUSAHA MENCUCI OTAK KITA (BRAIN WASHED) SEHINGGA KITA PERCAYA BAHWA MEREKA TELAH MATI KARENA AIDS. SAMPAI SAAT INI VIRUS HIV YANG DI KIRA ADA, NYATANYA BELUM BISA DI ISOLASI. TIDAK ADA SEORANG ILMUWAN PUN YANG BISA MENGHUBUNGKAN KEMATIAN DENGAN AIDS. NO ONE. AIDS TERDIRI DARI 30 PENYAKIT YANG SELALU ADA JAUH SEBELUM AIDS ITU DI HOAX-KAN, SEPERTI KANKER UTERUS, PNEUMONIA, TBC, DEMENTIA, KAPOSI’S SARCOMA ATAU KANKER REKTUM. AIDS MERUPAKAN KEBOHONGAN YANG SANGAT MONUMENTAL (SEBUAH GAGASAN DARI SOSIAL POLITIK). AIDS BUKANLAH MERUPAKAN ILMU ATAU PENYAKIT BARU, DAN TUGAS KITA SEMUA BERSAMA-SAMA UNTUK MENGAKHIRI TIPUAN GLOBAL INI

SUMBER : http://www.kompasiana.com/alexander1/benarkah-selebritis-mati-karena-aids-faktanya-tidak_552c703a6ea834101f8b45a1

FAKTA VIRUS HIV adalah rekayasa


Bismillah…
Berawal dari review saya tentang novel CODEX: Konspirasi Jahat Di Atas Meja Makan Kita. Di cover belakang tertulis:
DEPOPULATION PROGRAM ADALAH NYATA!
…….
Tahukah Anda jika HIV sengaja diciptakan untuk memusnahkan etnis asli Afrika?
……..
Kemudian mas Wikan memberikan pertanyaan yang bagus:
Wikan said:
kalau AIDS buat membasmi orang Afrika, kenapa orang Amerika dan orang di lain benua juga kena?
Karena terlalu panjang penjelasannya, maka saya buka thread baru, dengan jawaban sebagai berikut:
WHO tahun 2008 mencatat jika di benua Afrika sekurangnya ada 40 jutaan orang terjangkit HIV. Ini menurut data resmi, sedangkan semua orang tahu jika angka di lapangan bisa lebih banyak dua atau tiga kali dari data resmi. Di dunia ini, HIV memang dikenal sebagai pembunuh nomor satu orang-orang kulit hitam. Dalam perkembangan penelitian, banyak saintis dunia yang mengatakan bahwa HIV sengaja diciptakan untuk pemusnahan massal, siapa yang mengatakan:
[1] Doktor Mangari Waathai, Doktor Biologi peraih Nobel di tahun 2004, yang dengan tegas menyatakan jika HIV merupakan senjata biologi yang sengaja diciptakan untuk menghabisi satu etnis manusia. Sejarah HIV tidak berawal dari monyet-monyet yang hidup di Afrika lalu menulari manusia. Ini dusta besar orang-orang Barat. Sebagai orang Afrika, Mangari Waathai mengaku jika kaumnya telah berabad-abad silam hidup berdampingan dengan monyet-monyet di alam liar, namun dahulu tidak ada yang namanya HIV.
Referensi:
[2] Jacob Segal, Profesor Biologi di Humboldt University Jerman, yang berjudul “AIDS: USA Home-made Evil”. Dalam tulisannya, Segal meyakini jika Virus HIV berawal bukan dari Afrika, tapi dari Fort Detrick-Maryland, fasilitas penelitian senjata kimia dan biologi rahasia yang dimiliki Pentagon yang didanai Rockefeller, CIA, dan National Institute of Health; dengan cara menggabungkan genom viral dari VISNA dan HTLV-1, karena keduanya nyaris identik dengan genom HIV. Tulisannya bisa dibaca di Journal Science 1985 (227: 173-177) atau Conspiracy theories in American history: an encyclopedia, Volume 1, by Peter Knight, hal 43 dari 299.
[3] Profesor Willace L. Pannier yang meninggal baru-baru ini mengetahui semua itu dan dia juga meninggalkan catatannya tentang fakta di sekitar HIV. Berita kematiannya di sini. Kematiannya termasuk misterius seperti halnya para saintis lainnya yang juga masih misterius penyebab kematiannya. Baca: Highly Suspicious Deaths Of A Statistically Impossible Amount Of Top Scientists.
Tulisan di bawah ini meng-quote Novel “Codex: Konspirasi Jahat di atas Meja Makan Kita”, hal 381-384, diceritakan bahwa pemeran utama menyebarkan bocoran catatan-catatan rahasia ke dunia internet (semacam wikileaks), yang membuat CIA (Unit Disinformasi) bekerja keras membuat informasi tandingan.
———- start quote ———-
Inilah catatan-catatan yang dibuat Willace L. Pannier di sela-sela kesibukannya bergabung dengan tim khusus di Laboratorium Fort Detrick, AS.
“HIV merupakan istilah baru bagi virus lama bernama SV40. Ini adalah nama bagi salah satu dari sejumlah organisme viral andalan yang telah diisolasi oleh seksi virus di Fort Detrick. SV40 dapat dijadikan sebagai virus yang mampu menyerang dan menghancukan sistem kekebalan tubuh manusia. Semua ini digagas oleh orang-orang seperti Prescott Bush, Harriman, Rockefeler, dan sekutu The New World Order lainnya, yang sepakat menjalankan agenda Eugenics Movement sejak awal tahun 1900-an”.
Eugenics Movement merupakan gerakan rasialis untuk memperbanyak ras manusia superior (kulit putih, mata biru, dsb), dan menghancurkan ras manusia yang dianggap inferior (kulit berwarna, lemah fisik, cacat, dsbnya). Gerakan ini secara nyata telah dipraktekkan Adolf Hitler dengan NAZI-nya dalam PD II. Keluarga Harriman pada tahun 1910 mendanai Eugenics Record Office di Cold Spring Harbor, NY, dimana salah satu produknya adalah Human Genome Project.
Pannier memaparkan bahwa ada satu nama yang erat dengan sejarah HIV itu sendiri yakni Doktor Hilary Koprowski, seorang Yahudi Polandia. Koprowski lahir di Warsawa, 5 Desember 1916 yang kemudian dikenal dunia sebagai pakar imunologi dan juga pakar virus. Riwayat hidup Koprowski jelas-jelas membuktikan jika NAZI memang berkolaborasi dengan sejumlah elit Yahudi. Ketika NAZI menyerang Polandia di tahun 1939, NAZI mengizinkan Koprowski untuk meneruskan pendidikannya hingga meraih gelar dokter. Atas izin NAZI pula dia meninggalkan Polandia dan pindah ke Italia, negeri sekutu NAZI. Dari Italia, Koprowski pergi ke Brazil untuk meneliti penyakit kuning dan virus-virus neotropik dengan dana dari Rockefeller Foundation.
Di tahun 1957, Koprowski melakukan percobaan vaksin polio di Afrika. Koprowski menggunakan tisu ginjal monyet yang telah dipaparkan virus SV40 dan menginjeksi vaksin yang telah terkontaminasi tersebut kepada ribuan orang Negro Afrika. (Buku “The Dark River: A Journey to the Source of HIV and AIDS”; dan buku “Deadly Mist, Upaya Amerika Merusak Kesehatan”). Walau mengakui hal ini, namun Koprowski menolak jika dikatakan telah menciptakan virus HIV. (sumber: Hilary Koprowski: AIDS and the Polio Vaccine).
Walau demikain bukti-bukti di lapangan telah menunjukkan jika titik awal epidemi AIDS memang berasal dari Afrika Tengah, lokasi yang sama ketika Koprowski melakukan vaksinasi polio terhadap lebih dari 300 ribu orang negro Afrika di tahun 1957 hingga 1960.
Dalam catatan akhirnya tentang HIV-AIDS, Pannier menulis:
“Sudah menjadi strategi kelompok elit ini sejak dulu untuk bermain di dua kaki: Menciptakan penyakit, dan menciptakan obatnya. Namun tak jarang obat yang diciptakan ternyata malah memperkuat penyakit tersebut sehingga pasien akan memerlukan obat lain yang jauh lebih kuat dan menyebabkan dia ketergantungan obat-obatan medis. Mereka menciptakan banyak pelanggan dari usaha jahat ini.”
“HIV dan AIDS diciptakan oleh konspirasi jahat keluarga Harriman, Rockefeller, dan Bush. Ketiganya kuliah di Yale University dan bergabung dalam komunitas penyembah Lucifer Universitas Yale bernama “The Skull and Bones Brotherhood”. Dan faktanya, Universitas Yale adalah pemegang hak paten atas salah satu obat utama HIV yang dikenal dengan istilah d4t atau Zerit yang ditemukan awal 1990-an, dan menunjuk Bristol Myers untuk memproduksi dan memasarkannya. Dari obat ini saja, Yale menerima royalti sebesar US $328 juta. Padahal, Zerit tidak menghilangkan HIV namun hanya memperpanjang usia sehingga orang yang menderita HIV dapat menularkannya dan “merekrut” banyak calon pelanggan obat-obatan mereka.
———- end quote ———-
Sebagai rujukan tambahan, silakan lihat video dokumenter: IN LIES WE TRUST.
Film karya Sir Leonard George Horowitz tentang sejarah bioterorism, termasuk bagaimana AIDS dan vaksin-vaksin jahat itu sengaja diciptakan, juga peran CIA serta media propaganda Hollywood. Video In Lies We Trust ini berdurasi 2 jam 30 menit. Video ini semakin meyakinkan saya bahwa kejahatan bioterorism adalah NYATA.




Fight For Freedom!
Salam hangat tetap semangat,
Iwan Yuliyanto
28.12.2010

di copi dari :  http://iwanyuliyanto.co/2010/12/28/benarkah-virus-hiv-sengaja-diciptakan/

Penyebab Ratusan HIJABer kota Batang Jawa Tengah terinfeksi HIV


TEMPO.CO Bangkalan: Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa mengatakan sebanyak 564 perempuan di Kota Batang, Jawa Tengah, positif terinfeksi penyakit HIV-Aids. Yang mengejutkan, kata Khofifah, 90 persen dari para perempuan tersebut adalah perempuan berhijab.


Menurut Khofifah, setelah didata, para perempuan malang itu bukanlah wanita nakal semacam pekerja seks. "Mereka itu ternyata adalah para ibu rumah tangga, perempuan solehah," kata Khofifah saat berkunjung ke Pondok Pesantren Al-Anwar, Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, Ahad, 7 Juni 2014.


Setelah diteliti, kata Khofifah, para perempuan di Batang itu tertular penyakit HIV/ AIDS dari suami mereka. "Jadi kalau suami punya istri solehah, maka suami juga harus soleh," kata Khofifah.


Karena itu, Khofifah memastikan secara perlahan akan menutup tempat lokalisasi di Indonesia. Salah satu wilayah yang jadi fokus Khofifah adalah wilayah Jawa Timur. 


Data Kementerian Sosial menyebutkan para pengungsi lokalisasi di Jawa Timur terbanyak di Indonesia. "Besok, saya akan menutup lokalisasi di Ponorogo," ujar Khofifah.


Lokalisasi di Ponorogo, ungkap Khofifah, adalah lokalisasi ke-13 yang ditutup di Jawa Timur.

sumber : http://nasional.tempo.co/read/news/2015/06/08/058672908/ratusan-hijaber-terinfeksi-hiv-aids-ini-penyebabnya

Apa LIMFADENOPATI ITU ? Mengapa Virus HIV sulit sembuh ?

Limfadenopati berarti penyakit pada kelenjar atau aliran getah bening (sistem limfatik). Biasanya, penyakit tersebut terlihat sebagai kelenjar getah bening menjadi bengkak, sering tanpa rasa sakit. Pembengkakan kelenjar itu disebabkan oleh reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai infeksi, termasuk HIV dan TB.

Ada ratusan kelenjar getah bening di tubuh kita, dengan ukuran antara sebesar kepala peniti hingga biji kacang. Organ ini sangat penting untuk fungsi sistem kekebalan tubuh, dengan tugas menyerang infeksi dan menyaring cairan getah bening. Sebagian besar kelenjar getah bening ada di daerah tertentu, misalnya mulut, leher, lengan bawah, ketiak, dan kunci paha.

Segera setelah seseorang terinfeksi HIV, kebanyakan virus keluar dari darah. Sebagian melarikan diri ke sistem limfatik (getah bening) untuk menyembunyikan diri dalam sel di kelenjar getah bening. Beberapa ilmuwan menganggap bahwa hanya 2% HIV ada dalam darah. Sisanya ada di sistem limfatik, termasuk limpa, di lapisan usus dan di otak.

Infeksi HIV sendiri dapat menyebabkan limfadenopati atau pembengkakan kelenjar getah bening. Limfadenopati adalah salah satu gejala umum infeksi primer HIV. Infeksi primer atau akut adalah penyakit yang dialami oleh sebagian orang beberapa minggu setelah tertular HIV – lihatLembaran Informasi (LI) 103. Gejala lain termasuk demam dan sakit kepala, dan sering kali penyakit ini dianggap flu.

Walaupun limfadenopati sering disebabkan HIV sendiri, penyakit ini dapat gejala infeksi lain, termasuk TB di luar paru, sifilis, histoplasmosis, virus sitomegalia, sarkoma Kaposi, limfomadan kelainan kulit.
Apa Limfadenopati Generalisata yang Persisten Itu?

Limfadenopati generalisata yang persisten (persistent generalized lymphadenopathy/PGL) adalah limfadenopati pada beberapa kelenjar getah bening yang bertahan lama. PGL adalah gejala khusus infeksi HIV yang timbul pada lebih dari 50% Odha dan sering disebabkan oleh infeksi HIV sendiri. Batasan limfadenopati pada infeksi HIV adalah sbb.:
Melibatkan sedikitnya dua kelompok kelenjar getah bening;
Sedikitnya dua kelenjar yang simetris berdiameter lebih dari 1cm dalam setiap kelompok;
Berlangsung lebih dari satu bulan; dan
Tidak ada infeksi lain yang menyebabkannya.
Pembengkakan kelenjar getah bening ini bersifat tidak sakit, simetris (kiri-kanan sama), dan kebanyakan terdapat di leher bagian belakang dan depan, di bawah rahang bawah, di ketiak serta di tempat lain, tidak termasuk kunci paha. Biasanya kulit pada kelenjar yang bengkak karena PGL akibat HIV tidak berwarna merah. Kelenjar yang bengkak kadang kala sulit dilihat, dan lebih mudah ditemukan melalui menyentuhnya. Biasanya kelenjar ini berukuran serupa kacang polong sampai buah anggur, dan bila diraba, merasa seperti buah anggur.
PGL berkembang secara pelan dan mungkin dapat menghilang pada saat jumlah CD4 menurun menjelang 200.
Kurang lebih 30% orang dengan PGL juga mengalami splenomegali (pembesaran limpa).
Bagaimana Limfadenopati Diobati?

Asal jumlah, tempat dan ukuran kelenjar yang bengkak tidak berubah, orang dengan PGL tidak membutuhkan pengobatan lebih lanjut, selain pemantauan setiap periksa ke dokter. Perubahan pada ciri kelenjar harus secepatnya dilaporkan ke dokter.
Bila kelenjar menjadi semakin besar, berwarna merah, sakit atau tampaknya berisi cairan bila diraba, dan dokter mencurigai ada infeksi bakteri, dokter mungkin akan memberi obat antibiotik. Kalau tidak ada perubahan, dokter mungkin akan melakukan aspirasi (mengambil contoh kecil dari kelenjar dengan jarum tipis, untuk diperiksa dengan mikroskop). Aspirasi ini berguna untuk menyingkirkan diagnosis limfoma, limfadenopati karena sarkoma Kaposi, penyakit jamur, TB atau penyebab yang lain. Bila kelenjar terus membesar, mungkin dokter akan menyedot cairan isinya dengan jarum kecil (aspirasi) agar tidak meledak.
Apakah Limfadenopati Tanda AIDS?

Limfadenopati dapat terjadi dari awal infeksi HIV, dan PGL biasanya dialami waktu belum ada gejala lain, sering pada waktu jumlah CD4 di atas 500. Sebaliknya, hilangnya PGL dapat menunjukkan kita tidak lama lagi akan masuk tahap AIDS, berarti sebaiknya kita mempertimbangkan mulai terapi antiretroviral (ART).
Garis Dasar

Limfadenopati sering di antara gejala pertama infeksi HIV, yang dialami waktu infeksi primer atau akut, beberapa minggu setelah terinfeksi. Penyakit ini ditandai pembengkakan pada satu atau lebih kelenjar getah bening, biasanya di leher dan ketiak, tetapi kadang kala di tempat lain. Gejala ini biasanya cepat hilang tanpa diobati. Namun gejala ini dapat bertahan terus, menjadi PGL.

Limfadenopati generalisata yang persisten (PGL) adalah kelenjar yang bengkak di sedikitnya dua tempat secara simetris. PGL biasanya dialami waktu tahap infeksi HIV tanpa gejala, dengan jumlah CD4 di atas 500, dan sering hilang sebagaimana jumlah CD4 menurun menjelang 200.

Selain infeksi HIV sendiri, limfadenopati dapat disebabkan oleh infeksi lain, termasuk TB di luar paru dan sifilis. Jika ada gejala lain, sebaiknya ada pemeriksaan secara teliti untuk menyingkirkan alasan lain. Bila tidak ada alasan lain, limfadenopati tidak perlu diobati.

Limfadenopati tidak berkembang menjadi limfoma (kanker pada sistem limfatik – lihat LI 509), dan tidak menunjukkan peningkatan dalam kemungkinan limfoma akan terjadi.

sumber : http://spiritia.or.id/

Ditinjau 1 Juni 2014 berdasarkan HRSA Guide for HIV/AIDS Clinical Care 30 April 2014 hlm. 313 dan berbagai sumber lain


Beberapa ilmuwan menganggap bahwa hanya 2% HIV ada dalam darah. Sisanya ada di sistem limfatik, termasuk limpa, di lapisan usus dan di otak.

ASAL USUL HIV AIDS


Asal-Usul Hiv Aids “Virus HIV AIDS sebenarnya bukan berasal dari simpanse, tetapi ciptaan para ilmuwan yang kemudian diselewengkan melalui rekayasa tertentu untuk memusnahkan etnis tertentu.” (Jerry D. Gray, Dosa-dosa Media Amerika – Mengungkap Fakta Tersembunyi Kejahatan Media Barat, Ufuk Press 2006 h. 192). 

Tulisan Allan Cantwell, Jr. M.D. ini mengungkapakan rahasia asal-usul AIDS dan HIV, juga bagaimana ilmuwan menghasilkan penyakit yang paling menakutkan kemudian menutup-nutupinya. 


" Sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan pula obatnya "


Teori” Monyet Hijau

1.Tidak sedikit orang yang sudah mendengar teori bahwa AIDS adalah ciptaan manusia. Menurut The New York Times yang terbit 29 Oktober 1990, tiga puluh persen penduduk kulit hitam di New York City benar-benar percaya bahwa AIDS adalah “senjata etnis” yang didesain di dalam laboratorium untuk menginfeksi dan membunuh kalangan kulit hitam. Sebagian orang bahkan menganggap teori konspirasi AIDS lebih bisa dipercaya dibandingkan teori monyet hijau Afrika yang dilontarkan para pakar AIDS. Sebenarnya sejak tahun 1988 para peneliti telah membuktikan bahwa teori monyet hijau tidaklah benar. Namun kebanyakan edukator AIDS terus menyampaikan teori ini kepada publik hingga sekarang. Dalam liputan-liputan media tahun 1999, teori monyet hijau telah digantikan dengan teori simpanse di luar Afrika. Simpanse yang dikatakan merupakan asal-usul penyakit AIDS ini telah diterima sepenuhnya oleh komunitas ilmiah.

2. “Pohon keturunan” filogenetik virus primata (yang hanya dipahami segelintir orang saja) ditampilkan untuk membuktikan bahwa HIV diturunkan dari virus primata yang berdiam di semak Afrika. Analisis data genetika virus ditunjukkan melalui “supercomputer” di Los Alamos, Mexico, menunjukkan bahwa HIV telah “melompati spesies’, dari simpanse ke manusia sekitar tahun 1930 di Afrika.

Eksperimen Hepatitis B Pra-AIDS kepada Pria Gay (1978-1981)

Ribuan pria gay mendaftar sebagai manusia percobaan untuk eksperimen vaksin hepatitis B yang “disponsori pemerintah AS” di New York, Los Angeles, dan San Fransisco. Setelah beberapa tahun, kota-kota tersebut menjadi pusat sindrom defisiensi kekebalan terkait gay, yang belakangan dikenal dengan AIDS. Di awal 1970-an, vaksin hepatitis B dikembangkan di dalam tubuh simpanse. Sekarang hewan ini dipercaya sebagai asal-usul berevolusinya HIV. Banyak orang masih merasa takut mendapat vaksin hepatitis B lantaran asalnya yang terkait dengan pria gay dan AIDS. Para dokter senior masih bisa ingat bahwa eksperimen vaksin hepatitis awalnya dibuat dari kumpulan serum darah para homoseksual yang terinfeksi hepatitis.

Kemungkinan besar HIV “masuk” ke dalam tubuh pria gay selama uji coba vaksin ini. Ketika itu, ribuan homoseksual diinjeksi di New York pada awal 1978 dan di kota-kota pesisir barat sekitar tahun 1980-1981.

Apakah jenis virus yang terkontaminasi dalam program vaksin ini yang menyebabkan AIDS? Bagaimana dengan program WHO di Afrika? Bukti kuat menunjukkan bahwa AIDS berkembang tak lama setelah program vaksin ini. AIDS merebak pertama kali di kalangan gay New York City pada tahun 1979, beberapa bulan setelah eksperimen dimulai di Manhattan. Ada fakta yang cukup mengejutkan dan secara statistik sangat signifikan, bahwa 20% pria gay yang menjadi sukarelawan eksperimen hepatitis B di New York diketahui mengidap HIV positif pada tahun 1980 (setahun sebelum AIDS menjadi penyakit “resmi’). Ini menunjukkan bahwa pria Manhattan memiliki kejadian HIV tertinggi dibandingkan tempat lainnya di dunia, termasuk Afrika, yang dianggap sebagai tempat kelahiran HIV dan AIDS. Fakta lain yang juga menghebohkan adalah bahwa kasus AIDS di Afrika yang dapat dibuktikan baru muncul setelah tahun 1982. Sejumlah peneliti yakin bahwa eksperimen vaksin inilah yang berfungsi sebagai saluran tempat “berjangkitnya” HIV ke populasi gay di Amerika. Namun hingga sekarang para ilmuwan AIDS mengecilkan koneksi apapun antara AIDS dengan vaksin tersebut.

Umum diketahui bahwa di Afrika, AIDS berjangkit pada orang heteroseksual, sementara di Amerika Serikat AIDS hanya berjangkit pada kalangan pria gay. Meskipun pada awalnya diberitahukan kepada publik bahwa “tak seorang pun kebal AIDS”, faktanya hingga sekarang ini (20 tahun setelah kasus pertama AIDS), 80% kasus AIDS baru di Amerika Serikat berjangkit pada pria gay, pecandu narkotika, dan pasangan seksual mereka. Mengapa demikian? Tentunya HIV tidak mendiskriminasi preferensi seksual atau ras tertentu. Apakah benar demikian?

Keserupaan dengan FLU Burung

Di pertengahan tahun 1990-an, para ahli biologi berhasil mengidentifikasi setidaknya 8 subtipe (strain) HIV yang menginfeksi berbagai orang di seluruh dunia. Telah terbukti, strain B adalah strain pra dominan yang menginfeksi gay di AS. Strain HIV ini lebih cenderung menginfeksi jaringan rektum, itu sebabnya para gay yang cenderung menderita AIDS dibandingkan non-gay
Sebaliknya, Strain HIV yang umum dijumpai di Afrika cenderung menginfeksi vagina dan sel serviks (leher rahim), sebagaimana kulup penis pria. Itu sebabnya, di Afrika, HIV cenderung berjangkit pada kalangan heteroseksual.

Para pakar AIDS telah memeberitahukan bahawa AIDS Amerika berasal dari Afrika, padahal Strain HIV yang umum dijumpai di kalangan pria gay nyaris tak pernah terlihat di Afrika! Bagaimana bisa demikian? Apakah sebagian Strain HIV direkayasa agar mudah beradaptasi ke sel yang cenderung menginfeksi kelamin gay?

Telah diketahui, pria ilmuwan SCVP (Special Virus Cancer Program) mampu mengadaptasi retrovirus tertentu agar menginfeksi jenis sel tertentu. Tak kurang sejak tahun 1970, para ilmuwan perang biologis telah belajar mendesain agen-agen (khususnya virus) tertentu yang bisa menginfeksi dan menyerang sel kelompok rasial “tertentu”. Setidaknya tahun 1997, Stephen O’Brien dan Michael Dean dari Laboratorium Keanekaragaman Genom di National Cancer Institute menunjukkan bahwa satu dari sepuluh orang kulit putih memiliki gen resisten-AIDS, sementara orang kulit hitam Afrika tidak memiliki gen semacam itu sama sekali. Kelihatannya, AIDS semakin merupakan “virus buatan manusia yang menyerang ras tertentu” dibandingkan peristiwa alamiah.

Berkat bantuan media Amerika, virus ini menyebar ke jutaan orang tertentu di seluruh dunia sebelum segelintir orang mulai waspada akan kejahatan di balik penciptaan virus ini. Di tahun 1981, pejabat kesehatan memastikan “masyarakat umum” bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan. “AIDS adalah penyakit gay” adalah jargon yang sering dikumandangkan media.
Setidaknya tahun 1987, Robert Gallo memberitahu reporter Playboy, David Black, “Saya pribadi belum pernah menemukan satu kasus pun (di Amerika) dimana pria terkena virus (AIDS) dari seorang wanita melalui hubungan intim heteroseksual .” Gallo melanjutkan, “AIDS tak akan menjadi bahaya yang tak bisa teratasi bagi masyarakat umum.” Apakah ini sekedar spekulasi ataukah Gallo mengetahui sesuatu yang tidak ia ceritakan?

Efek samping dari obat ARV, hampir sama dgn AIDS sendiri

Dody Achmadi menyunting dokumen di grup GERAKAN TOLAK ARV (GETAR) .

Kebenarannya adalah AZT, ddI, ddC , penghambat protease (protease inhibitors) dan obat-obatan lainnya yang disebut “antiretroviral s” tidak pernah didapati di studi terkontrol manapun yang membuktikan adanya manfaat klinis teruji terhadap para pasien AIDS. Satu-satunya studi terpublikasikan yang mengklaim adanya hasil positif hanyalah bersifat sementara dan tidak memiliki hasil statistik yang signifikan. (1)
Bahkan lebih mengkhawatirkan lagi, terdapat cukup banyak bukti bahwa obat-obatan ini telah diketemukan dapat menyebabkan gejala-gejala yang sebenarnya ingin disembuhkan. Lebih dari 500 Medical Doctor dan atau Ph.D. telah menandatangani suatu pernyataan yang mengajak untuk diadakannya penilaian kembali bagi penyebab AIDS dan mempertanyakan apakah gejala-gejala yang ada benar-benar disebabkan oleh HIV.
Walaupun “antiretroviral ” lebih baru seperti ddC, ddI, dan d4T memiliki mekanisme analisator aksi dan toksisitas yang sama dengan AZT, mereka belum pernah diteliti secara ekstensif dan dengan demikian tidak didiskusikan secara detail seperti halnya penelitian-pene litian yang ditekankan di bawah ini.
1) Tulisan Pembukaan Glaxo mencantumkan peringatan berikut dengan huruf kapital besar dan tebal di awal bagian Physician’s Desk Reference edisi tahun 1998 yang mendeskripsikan AZT (merek Retrovir atau Zidovudine).
“RETROVIR (ZIDOVUDINE) BISA MENGAKIBATKAN TOKSISITAS HEMATOLOGI BERAT TERMASUK GRANULOCYTOPENI A DAN ANEMIA BERAT YANG TERUTAMA SEKALI ADA PADA PASIEN DENGAN HIV TINGKAT LANJUT (LIHAT PERINGATAN). PENGGUNAAN RETROVIR SECARA TERUS MENERUS JUGA BISA MENGAKIBATKAN SYMPTOMATIC MYOPATHY SERUPA DENGAN YANG DIHASILKAN OLEH HUMAN IMMUNODEFICIENC Y VIRUS.”

Ijinkan saya untuk menerjemahkanny a ke bahasa yang lebih mudah dimengerti. “Granulocytopen ia”, yang juga disebut “neutropenia” artinya sel penting dari sistem imun, yaitu neutrophil, telah berkurang, bersamaan dengan sel-sel lainnya, eosinophil dan basophil, yang jumlahnya lebih sedikit tapi masih penting.
Kondisi ini bisa ringan, sedang, atau bahkan berat. Catatan klinis atas neutropenia berat dalam Pathologic Basis of Disease karangan Robbins (5th Ed.), dimana dipakai oleh kebanyakan sekolah kedokteran yang mempelajari patologi, memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi pada pasien penderita neutropenia berat.

CATATAN KLINIS: Gejala dan tanda-tanda dari neutropenias adalah adanya infeksi bakteri … Dalam kasus agranulocytosis berat dengan kondisi tidakadanya neutrophil, infeksi-infeksi ini bisa sangat beraneka macam sampai menyebabkan kematian dalam hitungan hari. “ (Robbins, p.631).
Hal ini terdengar sangat mengganggu sama dengan deskripsi AIDS. Robbins juga menyatakan, dalam huruf bercetak miring, bahwa “bentuk umum dari neutropenia berat adalah dikarenakan obat-obatan.” Apa yang tidak disebutkan di buku teks manapun adalah bahwa AZT telah didapati dalam lima penelitian (sesudah adanya ketergesa-gesaa n FDA dalam memberikan perizinan atasnya) ternyata beracun bagi sel T, sel yang ketidakhadirany a dianggap disebabkan oleh karena HIV.(2) Hal ini tidaklah mengejutkan sejak sel T dan semua sel lainnya diproduksi di dalam sumsum tulang telah berkurang karena AZT. AZT pada awalnya meningkatkan produksi sel T sebagai respon sistem kekebalan tubuh terhadap racun yang ada dari AZT, tapi dalam waktu yang cukup singkat, sel T, neutrophil, dan sel sistem kekebalan lainnya mulai berkurang.
2) Satu contoh dari penelitian yang mendokumentasik an pengaruh AZT atas sistem imun manusia telah dipublikasikan di the Annals of Hematology. (3)
AZT telah diberikan ke 14 pekerja kesehatan yang secara tidak sengaja terkontaminasi darah HIV dari jarum suntik. Penelitian seperti ini sangatlah penting karena toksisitas yang terjadi tidak bisa dipersalahkan ke HIV sebagai penyebabnya, seperti yang terjadi pada orang yang positif HIV. Setengah dari 14 orang tersebut akhirnya harus berhenti mengkonsumsi AZT karena efek samping toksisitasnya yang berat, dan penelitianpun dihentikan lebih awal supaya tidak terjadi kerusakan lebih fatal lagi. Neutropenia (seperti telah dijelaskan di atas) berkembang pada 36% (4 dari 11) orang yang memakai perawatan dengan AZT selama 4 minggu.
3 dari 14 orang bahkan tidak bisa mencapai 4 minggu oleh karena “gejala subyektif yang berat”. Satu pekerja harus segera dihentikan memakai AZT karena neutropenia dia terlihat begitu berat sehingga dia mengalami infeksi saluran pernapasan bagian atas.
Apa yang menarik dari penelitian ini adalah efek samping dari AZT muncul hanya dalam waktu 4 minggu, sementara pasien dengan status “positif HIV” seringkali menggunakan AZT dan obat-obatan serupa lainnya selama bertahun-tahun. Dosis pemakaian AZT dalam gabungan dengan ARV lainnya seringkali lebih kecil, yang menyebabkan gejala yang nampak jadi terlihat lebih kecil jika dibandingkan memakai AZT saja.
3) Sebuah artikel di the New England Journal of Medicine (4) memperhatikan pengurangan otot (muscle wasting) sebagai akibat dari pemakaian AZT dan membandingkanny a dengan pengurangan otot yang biasa disebut sebagai “myopathy”, diduga diakibatkan oleh HIV. Komentar mereka terhadap perbandingan tersebut adalah: “Kami menyimpulkan bahwa terapi jangka panjang dengan Zidovudine dapat mengakibatkan keracunan mitochondrial myopathy, dimana… gejalanya tidak bisa dibedakan dengan myopathy yang berhubungan dengan infeksi HIV…”.
Tulisan Robbin mengenai patologi juga berisi bagian yang menjelaskan tentang mitochondrial myopathy, menyatakan bahwa pengurangan otot jenis ini meyebabkan kelemahan fisik yang berat. Dalam tulisannya juga menyebutkan bahwa “kelompok ini bisa juga diklasifikasika n sebagai mitochondrial encephalomyopat hy.” Encephalomyopat hy, dalam bahasa gampangnya berarti kerusakan yang menyebar pada otak dan sumsum.
4) “HIV Dementia”: Walaupun kebanyakan penelitian restrospektif belum menemukan hubungan AZT dengan “HIV dementia”, penelitian-pene litian ini tidaklah terkontrol dan dengan demikian membuka terhadap berbagai kemungkinan dan penyimpangan. Satu penelitian yang terkontrol lebih baik berhasil menemukan bahwa “HIV dementia” terjadi 2 kali lebih besar pada orang yang memakai AZT. Dalam penelitian ini, seperti yang terpubliksikan journal Neurology (5), si pengarang menyatakan:
“diantara para subyek dengan sel CD4+ berjumlah<200/ mm3, resiko untuk berkembangnya HIV dementia di antara mereka yang dilaporkan memakai antiretroviral (AZT, ddI, ddC, or d4T) ternyata 97% lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak memakai terapi antiretroviral”
Penelitian-pene litian tersebut juga membahas mengenai sensory neuropathy, atau kemerosotan syaraf rasa:
“Sebagai tambahan, hasil temuan dari analisa kami sepertinya mengkonfirmasi pengamatan sebelumnya mengenai pengaruh beracun antiretroviral terhadap syaraf. Banyak penelitian telah menghubungkan pemakaian ddI, ddC, dan d4T dengan perkembangan racun atas sensory neuropathy, biasanya dalam dosis tertentu.”
Penelitian-pene litian ini merupakan contoh dari bukti yang menunjukkan bahwa AZT dan antiretroviral lainnya yang dipakai sebagai terapi tunggal atau sebagai bagian dari gabungan terapi ARV dapat menyebabkan gejala-gejala yang serupa dengan AIDS yang kemudian mengkambinghita mkan HIV sebagai penyebabnya. Sialnya, keyakinan mengenai HIV begitu kuatnya sehingga banyak dari peneliti kemudian akhirnya mensuport penggunaan obat-obatan.
Perkecualian yang perlu diperhatikan adalah penelitian dari Pharmacology and Therapeutics, dimana memberikan kritik yang tegas dan seksama (2).
Fakta lain yang menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai kemungkinan HIV yang menyebabkan infeksi adalah fakta bahwa walaupun USD 45 juta telah dikeluarkan sebagai dana penelitian, para ilmuwan tetap tidak bisa mengetahui bagaimana HIV menghancurkan sel T. Tentu saja demikian, ini dikarenakan HIV tidak menghancurkan sel T di tabung lab dan juga tidak pernah terbukti menghancurkan sel T di dalam tubuh manusia.
Dalam sebuah konferensi di tahun 1997, seperti yang dilaporkan pada jurnal Science, fakta ini telah diperjelas sebagaimana teori yang dikemukakan oleh David Ho memiliki kekurangan yang cukup serius. Seperti yang dinyatakan dalam artikel Science “Sampai sekarang misteri utama AIDS tetap tak terungkap, yaitu: Bagaimana HIV menyebabkan hilangnya sel T secara besar-besaran… yang merupakan tanda utama dari AIDS?”
Seorang immunologist dari Harvard Medical School, seperti tertulis dalam artikel tadi, meringkas permasalahan tersebut sebagai berikut: “Kami masih bingung mengenai mekanisme yang membuat berkurangnya sel T, tapi setidaknya sekarang kami bingung pada tingkat yang lebih tinggi lagi terhadap pemahaman kami sendiri.” (6). Sebenarnya, penjelasan sederhana dari permasalahan ini adalah (terutama sesudah dihabiskannya dana USD 45 juta) bahwa HIV tidak berefek pada sel T sama sekali.

PENJELASAN SEBENARNYA DARI PENYEBAB AIDS

Didasarkan pada bukti-bukti di atas, bisa dibuat suatu argumen bahwa apa yang kita sebut AIDS sebenarnya adalah penggenapan ramalan oleh diri sendiri (self-fulfilling prophecy) yang bisa saja terjadi sebagai berikut:

  • Tekanan psikologis akut yang berat karena didiagnosa “positif HIV”, telah bertransformasi dengan cepat menjadi tekanan psikologis kronis mengenai prediksi masa depan hidup dengan kesehatan yang makin menurun dan adanya penyakit infeksi yang bisa terjadi kapan saja. Stres seperti ini akan mengakibatkan bahaya menurunnya sistem imun. Menurunnya sistem imun oleh karena tekanan psikologis telah didokumentasika n dengan baik oleh beberapa penelitian ilmiah dan juga merupakan hal yang pasti terjadi pada kebanyakan orang (7). Disamping itu, orang-orang biasanya ditest untuk HIV pada saat masalah kesehatan mulai muncul, sehingga tekanan psikologis karena terdiagnosa “positif HIV” pun makin menambah parah penyakit yang telah ada sebelumnya. Secara alami, penyakit-penyak it karena pikiran ini bisa kronis dan berat. Tidak mesti harus ada penyakit parah sebelumnya baru muncul penyakit pikiran ini. Penyebab penyakit seperti ini (karena tekanan pikiran) telah diteliti pada orang-orang sehat dimana mereka juga bisa menciptakan suatu kondisi turun dan rusaknya sistem imun yang akhirnya disebut “AIDS”.

  • Sekali ditest positif, orang tersebut seringkali diberi antibiotik dengan dosis tinggi dan untuk jangka panjang, dan bisa juga ditambah dengan antiretroviral, sebagai standar pencegahan atau perawatan terhadap HIV. Antibiotik yang diberi seringkali memiliki efek samping melemahkan yang akhirnya dipersalahkan sebagai akibat dari HIV, termasuk menurunnya sistem imun. Dan lebih lagi, antibiotik mengakibatkan matinya bakteri menguntungkan yang melindungi kita. Tingkat keseimbangan yang normal antara bakteri menguntungkan dan merugikan dalam perut kita dan daerah lainnya adalah salah satu faktor terpenting dalam melindungi tubuh dari infeksi (8). Puncak dari ini semua, antibiotik seringkali juga menyebabkan kebalnya bakteri, jamur dan virus terhadap berbagai macam obat.

  • Sekali sistem imun telah turun oleh karena tekanan emosional (atau kekhawatiran pikiran) yang terus menerus terjadi, penyakit yang pernah diderita sebelumnya (jika pernah ada) dan melemahnya tubuh membuat diagnosa AIDS menjadi positif.Setelah itu, orang tersebut akan mulai diberi resep “antiretroviral s (ARV)” yang pasti dan permanen, dimana efek sampingnya telah saya jelaskan di atas. Makin banyak jumlah orang yang diberi resep ARV padahal mereka masih sehat dan tidak terdiagnosa AIDS.

  • ARV dianjurkan kepada pasien sampai dia meninggal. Ini karena adanya teori bahwa HIV bisa kebal dan berkembang jika mereka lalai mengkonsumsi ARV.Pasien yang meninggalkan prawatan ARV secara teori akan menjadi ancaman publik karena mereka bisa menginfeksi orang lain dengan “HIV yang bermutasi”. Demikianlah, disamping mempertimbangkan kesehatannya sendiri, pasien memiliki tanggung jawab sosial yang besar sehingga mengakibatkan dia untuk tetap mengkonsumsi ARV.Tidak peduli akan betapa berbahayanya efek samping dari ARV, pasien dengan keras dianjurkan untuk tidak pernah luput mengkonsumsi 1 pil pun. Namun ketika kesehatan pasien makin memburuk, keadaan tersebut dipersalahkan pada mutasi HIV sebagai penyebabnya dan juga karena “kelalaian” pasien. Sangat jarang infeksi atau permasalahan kesehatan yang ada dikatakan oleh karena efek samping dari ARV.

Beberapa orang tampaknya memiliki respon yang baik (tapi sementara) terhadap ARV. Apa sebabnya masih belum jelas, tapi bisa saja berhubungan dengan:
  1. ARV langsung bereaksi pada pathogen yang ada termasuk pathogen yang dianggap HIV.
  2. Zat beracun dari ARV telah menstimulasi keluarnya sel T dari sumsum tulang, sebelum akhirnya malah menghabiskan sel T dan menyebabkan turunnya sel imun dan anemia. Awal naiknya jumlah CD4 pada kasus ini diartikan oleh dokter sebagai membaiknya fungsi imun/kekebalan tubuh.
  3. Berkurangnya tekanan psikologis sehingga pasien bisa tenang adalah karena keyakinan yang kuat bahwa ARV yang telah dikonsumsi adalah “penyelamat”. Dan ini seringkali diperkuat dengan hasil lab yang menunjukkan meningkatnya jumlah CD4 dan menurunnya “viral load”, dimana ini bukanlah tanda yang pasti akan membaiknya kesehatan.

Beberapa penelitian ilmiah yang berusaha untuk mendokumentasik an efek positif dari protease inhibitor (PI) gabungan, selalu berakibat tidak baik. Tiap sukarelawan selalu harus stop lebih dini ditengah-tengah penelitian. Ini membuat penelitian-pene litian yang ada tidak bisa menemukan manfaat yang sesungguhnya dari terapi PI gabungan dan penelitian pun tidak pernah selesai.
(1)
Sebagai tambahan, group placebo terkontrol diberikan 2 ARV tanpa protease inhibitor. Jika ARV merupakan bagian dari permasalahan yang ada, maka group placebo terkontrol ini tidak akan memperlihatkann ya. Menghentikan percobaan terlalu dini terjadi pada kasus monoterapi AZT, sampai akhirnya uji coba Concorde berhasil menyelesaikanny a tapi dengan angka kematian dan efek samping berat yang makin banyak di group yang mendapatkan AZT.

Group lainnya, dimana sukarelawan hanya diberikan AZT sesudah didiagnosa positif AIDS, memiliki angka kematian 25% lebih sedikit. Semua 172 sukarelawan uji coba Concorde yang meninggal telah diberikan AZT kecuali 3 sukarelawan. Untuk detail diskusi dari uji coba Concorde, silahkan melihat referensi (1)(9)(10).

Pemikiran bahwa HIV yang bermutasi bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan telah disangkal total oleh penelitian David Rasnick, yang mempublikasikan hasil penelitiannya di the Journal of Biological Chemistry. (11). Dengan demikian, penurunan kesehatan pada kebanyakan pasien BUKAN disebabkan oleh HIV yang bermutasi. Jawaban yang lebih sederhana dan tepat adalah efek samping obat-obatan yang menyebabkannya, seperti yang telah dibeberkan dengan jelas di atas.

Perbandingan Obat KIMIA ARV dengan Obat ALAMI
ARV
OBAT ALAMI
Tidak bisa menyembuhkan AIDS.
Bisa menyembuhkan AIDS.
Karena tidak bisa menyembuhkan, maka harus dikonsumsi seumur hidup.
Ketika sudah sembuh, Odha bisa stop pengobatan.
“Memperbudak” Odha SEUMUR HIDUP dengan kewajiban jadwal ketatnya yang harus dikonsumsi tepat waktu.
Tidak memperbudak Odha seumur hidup karena jadwal konsumsinya fleksibel.
Bahan kimia tidak ramah lingkungan yang penuh dengan efek samping.
Bahan alami ramah lingkungan dan pada umumnya tanpa efek samping.
Mikroba makin kebal atau resisten walaupun dikonsumsi dengan jadwal yang benar.
Tidak akan menimbulkan resistensi walaupun jadwalnya fleksibel.
Tidak aman jika dikonsumsi dalam jangka panjang, apalagi untuk seumur hidup.
Aman jika dikonsumsi dalam jangka panjang, apalagi jenis suplemen, sangat aman dikonsumsi seumur hidup untuk mempertahankan kesehatan.
(NCBI, Oxford Med Journal, Medindia, Healindonesia)
sumber: www.lintas.me/go/memobee.com/aids-denialist-menguak-mafia-kesehatan-pada-kasus-hivaids
Referensi:
1) Lancet; 1998: Volume 352; Supplement 5.
2) These studies of T-cell damage are part of a comprehensive discussion of the extreme toxicity of these drugs. Pharmacology and Therapeutics 1992; Volume 55: 201-277.
3) Annals of Hematology 1994; Volume 69: 135-138.
4) New England Journal of Medicine. 1990; 322(16) : 1098-1105.
5) Neurology. 1994;Volume 44: 1892 -1900.
6) Science. November 21, 1997; 278: 1399-1400.
7) Ader R, Felten DL&Cohen N. Psychoneuroimmu nology. Second Edition. San Diego: Academic Press, 1991
Kolliadin V., DESTRUCTION OF NORMAL RESIDENT MICROFLORA AS THE MAIN CAUSE OF AIDS, Aug. 1996 http:// ww.virusmyth.co m/aids/data/ vkmicro.htm
9) New England Journal of Medicine 1992; 326: 437-443

sumber : www.facebook.com/hivaidshoax/posts/1437516993127095

HIV AIDS di Bali Mengerikan

Merdeka.com - Hingga pertengahan tahun 2014 ini dari catatan sementara Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Provinsi Bali, terdata 26.000 orang telah positif terinfeksi virus HIV/AIDS. Jumlah ini cukup mengerikan dilihat dari kepadatan penduduk di Bali.

Terkait hal ini, ketua harian KPA sekaligus Wakil Gubernur Provinsi Bali Ketut Sudikerta, meminta data yang akurat jumlah penderita HIV/AIDS di Bali. Sajian data ini dinilai terlalu besar dan kemungkinan belum mencerminkan fakta yang sesungguhnya. Untuk itu, Wagub Sudikerta meminta dilakukan verifikasi data agar dapat diambil langkah strategis dalam penanganan kasus HIV/AIDS. Penegasan tersebut disampaikannya dalam rapat koordinasi pembahasan perkiraan jumlah ODHA Provinsi Bali di Ruang Wiswa Sabha Pratama, Kantor Gubernur Bali, Jumat (26/9).

Sudikerta juga menyampaikan keprihatinannya atas tingginya estimasi jumlah ODHA yang dirilis oleh pusat. Untuk itu, dia minta jajarannya untuk melakukan evaluasi agar bisa mendapatkan data yang lebih akurat terkait keberadaan penderita HIV/AIDS di Bali. Validasi data, tambah dia, sangat penting karena terkait erat dengan upaya penanganan kasus ini.

Masih terkait dengan akurasi data, Sudikerta menginstruksikan KPA Kabupaten/Kota melakukan langkah-langkah strategis dalam menyikapi persoalan ini. Langkah yang dapat diambil diantaranya melakukan survey yang benar dan akurat terkait keberadaan ODHA. Selanjutnya, data tersebut agar dikoordinasikan dengan KPA Provinsi.

Selain persoalan akurasi data, Sudikerta juga menyinggung berbagai upaya strategis penanganan kasus HIV/AIDS yang belakangan memang makin mengkhawatirkan. "Saya minta kabupaten/kota melakukan langkah strategis dan mensinergikan program dengan provinsi. Benahi regulasi dan buat program penanggulan yang lebih jelas dan pasti," pintanya.

Sementara itu, Koordinator Pokja Perencanaan dan Monev KPA Provinsi Bali Prof. Wirawan dalam pemaparannya juga menyampaikan keraguannya atas estimasi data penderita HIV/AIDS yang dirilis oleh pusat. Kemungkinan, kata dia, terjadi kesalahan saat melakukan penentuan estimasi.

Dari data yang dilaporkan, jika dilihat dari data kumulatif dari tahun 1987-2014, jumlah ODHA di Bali mencapai 9.477, terdiri dari 4.455 penderita AIDS dan 5.022 penderita HIV positif. Jika ditarik dari data tersebut, estimasi tahun 2014 perkirakan masih 6.000 ODHA. "Ini masih perlu kajian ulang atas data estimasi tersebut," Kata Prof Wirawan

Benarkah ODHA dengan Terapi ARV Tidak Menularkan HIV?

Apakah ODHA yang diobati tidak lagi menular? 

Beberapa pakar terkemuka Swiss setahun lalu mengeluarkan pernyataan, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang memakai terapi antiretroviral (ARV) secara patuh boleh berhubungan seks tanpa kondom.

Secara dasar, kesan tersebut di atas dapat diterima oleh para ODHA. Tapi apakah kesan ini benar? Apakah ketersediaan ARV secara universal pada orang yang terinfeksi HIV dapat mencegah penularan pada orang lain? 

Pernyataan tersebut kontroversial, dan dapat menimbulkan kesalahpahaman bahwa AIDS tidak masalah lagi.

Pernyataan ini menciptakan keraguan dan menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan ODHA di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Yang paling terpengaruh adalah mereka yang ingin mendapat keturunan dengan pasangan yang tidak terinfeksi HIV. Memang sebelum pernyataan dikeluarkan, banyak ODHA melakukan hubungan seks tanpa kondom agar bisa hamil. Anggapannya adalah bahwa risikonya sangat rendah. Apakah kita akan membiarkan hal ini terus dilakukan, atau sebaiknya kita mengusulkan untuk menghindari risiko ini? 

Untuk membahas pernyataan, keraguan, dan dampaknya, Yayasan Spiritia menggelar simposium setengah hari berjudul ‘Pengobatan HIV sebagai Pencegahan’. Simposium yang diselenggarakan baru-baru ini di Unika Atmaja JakARVa menampilkan Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, dari sisi pengobatan dan Dr. Pandu Riono, MPH, PhD. (Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular IDI) dari sisi pencegahan.

Kedua pembicara itu juga membahas pendapat dari beberapa pakar WHO tentang tes HIV secara universal dan ARV yang dimulai segera setelah infeksi didiagnosis. Jika ini dijalankan, prevalensi HIV di dunia dapat dikurangi menjadi di bawah 1% dalam 50 tahun.

Saat ini di Indonesia diperkirakan ada 270.000 orang terinfeksi HIV. Tidak jelas berapa di antaranya yang sudah mengetahui dirinya terinfeksi, tetapi tidak lebih dari 15%.

Yang diketahui dapat dijangkau dan didorong mengubah perilaku untuk memastikan agar mereka tidak menularkan HIV kepada orang lain. Ini dikenal sebagai “HIV Stop di Sini”. Ada bukti bahwa mengetahui dirinya terinfeksi HIV merupakan salah satu cara pencegahan yang paling efektif.

Sebaliknya, 85% yang tidak tahu dirinya terinfeksi tetap berperilaku berisiko menulari HIV, tidak menyadari bahwa mereka akan menempatkan pasangannya, dan mungkin juga bayinya, dalam keadaan berisiko terinfeksi juga. Akhirnya, ada kemungkinan mereka meninggal karena AIDS tetapi penyebabnya tidak terdiagnosis.

Efektivitas ARV
Menurut Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM dari Pusat Pelayanan Terpadu HIV RS Cipto Mangunkusumo, ARV amat efektif untuk pencegahan. Dia menjelaskan, pada kelompok yang minum ARV, tidak ada pasangannya yang tertular HIV.

Jumlah virus (viral load) merupakan faktor prediksi utama penularan HIV. Dr. Zubairi mengungkapkan, untuk ODHA dengan jumlah virus kurang dari 1.500 copies of HIV-1RNA/ml, amat sedikit kemungkinannya bisa menularkan HIV.

Dengan menggunakan ARV, kata Zubairi, prevalensi HIV pasangan turun dari 10,3% (1991-1995) menjadi 1,9% (1999-2003; P = 0.0061). ARV-nya, ODHA yang minum ARV, penularan HIV turun 80%.

Dijelaskan, penularan HIV/AIDS lebih sering terjadi dari laki-laki ke perempuan, dan penularan juga berbanding lurus dengan jumlah virus. Selain itu ARV mencegah penularan heteroseksual.

Menurut Dr. Zubairi, ARV harus diberikan sebagai paket pengobatan, bersama-sama dengan profilaksis co-trimoxazole, manajemen infeksi oportunistik, tatalaksana komorbiditas, pengobatan nutrisi, dan pengobatan paliatif.

Ada beberapa upaya pencegahan penularan yang dijelaskan Dr. Zubairi. Di antaranya upaya biomedik yang berupa ARV, PMTCT, sunat, sirkumsisi, kondom, dan pengobatan penyakit menular seksual.

Selain itu, perlu juga ada upaya struktural dalam pencegahan. Upaya tersebut meliputi ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, kesetaraan gender, perubahan perilaku, dan positive prevention.

Sementara, menurut Dr. Pandu Riono, MPH, PhD, Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular IDI, pengobatan ARV harus dilakukan sedini mungkin. Obat ARV perlu dimulai sedini mungkin karena progresivitas penyakit terjadi setelah banyak CD4 yang hancur . ARV dinilainya menekan replikasi HIV dan viral load.

Dalam pandangannya, Dr. Pandu mengemukakan adanya mitos bahwa kalau viral load atau jumlah virus tidak terdeteksi dengan pemeriksaan yang sangat sensitif, maka orang tersebut tidak menularkan HIV lagi. Namun, pada kenyataannya, masih ada persistent replication in lymphoid tissue (sekitar 20-40%). Sehingga, ada fenomena blips pada grafik kadar HIV-RNA plasma.

Kenapa masih terjadi persistent replication? Setidaknya, kata Dr. Pandu, ada beberapa faktor yang berpengaruh, yakni intermittent non-adherence, variasi antarindividu pada metabolisme obat ARV, ada interaksi obat, dan regimen ARV yang kurang dapat diandalkan. Sebagai konsekuensinya, salah satunya reservoar HIV akan meningkat dalam waktu singkat.

Lebih jauh dijelaskan, kadar HIV di plasma tidak selalu berhubungan linear dengan kadar HIV pada cairan seksual yang dikeluarkan kelenjar genitalia. Ada yang ‘undetectable viral loads’ pada plasma darah, tetapi kadar HIV pada cairan seksual cukup tinggi dan mampu menularkan.

Dr. Pandu mengutip pendapat David Wilson dkk dari UNSW, Sidney, yang menyatakan bahwa tidak benar ada zero transmission. Pada heteroseksual, tetap ada low transmission, bahkan pada homoseksual lebih tinggi.

Dalam paparannya Dr. Pandu menyimpulkan, kemajuan pengobatan ARV membuka harapan baru bagi penanggulangan HIV/AIDS. Namun, ARV bukanlah pilihan untuk pencegahan di populasi, apalagi digunakan sebagai satu-satunya cara untuk menekan laju epidemik.
Menurutnya, strategi mengubah perilaku adalah cara yang utama. Namun sayang, strategi ini belum ditempatkan sebagai cara utama.

Disclaimer :

Untuk Hasil Sembuh Fungsional Permanen Umumnya di butuhkan pengobatan selama 3-6 bulan pengobatan. Faktor kondisi tubuh seseorang dan suport keluarga sangat berpengaruh terhadap reaksi kesembuhan. Simpanlah alamat & nomor HP kami 082332222009