“Dan apabila aku sakit. Dialah (Allah) yang menyembuhkanku” (As Syu’araa: 80)
Slide 1 Code Start -->

ODHA dengan Infeksi Oportunis : Dermatitis Kronis dan SGB

Perbaikan yang begitu cepat hanya dalam waktu 1 bulan pengobatan. Alhamdulllah

Control Keberadaan Virus HIV

Sangat penting di lakukan Kontrol VL selama Pengobatan Kami

Rasulullah ï·º
“Setiap penyakit ada obatnya, dan bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah”
Tampilkan postingan dengan label testimoni. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label testimoni. Tampilkan semua postingan

Arti Tes CD4


Apa Sel CD4 Itu? 

Sel CD4 adalah jenis sel darah putih atau limfosit. Sel tersebut adalah bagian yang penting dari sistem kekebalan tubuh kita. Sel CD4 kadang kala disebut sebagai sel-T. Ada dua macam sel-T. Sel T-4, yang juga disebut CD4 dan kadang kala sel CD4+, adalah sel ‘pembantu’. Sel T-8 (CD8) adalah sel ‘penekan’, yang mengakhiri tanggapan kekebalan. Sel CD8 juga disebut sebagai sel ‘pembunuh’, karena sel tersebut membunuh sel kanker atau sel yang terinfeksi virus.
Sel CD4 dapat dibedakan dari sel CD8 berdasarkan protein tertentu yang ada di permukaan sel. Sel CD4 adalah sel-T yang mempunyai protein CD4 pada permukaannya. Protein itu bekerja sebagai ‘reseptor’ untuk HIV. HIV mengikat pada reseptor CD4 itu seperti kunci dengan gembok.

Mengapa Sel CD4 Penting Sehubungan dengan HIV?

HIV umumnya menulari sel CD4. Kode genetik HIV menjadi bagian dari sel itu. Waktu sel CD4 menggandakan diri (bereplikasi) untuk melawan infeksi apa pun, sel tersebut juga membuat tiruan HIV.
Setelah kita terinfeksi HIV dan belum mulai terapi antiretroviral (ART), jumlah sel CD4 kita semakin menurun. Ini tanda bahwa sistem kekebalan tubuh kita semakin rusak. Semakin rendah jumlah CD4, semakin mungkin kita akan jatuh sakit.
Ada jutaan keluarga sel CD4. Setiap keluarga dirancang khusus untuk melawan kuman tertentu. Waktu HIV mengurangi jumlah sel CD4, beberapa keluarga dapat diberantas. Kalau itu terjadi, kita kehilangan kemampuan untuk melawan kuman yang seharusnya dihadapi oleh keluarga tersebut. Jika ini terjadi, kita mungkin mengalami infeksi oportunistik

Apa Tes CD4 Itu?

Contoh kecil darah kita diambil. Darah ini dites untuk menghitung beberapa tipe sel. Jumlah sel CD4 tidak langsung diukur. Malahan, laboratorium membuat hitungan berdasarkan jumlah sel darah putih, dan proporsi sel tersebut yang CD4. Oleh karena itu, jumlah CD4 yang dilaporkan oleh tes CD4 tidak persis.
Karena jumlah CD4 penting untuk menunjukkan kekuatan sistem kekebalan tubuh, diusulkan kita melakukan tes CD4 setiap 3-6 bulan. Namun setelah kita mulai ART dan jumlah CD4 kita sudah kembali normal, tes CD4 dapat dilakukan setiap 9-12 bulan.

Faktor Apa yang Berpengaruh pada Jumlah CD4?

Hasil tes dapat berubah-ubah, tergantung pada jam berapa contoh darah diambil, kelelahan, dan stres. Sebaiknya contoh darah kita diambil pada jam yang sama setiap kali dites CD4, dan juga selalu memakai laboratorium yang sama.
Infeksi lain dapat sangat berpengaruh pada jumlah CD4. Jika tubuh kita menyerang infeksi, jumlah sel darah putih (limfosit) naik. Jumlah CD4 juga naik. Vaksinasi dapat berdampak serupa. Kalau akan melakukan tes CD4, sebaiknya kita menunggu dua minggu setelah pulih dari infeksi atau setelah vaksinasi.

Bagaimana Hasil Tes CD4 Dilaporkan?

Hasil tes CD4 biasanya dilaporkan sebagai jumlah sel CD4 yang ada dalam satu milimeter kubik darah (biasanya ditulis mm3). Jumlah CD4 yang normal biasanya berkisar antara 500 dan 1.600.
Karena jumlah CD4 begitu berubah-ubah, kadang lebih cocok kita lihat persentase sel CD4. Jika hasil tes melaporkan CD4% = 34%, ini berarti 34% limfosit kita adalah sel CD4. Persentase ini lebih stabil dibandingkan jumlah sel CD4 mutlak. Angka normal berkisar antara 30-60%. Setiap laboratorium mempunyai kisaran yang berbeda. Belum ada pedoman untuk keputusan pengobatan berdasarkan CD4%, kecuali untuk anak berusia di bawah lima tahun.
Jumlah CD4 mutlak di bawah 200 menunjukkan kerusakan yang berat pada sistem kekebalan tubuh. Walau CD4% mungkin lebih baik meramalkan perkembangan penyakit HIV dibandingkan CD4 mutlak, jumlah CD4 mutlak tetap dipakai untuk menentukan kapan ART sebaiknya dimulai.
Kadang kita juga diusulkan untuk melakukan tes CD8. Namun sama sekali tidak jelas bagaimana hasil tes CD8 dapat ditafsirkan. Oleh karena itu, tidak ada manfaat mengeluarkan biaya untuk tes CD8.

Apa Artinya Angka Ini?

Jumlah CD4 adalah ukuran kunci kesehatan sistem kekebalan tubuh. Semakin rendah jumlahnya, semakin besar kerusakan yang diakibatkan HIV. Jika kita mempunyai jumlah CD4 di bawah 200, atau persentase CD4 di bawah 14%, kita dianggap AIDS, berdasarkan definisi Kemenkes.
Jumlah CD4 dipakai bersama dengan viral load untuk meramalkan berapa lama kita akan tetap sehat.  untuk informasi lebih lanjut tentang tes viral load.
Jumlah CD4 juga dipakai untuk menunjukkan kapan beberapa macam pengobatan termasuk ART sebaiknya dimulai.
Kapan mulai pengobatan untuk mencegah infeksi oportunistik: Sebagian besar dokter meresepkan obat untuk mencegah infeksi oportunistik pada jumlah CD4 yang berikut:
  • Di bawah 200: PCP
  • Di bawah 100: toksoplasmosis dan meningitis kriptokokus
  • Di bawah 50: MAC
Memantau keberhasilan ART: Umumnya jumlah CD4 akan mulai naik segera setelah kita mulai ART. Namun kecepatan sangat beragam, dan kadang pelan. Bila jumlah CD4 di bawah 50 waktu kita mulai ART, jumlah CD4 kita mungkin tidak akan meningkat menjadi normal (di atas 500). Yang penting jumlah naik; kita sebaiknya tidak terlalu berfokus pada angka. Sebaliknya, bila jumlah CD4 mulai menurun lagi setelah naik, mungkin itu adalah tanda bahwa ART kita mulai gagal, dan mungkin rejimen harus diganti.
Jumlah CD4 yang lebih tinggi adalah lebih baik. Namun, jumlah CD4 yang normal tidak tentu berarti sistem kekebalan tubuh benar-benar pulih.

sumber : spiritia.or.id

Banyak Kondisi Non-AIDS yang Bisa Menyebabkan CD4 Rendah


  1. Test CD4 digunakan sebagai tolak ukur kesehatan Odha. Makin rendah CD4 Odha, makin parahlah kondisi kesehatannya.
  2. Hasil Test CD4 rendah HANYA ada pada kasus HIV/AIDS, bukan di kasus penyakit/kondisi kesehatan lainnya.
Dalam artikel ini, saya akan membuka rahasia besar bahwa sudah ada penelitian-penelitian yang mengungkapkan fakta:
  1. Hasil Test CD4 rendah JUGA ADA pada kasus serangan jantung, pneumonia, olahraga berlebih, luka, depresi, malaria, TBC, narkoba, kehamilan, malnutrisi, isolasi sosial, dan sebagainya.
  2. Mereka yang diteliti (dengan hasil CD4 rendah) adalah orang-orang HIV-negatif.
Saya berikut contoh beberapa hasil penelitian-penelitian tersebut:
Jumlah CD4 Rendah di Ruang ICU
Di tahun 1995, Feeney dan kawan-kawan menguji jumlah CD4 pada 102 pasien di ruang ICU, dimana semuanya adalah HIV negatif. Pasien-pasien menderita 34 penyakit yang berbeda-beda, dimana yang paling umum adalah serangan jantung, pendarahan yang parah, gagal ginjal, trauma, dan penyakit paru kronis. 30% dari mereka memiliki jumlah CD4 kurang dari 300 dan 41% memiliki CD4 kurang dari 400.
Dalam studi ini ditemukan hasil yang sama pada rasio CD4/CD8, yang memberikan fakta bahwa perhitungan rasio CD4/CD8 ternyata TIDAK HANYA ada pada kasus HIV/AIDS, tapi juga ada pada kasus penyakit UMUM.
.
Jumlah CD4 Rendah pada Kasus Pneumonia, Pielonefritis, Abses, Luka Terinfeksi, Selulitis, dan Sepsis
Pada tahun 1983, sekitar satu tahun sebelum HIV pertama kali disebutkan sebagai kemungkinan penyebab AIDS, Williams dan kawan-kawan menerbitkan sebuah studi yang menunjukkan sangat kurangnya jumlah CD4 pada 146 orang dengan infeksi akut serius yang dirawat di rumah sakit mereka di New Mexico. Infeksi termasuk pneumonia, pielonefritis akut, abses, luka yang terinfeksi, selulitis, infeksi jaringan dalam, dan sepsis.
Para penulis hanya menyediakan jumlah CD4 rata-rata untuk sebagian besar pasien, kecuali untuk grafik yang memplot jumlah CD4 untuk semua 45 pasien pneumonia. Penelitian ini mengungkapkan bahwa 31 dari 45 (69%) memiliki jumlah CD4 kurang dari 500 sel/mm3, 19 dari 45 (42%) memiliki jumlah di bawah 300, 13 dari 45 (29%) memiliki jumlah di bawah 200, 6 dari 45 (13% ) memiliki 100 atau kurang, dan 2 dari 45 (4%) memiliki kurang dari 50 nilai. CD4 rata-rata untuk semua penderita pneumonia adalah 574.
.
Jumlah CD4 Rendah pada Kasus Malaria
Malaria disebabkan oleh parasit dari spesies plasmodium, dan sangat umum di Afrika dan di daerah tropis. Pada tahun 1999 diterbitkan surat mendokumentasikan turunnya jumlah CD4 pada pasien Afrika dengan malaria (Chirenda 1999). Penulis memeriksa jumlah CD4 pada 78 pasien dengan malaria yang HIV-positif, dan 19 yang HIV-negatif. Dia terkejut menemukan bahwa kasus malaria pada HIV-negatif lebih banyak memiliki jumlah CD4 sangat rendah dibanding pada kasus HIV-positif, rata-rata, dengan 8 dari 19 (42%) kasus HIV-negatif yang di bawah 200, sementara hanya 31 dari 78 (40%) kasus HIV-positif memiliki jumlah CD4 di bawah 200. Tujuh HIV-negatif kasus malaria memiliki jumlah CD4 di bawah 100. Selain itu, 6 pasien HIV-positif memiliki jumlah CD4 yang normal.
.
Jumlah CD4 Rendah pada Kasus Kehamilan Normal
Beberapa studi telah dipublikasikan mengenai jumlah CD4 selama kehamilan normal. Baru-baru ini, Burns dan kawan-kawan menerbitkan sebuah studi pada tahun 1996, di mana mereka berusaha untuk mengendalikan faktor pembaur seperti peningkatan volume darah yang biasanya terjadi pada kehamilan.
Mereka menggunakan persentase CD4 dan mendapati bahwa sel CD4 temuan mereka untuk wanita HIV-negatif ternyata konsisten dengan mayoritas penelitian sebelumnya, yang menunjukkan penurunan jumlah CD4 selama kehamilan normal (Burns et al. 1996, halaman 1465 ).

Mereka juga menemukan bahwa wanita HIV-positif mengalami penurunan lebih parah dalam perhitungan pasca-melahirkan dibandingkan dengan wanita HIV-negatif, meskipun mereka gagal untuk mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan menurunkan jumlah CD4. Ini termasuk setiap infeksi bahwa wanita mungkin pernah mengalami, efek traumatis dari operasi Cesar yang biasanya dilakukan pada wanita HIV-positif untuk mencegah penularan neonatal, atau stres psikologis berpotensi parah yang mengkhawatirkan jika bayi mereka juga akan HIV-positif, yang dapat berlangsung hingga 18 bulan

Pada tahun 1989 sebuah studi yang diterbitkan mengenai kehamilan normal, ditemukan adanya pengurangan persentase CD4 pada trimester 1 dan trimester 2, serta pengurangan rasio CD4/CD8 pada trimester 2 (Castilla et al, 1989.).

Para penulis pada studi sebelumnya melihat berbagai perubahan limfosit selama kehamilan dan menyatakan, “Dalam studi ini, variasi dalam jumlah dan proporsi CD4 + limfosit adalah perubahan yang paling sering dilaporkan (Castilla et al, 1989, halaman 104).” Persentase CD8 limfosit + ditemukan tidak berubah. Mereka juga mengklaim bahwa, “kami telah memperhitungkan semua faktor yang diketahui saat ini dapat mengubah konsentrasi subset T-sel dalam darah”(Castilla et al. 1989, halaman 104), namun pada kenyataannya mereka tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang dijelaskan dalam makalah ini, seperti infeksi, trauma, olahraga berlebih, variasi normal sehari-hari, atau stres psikologis. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dokter dan peneliti melakukan penelitian yang berfokus khusus pada tingkat CD4 sering tidak menyadari berapa banyak kondisi yang berbeda menyebabkan rendahnya jumlah CD4.

Ada satu studi terakhir yang perlu dipertimbangkan lagi (Sridama et al. 1982). Para peneliti ini menemukan berkurangnya jumlah CD4 mutlak, serta berkurangnya persentase CD4 + T-sel dalam 76 wanita dengan kehamilan normal. Pada trimester ketiga, wanita hamil memiliki rata-rata hanya 543 + 169 CD4 + T-sel, dibandingkan dengan 1073 + 441 pada wanita tidak hamil. Kedua angka mutlak dan persentase tetap rendah sampai beberapa bulan pasca-melahirkan, dan hasil yang sama diperoleh untuk rasio CD4/CD8 yang juga berkurang.

B-sel ditemukan meningkat yang berarti sesuai dengan peningkatan kadar antibodi yang biasanya ditemukan dalam kehamilan manusia, dan yang juga sering terlihat pada orang yang didiagnosis HIV-positif. Ini adalah satu-satunya studi pada kehamilan normal yang menyediakan data tentang jumlah CD4 mutlak, dan rata-rata 543, dengan standar deviasi dari 169, yang berarti adanya persentase besar dari wanita-wanita ini yang memiliki tingkat lebih rendah dari 500, titik di mana obat antiretroviral akan dimulai pada seseorang yang didiagnosis HIV-positif.

Masih Banyak Lagi Faktor Non-HIV/AIDS yang Bisa Mengurangi Jumlah CD4
Ya, benar. Masih ada banyak faktor non-HIV/AIDS yang bisa menyebabkan CD4 kita turun, dan ini tidak hanya terjadi pada para Odha, tapi juga non-Odha. Apa yang saya beberkan di atas adalah kutipan dari jurnal medis The British Medical Journal Online, September 2003, berjudul: “Low CD4 Counts: A Variety of Causes and Their Implications to a Multi-factorial Model of AIDS” oleh Matt Irwin, MD.

Referensi-referensi medis untuk artikel ini juga ada banyak, seperti yang bisa Anda lihat di bawah artikel. Jika Anda ingin mempelajari lebih mendalam tentang topik ini, saya menyarankan Anda untuk membaca artikel berbahasa Inggris di link: http://www.aliveandwell.org/html/viral_load_tcell/low_cd4.html
Anda juga bisa melihat fakta lainnya bahwa kadar kolesterol seseorang juga bisa mempengaruhi jumlah CD4 dan fakta bahwa orang-orang sehat juga bisa memiliki CD4 yang rendah. Penasaran untuk mengetahui hal-hal ini lebih dalam lagi? Silahkan Anda membaca artikel saya yang berjudul “Awas, Jangan Tertipu dengan Test CD4!”.
Mungkin Anda tidak percaya dengan apa yang kami tulis, yang sangat bertentangan dengan pandangan umum. OK, tidak apa-apa. Demi keselamatan para Odha, bagi Anda yang tidak percaya, saya menyarankan Anda untuk melakukan uji coba mandiri (jangan menunggu orang lain atau pemerintah untuk melakukannya bagi Anda), yaitu sebagai berikut:
  1. Ujilah jumlah CD4 dari minimal 10 orang sehat, misal: dokter, tabib, olahragawan, dll dimana mereka juga menjaga pola makan sehat dan kadar kolesterol yang normal. Kita lihat berapa di antara mereka yang memiliki jumlah CD4 yang rendah.
  2. Ujilah jumlah CD4 dari minimal 10 orang hamil non-Odha yang sehat. Kita lihat berapa di antara mereka yang memiliki jumlah CD4 yang rendah.
Para kaum cendikiawan atau professional kesehatan biasanya hanya melakukan uji coba CD4 pada Odha. Cobalah melakukan uji coba pada beberapa orang non-Odha dan lihat bagaimana hasilnya!
Semoga artikel ini bisa membuka mata kita semua untuk tidak memakai Test CD4 sebagai tolak ukur kesehatan para Odha.
Healindonesia, Dt Awan (Andreas Hermawan)



.
Referensi:
Abbott Laboratories (1997). HIV Type 1, HIVAB, EIA. Abbot laboratories diagnostic division (668805/R5).
Alberts SC, Sapolsky RM, Altmann J (1992). Behavioral, endocrine and immunological correlates of immigration by an aggressive male into a natural primate group. Hormones and Behavior 26; 167-178.
Andreoli TE et al. (1993). Cecil essentials of medicine. W.B. Saunders; Philadelphia.
Antonaci S, Jirillo E, Stasi D, De Mitrio V, La Via MF, Bonomo L (1988). Immunoresponsiveness in hemophilia: lymphocyte- and phagocyte-mediated functions. Diagn Clin Immunol;5(6):318-25
Antonacci AC, Good RA, & Gupta S (1982). T-cell subpopulations following thermal injury. Surg Gynecol Obstet; 155(1); 1-8.
Ashton LJ, Carr A, Cunningham PH, Roggensack M, McLean K, Law M, Robertson M, Cooper DA, Kaldor JM (Jan 1998). Predictors of progression in long-term nonprogressors. Australian Long-Term Nonprogressor Study Group. AIDS Res Hum Retroviruses;14(2):117-21
Atzori (2000). In Vitro activity of HIV protease inhibitors against Pneumocystis carinii. J Infect Dis; 181; 1629-1634.
Azar ST, Melby JC (1993). Hypothalamic-pituitary-adrenal function in non-AIDS patients with advanced HIV infection. Am J Med Sci May;305(5):321-5.
Babameto G & Kotler DP (1997). Malnutrition in HIV infection. GI Clin North America: 26(2): 393-413.
Bacellar A, Munoz A, Miller EN, Cohen EA, Besley D (1994). Temporal trends in the incidence of HIV-1 related neurological diseases: Multicenter AIDS cohort study. Neurology ; 44:1892-1900.
Balter M (1997, November 21). How does HIV overcome the body’s T-cell bodyguards? Science 278: 1399-1400.
Beck JS, Potts RC, Kardjito T, and Grange JM (1985). T4 lymphopenia in patients with active pulmonary tuberculosis. Clin Exp Immunol, Volume 60, 49-54.
Beisel WR (1996, october). Nutrition in pediatric HIV infection: setting the research agenda. Nutrition and immune function: overview. J Nutr;126(10 Suppl):2611S-2615S
Berkman L & Syme S (1979). Social networks, host resistance, and mortality: a nine year follow up study of alameda county residents. Am J Epidemiol; 109(2): 186-203.
Bird AG (1996). Non-HIV AIDS: nature and strategies for its management. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 37 Suppl B, 171-183.
Blatt SP, Lucey CR, Butzin CA et al. (1991). Total lymphocyte count as a predictor of absolute CD4+ percentage in HIV infected persons. JAMA 269; 622-626.
Bonneau RH, Sheridan JF, Feng N, Glaser R (1993). Stress-induced modulation of the primary cellular immune response is mediated by both adrenal-dependent and adrenal independent mechanisms. Journal of Neuroimmunology; 42; 167-176.
Britton S, Thoren M, Sjoberg HE (December 20, 1975). The immunological hazard of Cushing’s syndrome. British Medical Journal 4; 678-680.
Burns DN, Nourjah P, Minkoff H, et al. (1996). Changes in CD4 and CD8 cell levels during pregnancy and post partum in women seropositive and seronegative for HIV-1. Am J Obstet Gyn; 174(5); 1461-1468.
Carney WP, Rubin RH, Hoffman RA, et al. (1981). Analysis of T lymphocyte subsets in CMV mononucleosis. The Journal of Immunology 126(6); 2114-2116.
Carr DJJ, Serou M (1995, November). Exogenous and endogenous opioids as biological response modifiers. Immunopharmacology; 31(1): 59-71
Cassone (1999). In vitro and in vivo anticandidal activity of HIV protease inhibitors. J Infect Dis; 180; 448-453.
Castilla JA, Rueda R, Vargas L, et al. (1989). Decreased levels of circulating CD4+ T lymphocytes during normal human pregnancy. J Reprod Immunol; 15; 103-111.
Castle S, Wilkins S, Heck E, Tanzy K, Fahey J (1995, September). Depression in caregivers of demented patients is associated with altered immunity: impaired proliferative capacity, increased CD8+, and a decline in lymphocytes with surface signal transduction molecules (CD38+) and a cytotoxicity marker (CD56+ CD8+). Clin Exp Immunol;101(3):487-93
CDC (1999). HIV/AIDS Surveillance Report. Centers for Disease Control, Atlanta, GA.
Chandra RK (1997, August). Nutrition and the immune system: an introduction. Am J Clin Nutr; 66(2) :460S-463S
Chirenda J (1999). Low CD4 count in HIV-negative malaria cases, and normal CD4 count in HIV-positive and malaria negative patients. Cent Afr J Med; Volume 45(9): page 248.
Choi S, Lagakos SW, Schooley RT, Volberding PA (1993). CD4+ lymphocytes are an incomplete surrogate marker for clinical progression in persons with asymptomatic HIV infection taking zidovudine. Ann Intern Med; 118; 674-680.
Christeff N, Gharakhanian S, Thobie N et al. (1992). Evidence for changes in adrenal and testicular steroids during HIV infection. J Acquired Imm Def Syn; 5: 841-846.
Concord Coordinating Committee (1994). Concorde: Randomised double-blind controlled trial of immediate and deferred Zidovudine in symptom-free HIV infection. Lancet ;343:871-881.
Coodley GO, Loveless MO, Nelson HD et al. (1994). Endocrine function in the HIV wasting syndrome. J Acquired Imm Def Syn; 7: 46-51.
Culver KW, Ammann AJ, Partridge JC, Wong DF, Wara DW, Cowan MJ (1987, August). Lymphocyte abnormalities in infants born to drug-abusing mothers. J Pediatr;111(2):230-5.
Dalakas MC, Illa I, Pezeshkpour GH, Laukaitis JP, Cohen B, Griffin JL. (1990, April 19) Mitochondrial Myopathy caused by long-term Zidovudine therapy. New England Journal of Medicine ; 322(16):1098-1105.
Des Jarlais DC, Friedman SR, Marmor M et al. (1987, July). Development of AIDS, HIV seroconversion, and potential cofactors for CD4 cell loss in a cohort of intravenous drug users. AIDS 1(2): 105-111.
Duesberg PH (1992). AIDS acquired by drug consumption and other non-contagious risk factors. Pharmacology and Therapeutics ;55:201-277.
Duesberg P, Rasnick D (1998). The AIDS dilemma: drug diseases blamed on a passenger virus. Genetica; 104(2): 85-132
Engle GL (1971). Sudden and rapid death during psychological stress: Folklore or folk wisdom? Ann Intern Med 74; 771-782.
Engle GL (1968). A life setting conducive to illness: the giving-up-given-up complex. Bull Menninger Clin 32; 355-365.
Epitope, Organon Teknika (1997). HIV Type 1 Western Blot kit. PN201-3039 Revision #6, page 11.
Feeney C, Bryzman S, Kong L, Brazil H, Deutsch R, Fritz LC (1995, Oct). T-lymphocyte subsets in acute illness. Crit Care Med; 23(10):1680-5.
Fox CH (1996). The pathogenesis of HIV-disease. J Nutr; 126(10 Suppl): 2608S.
Gallo RC, Salahuddin SZ, Popovic M, et al (1984). Frequent Detection and Isolation of Cytopathic Retro-viruses (HTLV-III) from Patients with AIDS and at Risk for AIDS. Science ; 224:500-502.
Garrett L (2001). Change in Guidelines for HIV; U.S. officials to tout new treatment policy. Newsday (New York, NY), January 17, 2001, Wednesday, page A22.
Goldman (2000). Cecil Textbook of Medicine, 21st edition, W.B. Saunders, Inc.
Goodkin K, Feaster DJ, Asthana D, et al. (1998, May). A bereavement support group intervention is longitudinally associated with salutory effects on the CD4 cell count and number of physician visits. ClinDiagn Lab Immunol: 5(3); 382-91.
Guyton AC & Hall JE (1996). Textbook of Medical Physiology. Saunders; New York
Harbige LS (1996). Nutrition and immunity with emphasis on infection and autoimmune disease. Nutrition and Health: 10; 285-312.
Hegde HR, Woodman RC, Sankaran K (1999, March). Nutrients as modulators of anergy in acquired immune deficiency syndrome. J Assoc Physicians India; 47(3): 318-25
Hamilton JD et al (1992). A controlled trial of early versus late treatment with Zidovudine in symptomatic HIV infection. New England Journal of Medicine ;326:437-443.
Herbert TB & Cohen S (1993). Stress and immunity in humans: A meta-analytic review. Psychosomatic Medicine; 55;364-379.
House et al. (1988). Social relationships and health. Science ;241:540-545.
Hughes MD, Daniels MJ, Fischl MA et al. (1998). CD4 cell count as a surrogate endpoint in HIV clinical trials. AIDS; 12; 1823-1832.
Junker AK, Ochs HD, Clark EA et al. (1986, Sep). Transient immune deficiency in patients with acute Epstein-Barr virus (EBV) infection. Clin Immunol Immunopathol 40(3); 436-446.
Kennedy S, Kiecolt-Glaser JK, Glaser R (1988 Mar). Immunological consequences of acute and chronic stressors: mediating role of interpersonal relationships. Br J Med Psychol; 61(Pt 1):77-85.
Keusch GT & Thea DM (1993). Malnutrition in AIDS. Med Clin North America: 77(4); 795-813.
Kiecolt-Glaser JK, Ricker D, George J (1984). Urinary cortisol levels, cellular immuno-competency, and loneliness in psychiatric inpatients. Psychosomatic Medicine; 46(1): 15-23.
Kiecolt-Glaser JK, Dura JR, Speicher CE et al. (1991). Spousal caregivers of dementia victims: Longitudinal changes in immunity and health. Psychosomatic Medicine; 53;345-362.
Kiecolt-Glaser JK, Glaser R (1992). Acute, psychological stressors and short-term immunological changes. Psychosomatic Medicine; 54;680-685.
Kotze M (1998). Ability of the total lymphocyte count to accurately predict the CD4+ T-cell count in a group of HIV1-infected South African patients. Int Conf AIDS – 1998; 12: 810 (abstract no. 42187)
Laudenslager M, Ryan SM, Drugan RC, et al. (1983). Coping and immunosuppression: Inescapable but not escapable shock suppresses lymphocyte proliferation. Science, 221;568-570.
Learmont J, Tindall B, Evans L, et al (1992). Long-term symptomless HIV-1 infection in recipients of blood products from a single donor. Lancet ;340:863-867.
Leserman J, Jackson ED, Petitto JM, et al. (1999) Progression to AIDS: the effects of stress, depressive symptoms, and social support. Psychosomatic Medicine; 61; 397-406.
Lewi DS, Kater CE, Moreira AC (1995 Mar-Apr). Stimulus of the hypophyseal-adrenocortical axis with corticotropin releasing hormone (CRH) in acquired immunodeficiency syndrome. Evidence for activation of the immune-neuroendocrine system (article in Portuguese). Rev Assoc Med Bras;41(2):109-18.
Lortholary O, Christeff N, Casassus P, Thobie N, Veyssier P, Trogoff B, Torri O, Brauner M, Nunez EA, Guillevin L (1996 Feb). Hypothalamo-pituitary-adrenal function in human immunodeficiency virus-infected men. J Clin Endocrinol Metab ;81(2):791-6
Mackinnon LT (1997). Immunity in athletes. Int J Sports Med;18 Suppl 1:S62-8
Madhok R, Gracie A, Lowe GD, Burnett A, Froebel K, Follett E, Forbes CD (1986, Oct 18). Impaired cell mediated immunity in haemophilia in the absence of infection with human immunodeficiency virus. Br Med J (Clin Res Ed);293(6553):978-80
Marchisio P, Esposito S, Zanchetta N, Tornaghi R, Gismondo MR, Principi N ( Aug 1998). Effect of superimposed infections on viral replication in human immunodeficiency virus type 1-infected children. Pediatr Infect Dis J;17(8):755-7
McChesney MB & Oldstone A (1987). Viruses perturb lymphocyte functions. Ann Rev Immunol, Volume 5: 279-304.
McDonough RJ, Madden JJ, Falek A, et al. (1980). Alteration of T and null lymphocyte frequencies in the peripheral blood of human opiate addicts: In Vivo evidence for opiate receptor sites on T lymphocytes. J Immunol: 125(6); 2539-43.
Membreno L, Irony I, Dere W, Klein R, Biglieri EG, Cobb E (1987 Sep). Adrenocortical function in acquired immunodeficiency syndrome. J Clin Endocrinol Metab;65(3):482-7.
Mientjes GH, Miedema F, van Ameijden EJ, Hoek AA, et al. (1991). Frequent injecting impairs lymphocyte reactivity in HIV-positive and HIV-negative drug users. AIDS: 5; 35-41.
Momose JJ, Kjellberg RN, Kliman B (1971). High incidence of cortical atrophy of the cerebral and cerebellar hemispheres in Cushing’s disease. Radiology 99; 341-348. Grau O, Tuppin P, Slizewicz B, Launay V, Goujard C, Bahraoui E, Delfraissy JF,
Montagnier L (1998). A longitudinal study of seroreactivity against Mycoplasma penetrans in HIV-infected homosexual men: association with disease progression. AIDS Res Hum Retroviruses; 20; 14(8): 661-7
Nishijima MK, Takezawa J, Hosotsubo KK et al. (1986). Serial changes in cellular immunity of septic patients with multiple organ-system failure. Critical Care Medicine, Volume 14(2); 87-91.
Norbiato G, Bevilacqua M, Vago T, Clerici M (1996, July). Glucocorticoids and interferon-alpha in the acquired immunodeficiency syndrome. J Clin Endocrinol Metab;81(7):2601-6
Norbiato G, Bevilacqua M, Vago T, Taddei A, Clerici (1997, Oct). Glucocorticoids and the immune function in the human immunodeficiency virus infection: a study in hypercortisolemic and cortisol-resistant patients. J Clin Endocrinol Metab; 82(10): 3260-3.
O’Mahoney JB, Palder SB, Wood JJ, et al. (1984). Depression of cellular immunity after multiple trauma in the absence of sepsis. J Trauma: 24(10); 869-75.
O’Mahoney JB, Wood JJ, Rodrick ML, Mannick JA (1985). Changes in T lymphocyte subsets following injury. Ann Surg; 202(5); 580-586.
Ornish D (1997). Love and Survival: the Scientific Basis for the Healing Power of Intimacy; Harper Collins; New York.
Pariante CM, Carpiniello B, Orru MG, Sitzia R, Piras A, Farci AM, Del Giacco GS, Piludu G, Miller AH (1997). Chronic caregiving stress alters peripheral blood immune parameters: the role of age and severity of stress. Psychother Psychosom;66(4):199-207.
Polk HC, George CD, Cost K, et al. (1986). A systematic study of host defense processes in badly injured patients. Ann Surg; 204; 282-299.
Robbins SL, Cotran RS, Kumar V (1994). Pathologic Basis of Disease (5th Edition); W. B. Saunders; Philadelphia, PA.
Roederer, M (1998). Getting to the HAART of T cell dynamics. Nature Medicine 4: 145-146.
Sapolsky RM, Uno H, Rebert CS, Finch CE (1990 Sep). Hippocampal damage associated with prolonged glucocorticoid exposure in primates. J Neurosci ; 10(9):2897-902.
Sapolsky RM (1996, August 9). Why stress is bad for your brain. Science 273; 749-750.
Schmitz SH, Scheding S, Voliotis D, Rasokat H, Diehl V, Schrappe M (1994). Side effects of AZT prophylaxis after occupational exposure to HIV-infected blood. Annals of Hematology; 69:135-138.
Shallenberger F (1998). Selective compartmental dominance: an explanation for a non-infectious, multifactorial etiology for AIDS. Medical Hypotheses: 50; 67-80.
Sonnabend JA, Witkin SS, Purtilo DT (1984). A multifactorial model for the development of AIDS in homosexual men. Ann N Y Acad Sci; 437: 177-83
Sridama V, Pacini F, Yang S, et al. (1982). Decreased levels of helper cells: A possible cause of immunodeficiency in pregnancy. New Eng J Med: 307(6); 352-356.
Starkman MN, Gebarski SS, Berent S et al. (1992). Hippocampal formation volume, memory dysfunction, and cortisol levels in patients with Cushing’s syndrome. Biological Psychiatry; 32: 756-765.
Stefanski V, Engler H (1998 Jul). Effects of acute and chronic social stress on blood cellular immunity in rats. Physiol Behav;64(5):733-41
United States Pharmacopeial Convention (1996). USP DI: Drug Information for the Health Care Professional, 16th Edition. pages 3032-3034.
Verde TJ, Thomas SG, Moore RW, et al. (1992). Immune responses and increased training of the elite athlete. J Appl Physiol; 73(4); 1494-9.
Verges B, Chavanet P, Desgres J, Vaillant G, Waldner A, Brun JM, Putelat R (1989 Nov). Adrenal function in HIV infected patients. Acta Endocrinol (Copenh);121(5):633-7.
Walton C (1999). What makes a survivor? Continuum 5(5); 16-18.
Williams RC, Koster FT, Kilpatrick KA (1983, November). Alterations in lymphocyte cell surface markers in various human infections. Am J Med: Volume 75; 807-816.

sumber : http://aidsalternative.com/2011/12/06/banyak-kondisi-non-aids-yang-bisa-menyebabkan-cd4-rendah/ 

CEGAH HIV SETELAH BEHUBUNGAN BERESIKO - BELUM ADA YANG GAGAL

Kapan Hasil Viraload Virus HIV tidak Terdeteksi ?

Kapan hasil Tes Viraload terhadap Virus HIV tidak Terdeteksi ?


Menurut Caroline :  Rata-rata pasien ODHA , dengan menggunakan ARV, biasanya hasil Viraload virus HIV akan tidak terdeteksi pada 24 minggu / 6 bulan setelah penggunaan ARV pertama
lama harus bersabar dengan ARV. ODHA tetaplah sabar dan benar.




sumber : http://www.spiritia.or.id/tj/bacatj.php?tjno=14011301

Apakah HIV AIDS bisa sembuh TOTAL

http://www.terapihiv.com/2015/04/apa-limfadeopati-itu-mengapa-virus-hiv.html

Apakah hiv aids bisa sembuh total ?
ini pertanyaan yang sering di tanyakan setiap pasien HIV AIDS, kami katakan BISA SEMBUH TOTAL, Asal metode pengobatan tepat. 
sebagaimana menurut : Luc Montagnier, penemu HIV itu sendiri, pada tanggal 10 Desember 2009, berkata bahwa: "HIV sebenarnya bisa hilang dengan perbaikan nutrisi (pengobatan alami)".tetapi bila anda perhatikan wawancara beliau dalam vidio nya, sepertinya ada yang di sembunyikan "arti pengobatan yang sebenarnya"

Melalui metode MULTI TERAPI dengan 3 prinsip pengobatan HIV AIDS, Insya Allah HIV AIDS bisa di sembuhkan secara TUNTAS. tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali ALLAH SWT.

MENURUT DOKTER LUC MONTEGNEIR - HIV bisa sembuh

Dokter Luc Montagnier 
(seorang ilmuwan dan ahli virologi prancis yang pertama kali berhasil mengisolasi virus HIV dari darah seorang yang terinfeksi HIV yang menjadi penyebab AIDS). Dari sinilah dr. Luc Montagnier dan ilmuwan-ilmuwan lain dapat membuat rekaman cara perkembangbiakan virus HIV.

Keberadaan Virus HIV dapat dilihat melalui pemeriksaan NAT (Nucleic Acid Test). Test ini langsung membaca keberadaan DNA atau RNA virus HIV. Jika Virus HIV tidak exist, maka DNA virusnya tidak akan ditemui. Dan Hasil pemeriksaan NAT akan menunjukkan hasil Negatif (tidak ditemukan DNA/RNA Virus)
.


Luc Montagnier, penemu HIV itu sendiri, pada tanggal 10 Desember 2009, berkata bahwa:

"HIV sebenarnya bisa hilang dengan perbaikan nutrisi (pengobatan alami)". 
Semoga bermanfaat

TESTIMONI SEMBUH DARI HIV AIDS


Testimoni sembuh dari Hiv AIDS,  apakah anda percaya ? Untuk mempercayai sebuah testimoni, anda harus pandai menganalisan metode apa yang di gunakan. 

Tidak cukup dengan hanya meningkatkan kekebalan tubuh tetapi ada 3 prinsip pengobatan yang harus di perhatikan 
  1. Memperbaiki dan meningkatkan system pertahanan tubuh /imun. dengan memperbaiki sitem imun maka virus akan mudah di matikan. sitem pertahanan tubuh di pengaruhi oleh Nutrisi dan juga faktor psikologi pasien. maka selama pengobatan, ketenangan kesabaran pasien sangat di perlukan. ingatlah pertolongan Allah di berikan hanya kepada orang yang sabar dan benar, berdoa dan berobat lah
  2. Memperbaiki system pencernaan. sistem pencernaaan yang baik maka saripati makanan termasuk ramuan obat akan di cerna dengan baik
  3. Memperbaiki / menguatkan sistem limfatik. dengan memperbaiki / menguatkan system limfatik virus HIV yang bersembunyi akan keluar dari persembunyiannya menuju sistem peredaran darah. di sistem peredaran darah lah virus akan di musnahkan. inilah percepatan pengobatan HIV
 Tanpa ketiga prinsip pengobatan ini mustahil virus hiv bisa di obati secara maksimal / tuntas.

Semoga manfaat : 

TESTIMONI HASIL LAB VIRALOAD 

KIRIM TESTIMONI HIV AIDS

Untuk Pasien Kami 
Terimakasih mau berbagi pengalaman 
Testimoni anda sebagai suport sesama dan sebagai sarana Ibadah
Identitas Kami Rahasiakan



Efek samping dari obat ARV, hampir sama dgn AIDS sendiri

Dody Achmadi menyunting dokumen di grup GERAKAN TOLAK ARV (GETAR) .

Kebenarannya adalah AZT, ddI, ddC , penghambat protease (protease inhibitors) dan obat-obatan lainnya yang disebut “antiretroviral s” tidak pernah didapati di studi terkontrol manapun yang membuktikan adanya manfaat klinis teruji terhadap para pasien AIDS. Satu-satunya studi terpublikasikan yang mengklaim adanya hasil positif hanyalah bersifat sementara dan tidak memiliki hasil statistik yang signifikan. (1)
Bahkan lebih mengkhawatirkan lagi, terdapat cukup banyak bukti bahwa obat-obatan ini telah diketemukan dapat menyebabkan gejala-gejala yang sebenarnya ingin disembuhkan. Lebih dari 500 Medical Doctor dan atau Ph.D. telah menandatangani suatu pernyataan yang mengajak untuk diadakannya penilaian kembali bagi penyebab AIDS dan mempertanyakan apakah gejala-gejala yang ada benar-benar disebabkan oleh HIV.
Walaupun “antiretroviral ” lebih baru seperti ddC, ddI, dan d4T memiliki mekanisme analisator aksi dan toksisitas yang sama dengan AZT, mereka belum pernah diteliti secara ekstensif dan dengan demikian tidak didiskusikan secara detail seperti halnya penelitian-pene litian yang ditekankan di bawah ini.
1) Tulisan Pembukaan Glaxo mencantumkan peringatan berikut dengan huruf kapital besar dan tebal di awal bagian Physician’s Desk Reference edisi tahun 1998 yang mendeskripsikan AZT (merek Retrovir atau Zidovudine).
“RETROVIR (ZIDOVUDINE) BISA MENGAKIBATKAN TOKSISITAS HEMATOLOGI BERAT TERMASUK GRANULOCYTOPENI A DAN ANEMIA BERAT YANG TERUTAMA SEKALI ADA PADA PASIEN DENGAN HIV TINGKAT LANJUT (LIHAT PERINGATAN). PENGGUNAAN RETROVIR SECARA TERUS MENERUS JUGA BISA MENGAKIBATKAN SYMPTOMATIC MYOPATHY SERUPA DENGAN YANG DIHASILKAN OLEH HUMAN IMMUNODEFICIENC Y VIRUS.”

Ijinkan saya untuk menerjemahkanny a ke bahasa yang lebih mudah dimengerti. “Granulocytopen ia”, yang juga disebut “neutropenia” artinya sel penting dari sistem imun, yaitu neutrophil, telah berkurang, bersamaan dengan sel-sel lainnya, eosinophil dan basophil, yang jumlahnya lebih sedikit tapi masih penting.
Kondisi ini bisa ringan, sedang, atau bahkan berat. Catatan klinis atas neutropenia berat dalam Pathologic Basis of Disease karangan Robbins (5th Ed.), dimana dipakai oleh kebanyakan sekolah kedokteran yang mempelajari patologi, memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi pada pasien penderita neutropenia berat.

CATATAN KLINIS: Gejala dan tanda-tanda dari neutropenias adalah adanya infeksi bakteri … Dalam kasus agranulocytosis berat dengan kondisi tidakadanya neutrophil, infeksi-infeksi ini bisa sangat beraneka macam sampai menyebabkan kematian dalam hitungan hari. “ (Robbins, p.631).
Hal ini terdengar sangat mengganggu sama dengan deskripsi AIDS. Robbins juga menyatakan, dalam huruf bercetak miring, bahwa “bentuk umum dari neutropenia berat adalah dikarenakan obat-obatan.” Apa yang tidak disebutkan di buku teks manapun adalah bahwa AZT telah didapati dalam lima penelitian (sesudah adanya ketergesa-gesaa n FDA dalam memberikan perizinan atasnya) ternyata beracun bagi sel T, sel yang ketidakhadirany a dianggap disebabkan oleh karena HIV.(2) Hal ini tidaklah mengejutkan sejak sel T dan semua sel lainnya diproduksi di dalam sumsum tulang telah berkurang karena AZT. AZT pada awalnya meningkatkan produksi sel T sebagai respon sistem kekebalan tubuh terhadap racun yang ada dari AZT, tapi dalam waktu yang cukup singkat, sel T, neutrophil, dan sel sistem kekebalan lainnya mulai berkurang.
2) Satu contoh dari penelitian yang mendokumentasik an pengaruh AZT atas sistem imun manusia telah dipublikasikan di the Annals of Hematology. (3)
AZT telah diberikan ke 14 pekerja kesehatan yang secara tidak sengaja terkontaminasi darah HIV dari jarum suntik. Penelitian seperti ini sangatlah penting karena toksisitas yang terjadi tidak bisa dipersalahkan ke HIV sebagai penyebabnya, seperti yang terjadi pada orang yang positif HIV. Setengah dari 14 orang tersebut akhirnya harus berhenti mengkonsumsi AZT karena efek samping toksisitasnya yang berat, dan penelitianpun dihentikan lebih awal supaya tidak terjadi kerusakan lebih fatal lagi. Neutropenia (seperti telah dijelaskan di atas) berkembang pada 36% (4 dari 11) orang yang memakai perawatan dengan AZT selama 4 minggu.
3 dari 14 orang bahkan tidak bisa mencapai 4 minggu oleh karena “gejala subyektif yang berat”. Satu pekerja harus segera dihentikan memakai AZT karena neutropenia dia terlihat begitu berat sehingga dia mengalami infeksi saluran pernapasan bagian atas.
Apa yang menarik dari penelitian ini adalah efek samping dari AZT muncul hanya dalam waktu 4 minggu, sementara pasien dengan status “positif HIV” seringkali menggunakan AZT dan obat-obatan serupa lainnya selama bertahun-tahun. Dosis pemakaian AZT dalam gabungan dengan ARV lainnya seringkali lebih kecil, yang menyebabkan gejala yang nampak jadi terlihat lebih kecil jika dibandingkan memakai AZT saja.
3) Sebuah artikel di the New England Journal of Medicine (4) memperhatikan pengurangan otot (muscle wasting) sebagai akibat dari pemakaian AZT dan membandingkanny a dengan pengurangan otot yang biasa disebut sebagai “myopathy”, diduga diakibatkan oleh HIV. Komentar mereka terhadap perbandingan tersebut adalah: “Kami menyimpulkan bahwa terapi jangka panjang dengan Zidovudine dapat mengakibatkan keracunan mitochondrial myopathy, dimana… gejalanya tidak bisa dibedakan dengan myopathy yang berhubungan dengan infeksi HIV…”.
Tulisan Robbin mengenai patologi juga berisi bagian yang menjelaskan tentang mitochondrial myopathy, menyatakan bahwa pengurangan otot jenis ini meyebabkan kelemahan fisik yang berat. Dalam tulisannya juga menyebutkan bahwa “kelompok ini bisa juga diklasifikasika n sebagai mitochondrial encephalomyopat hy.” Encephalomyopat hy, dalam bahasa gampangnya berarti kerusakan yang menyebar pada otak dan sumsum.
4) “HIV Dementia”: Walaupun kebanyakan penelitian restrospektif belum menemukan hubungan AZT dengan “HIV dementia”, penelitian-pene litian ini tidaklah terkontrol dan dengan demikian membuka terhadap berbagai kemungkinan dan penyimpangan. Satu penelitian yang terkontrol lebih baik berhasil menemukan bahwa “HIV dementia” terjadi 2 kali lebih besar pada orang yang memakai AZT. Dalam penelitian ini, seperti yang terpubliksikan journal Neurology (5), si pengarang menyatakan:
“diantara para subyek dengan sel CD4+ berjumlah<200/ mm3, resiko untuk berkembangnya HIV dementia di antara mereka yang dilaporkan memakai antiretroviral (AZT, ddI, ddC, or d4T) ternyata 97% lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak memakai terapi antiretroviral”
Penelitian-pene litian tersebut juga membahas mengenai sensory neuropathy, atau kemerosotan syaraf rasa:
“Sebagai tambahan, hasil temuan dari analisa kami sepertinya mengkonfirmasi pengamatan sebelumnya mengenai pengaruh beracun antiretroviral terhadap syaraf. Banyak penelitian telah menghubungkan pemakaian ddI, ddC, dan d4T dengan perkembangan racun atas sensory neuropathy, biasanya dalam dosis tertentu.”
Penelitian-pene litian ini merupakan contoh dari bukti yang menunjukkan bahwa AZT dan antiretroviral lainnya yang dipakai sebagai terapi tunggal atau sebagai bagian dari gabungan terapi ARV dapat menyebabkan gejala-gejala yang serupa dengan AIDS yang kemudian mengkambinghita mkan HIV sebagai penyebabnya. Sialnya, keyakinan mengenai HIV begitu kuatnya sehingga banyak dari peneliti kemudian akhirnya mensuport penggunaan obat-obatan.
Perkecualian yang perlu diperhatikan adalah penelitian dari Pharmacology and Therapeutics, dimana memberikan kritik yang tegas dan seksama (2).
Fakta lain yang menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai kemungkinan HIV yang menyebabkan infeksi adalah fakta bahwa walaupun USD 45 juta telah dikeluarkan sebagai dana penelitian, para ilmuwan tetap tidak bisa mengetahui bagaimana HIV menghancurkan sel T. Tentu saja demikian, ini dikarenakan HIV tidak menghancurkan sel T di tabung lab dan juga tidak pernah terbukti menghancurkan sel T di dalam tubuh manusia.
Dalam sebuah konferensi di tahun 1997, seperti yang dilaporkan pada jurnal Science, fakta ini telah diperjelas sebagaimana teori yang dikemukakan oleh David Ho memiliki kekurangan yang cukup serius. Seperti yang dinyatakan dalam artikel Science “Sampai sekarang misteri utama AIDS tetap tak terungkap, yaitu: Bagaimana HIV menyebabkan hilangnya sel T secara besar-besaran… yang merupakan tanda utama dari AIDS?”
Seorang immunologist dari Harvard Medical School, seperti tertulis dalam artikel tadi, meringkas permasalahan tersebut sebagai berikut: “Kami masih bingung mengenai mekanisme yang membuat berkurangnya sel T, tapi setidaknya sekarang kami bingung pada tingkat yang lebih tinggi lagi terhadap pemahaman kami sendiri.” (6). Sebenarnya, penjelasan sederhana dari permasalahan ini adalah (terutama sesudah dihabiskannya dana USD 45 juta) bahwa HIV tidak berefek pada sel T sama sekali.

PENJELASAN SEBENARNYA DARI PENYEBAB AIDS

Didasarkan pada bukti-bukti di atas, bisa dibuat suatu argumen bahwa apa yang kita sebut AIDS sebenarnya adalah penggenapan ramalan oleh diri sendiri (self-fulfilling prophecy) yang bisa saja terjadi sebagai berikut:

  • Tekanan psikologis akut yang berat karena didiagnosa “positif HIV”, telah bertransformasi dengan cepat menjadi tekanan psikologis kronis mengenai prediksi masa depan hidup dengan kesehatan yang makin menurun dan adanya penyakit infeksi yang bisa terjadi kapan saja. Stres seperti ini akan mengakibatkan bahaya menurunnya sistem imun. Menurunnya sistem imun oleh karena tekanan psikologis telah didokumentasika n dengan baik oleh beberapa penelitian ilmiah dan juga merupakan hal yang pasti terjadi pada kebanyakan orang (7). Disamping itu, orang-orang biasanya ditest untuk HIV pada saat masalah kesehatan mulai muncul, sehingga tekanan psikologis karena terdiagnosa “positif HIV” pun makin menambah parah penyakit yang telah ada sebelumnya. Secara alami, penyakit-penyak it karena pikiran ini bisa kronis dan berat. Tidak mesti harus ada penyakit parah sebelumnya baru muncul penyakit pikiran ini. Penyebab penyakit seperti ini (karena tekanan pikiran) telah diteliti pada orang-orang sehat dimana mereka juga bisa menciptakan suatu kondisi turun dan rusaknya sistem imun yang akhirnya disebut “AIDS”.

  • Sekali ditest positif, orang tersebut seringkali diberi antibiotik dengan dosis tinggi dan untuk jangka panjang, dan bisa juga ditambah dengan antiretroviral, sebagai standar pencegahan atau perawatan terhadap HIV. Antibiotik yang diberi seringkali memiliki efek samping melemahkan yang akhirnya dipersalahkan sebagai akibat dari HIV, termasuk menurunnya sistem imun. Dan lebih lagi, antibiotik mengakibatkan matinya bakteri menguntungkan yang melindungi kita. Tingkat keseimbangan yang normal antara bakteri menguntungkan dan merugikan dalam perut kita dan daerah lainnya adalah salah satu faktor terpenting dalam melindungi tubuh dari infeksi (8). Puncak dari ini semua, antibiotik seringkali juga menyebabkan kebalnya bakteri, jamur dan virus terhadap berbagai macam obat.

  • Sekali sistem imun telah turun oleh karena tekanan emosional (atau kekhawatiran pikiran) yang terus menerus terjadi, penyakit yang pernah diderita sebelumnya (jika pernah ada) dan melemahnya tubuh membuat diagnosa AIDS menjadi positif.Setelah itu, orang tersebut akan mulai diberi resep “antiretroviral s (ARV)” yang pasti dan permanen, dimana efek sampingnya telah saya jelaskan di atas. Makin banyak jumlah orang yang diberi resep ARV padahal mereka masih sehat dan tidak terdiagnosa AIDS.

  • ARV dianjurkan kepada pasien sampai dia meninggal. Ini karena adanya teori bahwa HIV bisa kebal dan berkembang jika mereka lalai mengkonsumsi ARV.Pasien yang meninggalkan prawatan ARV secara teori akan menjadi ancaman publik karena mereka bisa menginfeksi orang lain dengan “HIV yang bermutasi”. Demikianlah, disamping mempertimbangkan kesehatannya sendiri, pasien memiliki tanggung jawab sosial yang besar sehingga mengakibatkan dia untuk tetap mengkonsumsi ARV.Tidak peduli akan betapa berbahayanya efek samping dari ARV, pasien dengan keras dianjurkan untuk tidak pernah luput mengkonsumsi 1 pil pun. Namun ketika kesehatan pasien makin memburuk, keadaan tersebut dipersalahkan pada mutasi HIV sebagai penyebabnya dan juga karena “kelalaian” pasien. Sangat jarang infeksi atau permasalahan kesehatan yang ada dikatakan oleh karena efek samping dari ARV.

Beberapa orang tampaknya memiliki respon yang baik (tapi sementara) terhadap ARV. Apa sebabnya masih belum jelas, tapi bisa saja berhubungan dengan:
  1. ARV langsung bereaksi pada pathogen yang ada termasuk pathogen yang dianggap HIV.
  2. Zat beracun dari ARV telah menstimulasi keluarnya sel T dari sumsum tulang, sebelum akhirnya malah menghabiskan sel T dan menyebabkan turunnya sel imun dan anemia. Awal naiknya jumlah CD4 pada kasus ini diartikan oleh dokter sebagai membaiknya fungsi imun/kekebalan tubuh.
  3. Berkurangnya tekanan psikologis sehingga pasien bisa tenang adalah karena keyakinan yang kuat bahwa ARV yang telah dikonsumsi adalah “penyelamat”. Dan ini seringkali diperkuat dengan hasil lab yang menunjukkan meningkatnya jumlah CD4 dan menurunnya “viral load”, dimana ini bukanlah tanda yang pasti akan membaiknya kesehatan.

Beberapa penelitian ilmiah yang berusaha untuk mendokumentasik an efek positif dari protease inhibitor (PI) gabungan, selalu berakibat tidak baik. Tiap sukarelawan selalu harus stop lebih dini ditengah-tengah penelitian. Ini membuat penelitian-pene litian yang ada tidak bisa menemukan manfaat yang sesungguhnya dari terapi PI gabungan dan penelitian pun tidak pernah selesai.
(1)
Sebagai tambahan, group placebo terkontrol diberikan 2 ARV tanpa protease inhibitor. Jika ARV merupakan bagian dari permasalahan yang ada, maka group placebo terkontrol ini tidak akan memperlihatkann ya. Menghentikan percobaan terlalu dini terjadi pada kasus monoterapi AZT, sampai akhirnya uji coba Concorde berhasil menyelesaikanny a tapi dengan angka kematian dan efek samping berat yang makin banyak di group yang mendapatkan AZT.

Group lainnya, dimana sukarelawan hanya diberikan AZT sesudah didiagnosa positif AIDS, memiliki angka kematian 25% lebih sedikit. Semua 172 sukarelawan uji coba Concorde yang meninggal telah diberikan AZT kecuali 3 sukarelawan. Untuk detail diskusi dari uji coba Concorde, silahkan melihat referensi (1)(9)(10).

Pemikiran bahwa HIV yang bermutasi bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan telah disangkal total oleh penelitian David Rasnick, yang mempublikasikan hasil penelitiannya di the Journal of Biological Chemistry. (11). Dengan demikian, penurunan kesehatan pada kebanyakan pasien BUKAN disebabkan oleh HIV yang bermutasi. Jawaban yang lebih sederhana dan tepat adalah efek samping obat-obatan yang menyebabkannya, seperti yang telah dibeberkan dengan jelas di atas.

Perbandingan Obat KIMIA ARV dengan Obat ALAMI
ARV
OBAT ALAMI
Tidak bisa menyembuhkan AIDS.
Bisa menyembuhkan AIDS.
Karena tidak bisa menyembuhkan, maka harus dikonsumsi seumur hidup.
Ketika sudah sembuh, Odha bisa stop pengobatan.
“Memperbudak” Odha SEUMUR HIDUP dengan kewajiban jadwal ketatnya yang harus dikonsumsi tepat waktu.
Tidak memperbudak Odha seumur hidup karena jadwal konsumsinya fleksibel.
Bahan kimia tidak ramah lingkungan yang penuh dengan efek samping.
Bahan alami ramah lingkungan dan pada umumnya tanpa efek samping.
Mikroba makin kebal atau resisten walaupun dikonsumsi dengan jadwal yang benar.
Tidak akan menimbulkan resistensi walaupun jadwalnya fleksibel.
Tidak aman jika dikonsumsi dalam jangka panjang, apalagi untuk seumur hidup.
Aman jika dikonsumsi dalam jangka panjang, apalagi jenis suplemen, sangat aman dikonsumsi seumur hidup untuk mempertahankan kesehatan.
(NCBI, Oxford Med Journal, Medindia, Healindonesia)
sumber: www.lintas.me/go/memobee.com/aids-denialist-menguak-mafia-kesehatan-pada-kasus-hivaids
Referensi:
1) Lancet; 1998: Volume 352; Supplement 5.
2) These studies of T-cell damage are part of a comprehensive discussion of the extreme toxicity of these drugs. Pharmacology and Therapeutics 1992; Volume 55: 201-277.
3) Annals of Hematology 1994; Volume 69: 135-138.
4) New England Journal of Medicine. 1990; 322(16) : 1098-1105.
5) Neurology. 1994;Volume 44: 1892 -1900.
6) Science. November 21, 1997; 278: 1399-1400.
7) Ader R, Felten DL&Cohen N. Psychoneuroimmu nology. Second Edition. San Diego: Academic Press, 1991
Kolliadin V., DESTRUCTION OF NORMAL RESIDENT MICROFLORA AS THE MAIN CAUSE OF AIDS, Aug. 1996 http:// ww.virusmyth.co m/aids/data/ vkmicro.htm
9) New England Journal of Medicine 1992; 326: 437-443

sumber : www.facebook.com/hivaidshoax/posts/1437516993127095

Benarkah ODHA dengan Terapi ARV Tidak Menularkan HIV?

Apakah ODHA yang diobati tidak lagi menular? 

Beberapa pakar terkemuka Swiss setahun lalu mengeluarkan pernyataan, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang memakai terapi antiretroviral (ARV) secara patuh boleh berhubungan seks tanpa kondom.

Secara dasar, kesan tersebut di atas dapat diterima oleh para ODHA. Tapi apakah kesan ini benar? Apakah ketersediaan ARV secara universal pada orang yang terinfeksi HIV dapat mencegah penularan pada orang lain? 

Pernyataan tersebut kontroversial, dan dapat menimbulkan kesalahpahaman bahwa AIDS tidak masalah lagi.

Pernyataan ini menciptakan keraguan dan menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan ODHA di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Yang paling terpengaruh adalah mereka yang ingin mendapat keturunan dengan pasangan yang tidak terinfeksi HIV. Memang sebelum pernyataan dikeluarkan, banyak ODHA melakukan hubungan seks tanpa kondom agar bisa hamil. Anggapannya adalah bahwa risikonya sangat rendah. Apakah kita akan membiarkan hal ini terus dilakukan, atau sebaiknya kita mengusulkan untuk menghindari risiko ini? 

Untuk membahas pernyataan, keraguan, dan dampaknya, Yayasan Spiritia menggelar simposium setengah hari berjudul ‘Pengobatan HIV sebagai Pencegahan’. Simposium yang diselenggarakan baru-baru ini di Unika Atmaja JakARVa menampilkan Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, dari sisi pengobatan dan Dr. Pandu Riono, MPH, PhD. (Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular IDI) dari sisi pencegahan.

Kedua pembicara itu juga membahas pendapat dari beberapa pakar WHO tentang tes HIV secara universal dan ARV yang dimulai segera setelah infeksi didiagnosis. Jika ini dijalankan, prevalensi HIV di dunia dapat dikurangi menjadi di bawah 1% dalam 50 tahun.

Saat ini di Indonesia diperkirakan ada 270.000 orang terinfeksi HIV. Tidak jelas berapa di antaranya yang sudah mengetahui dirinya terinfeksi, tetapi tidak lebih dari 15%.

Yang diketahui dapat dijangkau dan didorong mengubah perilaku untuk memastikan agar mereka tidak menularkan HIV kepada orang lain. Ini dikenal sebagai “HIV Stop di Sini”. Ada bukti bahwa mengetahui dirinya terinfeksi HIV merupakan salah satu cara pencegahan yang paling efektif.

Sebaliknya, 85% yang tidak tahu dirinya terinfeksi tetap berperilaku berisiko menulari HIV, tidak menyadari bahwa mereka akan menempatkan pasangannya, dan mungkin juga bayinya, dalam keadaan berisiko terinfeksi juga. Akhirnya, ada kemungkinan mereka meninggal karena AIDS tetapi penyebabnya tidak terdiagnosis.

Efektivitas ARV
Menurut Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM dari Pusat Pelayanan Terpadu HIV RS Cipto Mangunkusumo, ARV amat efektif untuk pencegahan. Dia menjelaskan, pada kelompok yang minum ARV, tidak ada pasangannya yang tertular HIV.

Jumlah virus (viral load) merupakan faktor prediksi utama penularan HIV. Dr. Zubairi mengungkapkan, untuk ODHA dengan jumlah virus kurang dari 1.500 copies of HIV-1RNA/ml, amat sedikit kemungkinannya bisa menularkan HIV.

Dengan menggunakan ARV, kata Zubairi, prevalensi HIV pasangan turun dari 10,3% (1991-1995) menjadi 1,9% (1999-2003; P = 0.0061). ARV-nya, ODHA yang minum ARV, penularan HIV turun 80%.

Dijelaskan, penularan HIV/AIDS lebih sering terjadi dari laki-laki ke perempuan, dan penularan juga berbanding lurus dengan jumlah virus. Selain itu ARV mencegah penularan heteroseksual.

Menurut Dr. Zubairi, ARV harus diberikan sebagai paket pengobatan, bersama-sama dengan profilaksis co-trimoxazole, manajemen infeksi oportunistik, tatalaksana komorbiditas, pengobatan nutrisi, dan pengobatan paliatif.

Ada beberapa upaya pencegahan penularan yang dijelaskan Dr. Zubairi. Di antaranya upaya biomedik yang berupa ARV, PMTCT, sunat, sirkumsisi, kondom, dan pengobatan penyakit menular seksual.

Selain itu, perlu juga ada upaya struktural dalam pencegahan. Upaya tersebut meliputi ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, kesetaraan gender, perubahan perilaku, dan positive prevention.

Sementara, menurut Dr. Pandu Riono, MPH, PhD, Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular IDI, pengobatan ARV harus dilakukan sedini mungkin. Obat ARV perlu dimulai sedini mungkin karena progresivitas penyakit terjadi setelah banyak CD4 yang hancur . ARV dinilainya menekan replikasi HIV dan viral load.

Dalam pandangannya, Dr. Pandu mengemukakan adanya mitos bahwa kalau viral load atau jumlah virus tidak terdeteksi dengan pemeriksaan yang sangat sensitif, maka orang tersebut tidak menularkan HIV lagi. Namun, pada kenyataannya, masih ada persistent replication in lymphoid tissue (sekitar 20-40%). Sehingga, ada fenomena blips pada grafik kadar HIV-RNA plasma.

Kenapa masih terjadi persistent replication? Setidaknya, kata Dr. Pandu, ada beberapa faktor yang berpengaruh, yakni intermittent non-adherence, variasi antarindividu pada metabolisme obat ARV, ada interaksi obat, dan regimen ARV yang kurang dapat diandalkan. Sebagai konsekuensinya, salah satunya reservoar HIV akan meningkat dalam waktu singkat.

Lebih jauh dijelaskan, kadar HIV di plasma tidak selalu berhubungan linear dengan kadar HIV pada cairan seksual yang dikeluarkan kelenjar genitalia. Ada yang ‘undetectable viral loads’ pada plasma darah, tetapi kadar HIV pada cairan seksual cukup tinggi dan mampu menularkan.

Dr. Pandu mengutip pendapat David Wilson dkk dari UNSW, Sidney, yang menyatakan bahwa tidak benar ada zero transmission. Pada heteroseksual, tetap ada low transmission, bahkan pada homoseksual lebih tinggi.

Dalam paparannya Dr. Pandu menyimpulkan, kemajuan pengobatan ARV membuka harapan baru bagi penanggulangan HIV/AIDS. Namun, ARV bukanlah pilihan untuk pencegahan di populasi, apalagi digunakan sebagai satu-satunya cara untuk menekan laju epidemik.
Menurutnya, strategi mengubah perilaku adalah cara yang utama. Namun sayang, strategi ini belum ditempatkan sebagai cara utama.

Bayi yang "Sembuh" dari HIV, Virusnya Kembali Lagi

Seorang bocah terlahir dengan infeksi HIV namun dinyatakan "sembuh" kini mengidap virus ini kembali. Padahal, berkat terapi pengobatan sejak ia lahir, bocah tersebut sempat bebas dari HIV selama lebih dari dua tahun.
Bayi tersebut lahir dari ibu yang positif HIV pada tahun 2010 dan langsung diterapi dengan obat antiretroviral begitu ia dilahirkan. Kemudian pengobatan itu dilanjutkan sampai ia berusia 18 bulan. Sayangnya dokter kehilangan kontak dengan keluarga bayi tersebut sehingga pengobatan tidak dilanjutkan.

Bayi tersebut baru kembali ke rumah sakit saat ia berusia 5 bulan. Ia mengejutkan para dokter karena dalam pemeriksaan tidak ditemukan adanya tanda-tanda HIV.

Selama dua tahun setelahnya, si bayi bebas dari HIV dan kasus ini menjadi perbincangan dan kegembiraan para ahli kesehatan. Para dokter juga berencana melakukan percobaan klinis untuk mengetahui apakah terapi antivirus sejak awal akan memberikan hasil yang serupa.

Sayangnya kini setelah si bayi telah berusia 4 tahun, dokter menemukan jejak HIV dalam darahnya.

"Tentu ini mengecewakan, bukan hanya bagi si anak ini, para staf medis yang terlibat, serta komunitas penelitian HIV/AIDS," kata Dr.Anthony S.Fauci, direktur National Institute of Allergy and Infectious Disease.

Ia mengatakan, secara ilmiah perkembangan tersebut mengingatkan para ahli bahwa masih banyak yang harus dipelajari tentang infeksi HIV dan di mana virus ini bersembunyi dalam tubuh.

Ketika si anak tersebut pertama kali ditemukan bebas HIV, para dokter menekankan bahwa si anak bisa disebut sebagai "sembuh" dari HIV jika dengan berlalunya waktu level virusnya tidak terdeteksi.

Namun, hasil tersebut menunjukkan ternyata terapinya tidak bisa menghapuskan seluruh virus dari tubuh. Meski begitu, tim dokter yang menangani mengatakan masih ada harapan bahwa jenis terapi HIV seperti yang diterima anak tersebut akan membuka peluang pengobatan HIV.

"Fakta bahwa si anak masih bebas HIV selama dua tahun meski tidak lagi mendapat obat antivirus sebenarnya di luar dugaan. Biasanya, jika pengobatan dihentikan, kadar HIV akan langsung naik dalam seminggu, bukan tahunan," kata Dr.Deborah Persaud, salah satu dokter yang terlibat.

Selanjutnya, para ilmuwan akan mencari tahu mengapa pengobatan itu sukses menjaga virus tidak cepat naik dalam kurun waktu cukup lama. Mereka juga berusaha mengetahui apakah periode remisi tersebut bisa bertahan lebih lama lagi.

Disclaimer :

Untuk Hasil Sembuh Fungsional Permanen Umumnya di butuhkan pengobatan selama 3-6 bulan pengobatan. Faktor kondisi tubuh seseorang dan suport keluarga sangat berpengaruh terhadap reaksi kesembuhan. Simpanlah alamat & nomor HP kami 082332222009