“Dan apabila aku sakit. Dialah (Allah) yang menyembuhkanku” (As Syu’araa: 80)
Slide 1 Code Start -->

ODHA dengan Infeksi Oportunis : Dermatitis Kronis dan SGB

Perbaikan yang begitu cepat hanya dalam waktu 1 bulan pengobatan. Alhamdulllah

Control Keberadaan Virus HIV

Sangat penting di lakukan Kontrol VL selama Pengobatan Kami

Rasulullah ﷺ
“Setiap penyakit ada obatnya, dan bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah”

Benarkah ODHA dengan Terapi ARV Tidak Menularkan HIV?

Apakah ODHA yang diobati tidak lagi menular? 

Beberapa pakar terkemuka Swiss setahun lalu mengeluarkan pernyataan, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang memakai terapi antiretroviral (ARV) secara patuh boleh berhubungan seks tanpa kondom.

Secara dasar, kesan tersebut di atas dapat diterima oleh para ODHA. Tapi apakah kesan ini benar? Apakah ketersediaan ARV secara universal pada orang yang terinfeksi HIV dapat mencegah penularan pada orang lain? 

Pernyataan tersebut kontroversial, dan dapat menimbulkan kesalahpahaman bahwa AIDS tidak masalah lagi.

Pernyataan ini menciptakan keraguan dan menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan ODHA di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Yang paling terpengaruh adalah mereka yang ingin mendapat keturunan dengan pasangan yang tidak terinfeksi HIV. Memang sebelum pernyataan dikeluarkan, banyak ODHA melakukan hubungan seks tanpa kondom agar bisa hamil. Anggapannya adalah bahwa risikonya sangat rendah. Apakah kita akan membiarkan hal ini terus dilakukan, atau sebaiknya kita mengusulkan untuk menghindari risiko ini? 

Untuk membahas pernyataan, keraguan, dan dampaknya, Yayasan Spiritia menggelar simposium setengah hari berjudul ‘Pengobatan HIV sebagai Pencegahan’. Simposium yang diselenggarakan baru-baru ini di Unika Atmaja JakARVa menampilkan Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, dari sisi pengobatan dan Dr. Pandu Riono, MPH, PhD. (Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular IDI) dari sisi pencegahan.

Kedua pembicara itu juga membahas pendapat dari beberapa pakar WHO tentang tes HIV secara universal dan ARV yang dimulai segera setelah infeksi didiagnosis. Jika ini dijalankan, prevalensi HIV di dunia dapat dikurangi menjadi di bawah 1% dalam 50 tahun.

Saat ini di Indonesia diperkirakan ada 270.000 orang terinfeksi HIV. Tidak jelas berapa di antaranya yang sudah mengetahui dirinya terinfeksi, tetapi tidak lebih dari 15%.

Yang diketahui dapat dijangkau dan didorong mengubah perilaku untuk memastikan agar mereka tidak menularkan HIV kepada orang lain. Ini dikenal sebagai “HIV Stop di Sini”. Ada bukti bahwa mengetahui dirinya terinfeksi HIV merupakan salah satu cara pencegahan yang paling efektif.

Sebaliknya, 85% yang tidak tahu dirinya terinfeksi tetap berperilaku berisiko menulari HIV, tidak menyadari bahwa mereka akan menempatkan pasangannya, dan mungkin juga bayinya, dalam keadaan berisiko terinfeksi juga. Akhirnya, ada kemungkinan mereka meninggal karena AIDS tetapi penyebabnya tidak terdiagnosis.

Efektivitas ARV
Menurut Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM dari Pusat Pelayanan Terpadu HIV RS Cipto Mangunkusumo, ARV amat efektif untuk pencegahan. Dia menjelaskan, pada kelompok yang minum ARV, tidak ada pasangannya yang tertular HIV.

Jumlah virus (viral load) merupakan faktor prediksi utama penularan HIV. Dr. Zubairi mengungkapkan, untuk ODHA dengan jumlah virus kurang dari 1.500 copies of HIV-1RNA/ml, amat sedikit kemungkinannya bisa menularkan HIV.

Dengan menggunakan ARV, kata Zubairi, prevalensi HIV pasangan turun dari 10,3% (1991-1995) menjadi 1,9% (1999-2003; P = 0.0061). ARV-nya, ODHA yang minum ARV, penularan HIV turun 80%.

Dijelaskan, penularan HIV/AIDS lebih sering terjadi dari laki-laki ke perempuan, dan penularan juga berbanding lurus dengan jumlah virus. Selain itu ARV mencegah penularan heteroseksual.

Menurut Dr. Zubairi, ARV harus diberikan sebagai paket pengobatan, bersama-sama dengan profilaksis co-trimoxazole, manajemen infeksi oportunistik, tatalaksana komorbiditas, pengobatan nutrisi, dan pengobatan paliatif.

Ada beberapa upaya pencegahan penularan yang dijelaskan Dr. Zubairi. Di antaranya upaya biomedik yang berupa ARV, PMTCT, sunat, sirkumsisi, kondom, dan pengobatan penyakit menular seksual.

Selain itu, perlu juga ada upaya struktural dalam pencegahan. Upaya tersebut meliputi ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, kesetaraan gender, perubahan perilaku, dan positive prevention.

Sementara, menurut Dr. Pandu Riono, MPH, PhD, Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular IDI, pengobatan ARV harus dilakukan sedini mungkin. Obat ARV perlu dimulai sedini mungkin karena progresivitas penyakit terjadi setelah banyak CD4 yang hancur . ARV dinilainya menekan replikasi HIV dan viral load.

Dalam pandangannya, Dr. Pandu mengemukakan adanya mitos bahwa kalau viral load atau jumlah virus tidak terdeteksi dengan pemeriksaan yang sangat sensitif, maka orang tersebut tidak menularkan HIV lagi. Namun, pada kenyataannya, masih ada persistent replication in lymphoid tissue (sekitar 20-40%). Sehingga, ada fenomena blips pada grafik kadar HIV-RNA plasma.

Kenapa masih terjadi persistent replication? Setidaknya, kata Dr. Pandu, ada beberapa faktor yang berpengaruh, yakni intermittent non-adherence, variasi antarindividu pada metabolisme obat ARV, ada interaksi obat, dan regimen ARV yang kurang dapat diandalkan. Sebagai konsekuensinya, salah satunya reservoar HIV akan meningkat dalam waktu singkat.

Lebih jauh dijelaskan, kadar HIV di plasma tidak selalu berhubungan linear dengan kadar HIV pada cairan seksual yang dikeluarkan kelenjar genitalia. Ada yang ‘undetectable viral loads’ pada plasma darah, tetapi kadar HIV pada cairan seksual cukup tinggi dan mampu menularkan.

Dr. Pandu mengutip pendapat David Wilson dkk dari UNSW, Sidney, yang menyatakan bahwa tidak benar ada zero transmission. Pada heteroseksual, tetap ada low transmission, bahkan pada homoseksual lebih tinggi.

Dalam paparannya Dr. Pandu menyimpulkan, kemajuan pengobatan ARV membuka harapan baru bagi penanggulangan HIV/AIDS. Namun, ARV bukanlah pilihan untuk pencegahan di populasi, apalagi digunakan sebagai satu-satunya cara untuk menekan laju epidemik.
Menurutnya, strategi mengubah perilaku adalah cara yang utama. Namun sayang, strategi ini belum ditempatkan sebagai cara utama.

Pencegahan HIV dan AIDS

Tidak ada vaksin untuk mencegah HIV 
Dan
Belum  ada obat untuk AIDS
tetapi  Anda bisa melindungi diri agar tidak terinfeksi. 

Satu-satunya cara untuk mencegah terinfeksi HIV adalah dengan menghindari kegiatan yang meningkatkan risiko tertular HIV. Pada dasarnya, mencegah selalu lebih baik daripada mengobati.

Cara-cara yang paling umum untuk terinfeksi HIV adalah berhubungan seks tanpa kondom, berbagi jarum atau alat suntik lainnya. Jika Anda terinfeksi HIV, Anda bisa menularkannya dengan cara-cara tersebut. 
Jika kedua pasangan terinfeksi, tetap lakukan hubungan seks yang aman. Anda bisa tertular jenis virus HIV lain yang mungkin tidak bisa dikendalikan oleh obat-obatan yang Anda konsumsi.

Melalui Hubungan Seks

Risiko tertinggi infeksi HIV ditularkan melalui hubungan seks tanpa kondom melalui vagina maupun anal. Risiko tertular melalui seks oral rendah, tapi bukan berarti nol. Seks oral bisa menularkan penyakit Infeksi Menular Seksual lain seperti sifilis. Mainan dan alat bantu seks juga berisiko dalam menyebarkan HIV jika salah satu pengguna mainan dan alat bantu seks ini positif terinfeksi HIV.

Cara terbaik untuk mencegah HIV dan penyakit infeksi menular seksual (IMS) lainnya adalah dengan memakai kondom untuk segala jenis penetrasi seks. Dan gunakan dental dam untuk melakukan seks oral. Dental dam adalah selembar kain berbahan lateks. Kain ini berfungsi sebagai penghalang antara mulut dan vagina atau anus. Hal ini bertujuan untuk menurunkan penyebaran IMS selama melakukan seks oral.

Pemakaian kondom
Jika Anda tidak tahu status infeksi HIV pasangan, maka selalu gunakan kondom baru tiap melakukan hubungan seks anal maupun seks vaginal. Kondom tersedia dalam berbagai bentuk, warna, tekstur, bahan, dan rasa yang berbeda. Kondom tersedia baik untuk pria maupun wanita.

Kondom adalah bentuk perlindungan paling efektif melawan HIV dan penyakit Infeksi Menular Seksual lainnya. Kondom bisa digunakan untuk hubungan seks apa pun. Sangat penting untuk memakai kondom sebelum kontak seksual apa pun yang muncul antara penis, vagina, mulut, atau anus. HIV bisa ditularkan sebelum terjadi ejakulasi. Ini terjadi ketika keluarnya cairan awal dari alat kelamin dan dari anus.

Gunakan kondom yang berbahan lateks atau poliuretan (latex and polyurethane) ketika melakukan hubungan seks. Gunakan kondom begitu Anda atau pasangan mengalami ereksi, bukan sebelum ejakulasi.

Pemakaian pelumas
Pelumas digunakan untuk menambah kenyamanan dan keamanan hubungan seks dengan tujuan menambah kelembapan pada vagina maupun anus selama seks. Pelumas akan mengurangi risiko terjadinya kulit luka (sobek) pada vagina atau anus. Pelumas juga mencegah agar kondom tidak sobek.

Hanya gunakan pelumas yang berbahan dasar air, bukan yang berbahan minyak. Pelumas yang berbahan minyak bisa melemahkan kekuatan kondom dan bahkan bisa merobek kondom.

Melalui Jarum dan Suntikan

Jika Anda memakai jarum untuk menyuntikkan obat, pastikan jarumnya steril. Jangan berbagi jarum, suntikan, atau perlengkapan menyuntik lagi seperti spon dan kain. Berbagi jarum bisa meningkatkan risiko terinfeksi HIV dan virus lain yang ada di dalam darah, misalnya hepatitis C.

Jika Anda ingin membuat tato atau tindik, pastikan selalu memakai jarum yang steril dan bersih. Jangan melakukan aktivitas ini di tempat sembarangan. Pastikan Anda memeriksa soal jarum yang digunakan.

Diagnosis HIV dan AIDS

Orang yang baru saja terinfeksi HIV akan mengalami gejala seperti penyakit flu. Ini terjadi selama kurang lebih satu bulan setelah terinfeksi. Gejala awal yang muncul seperti demam, tenggorokan sakit dan munculnya ruam. Tapi, beberapa orang yang menderita HIV tidak merasakan tanda dan gejala selama bertahun-tahun.
Hanya dengan menjalani tes HIV, kita bisa tahu pasti apakah kita terinfeksi atau tidak. Makin cepat HIV terdeteksi, maka tingkat keberhasilan pengobatan akan lebih tinggi. Jika Anda merasa berisiko terinfeksi HIV, konsultasikan kepada dokter atau klinik kesehatan terdekat.
Jangan menunda penanganan setelah Anda tahu telah terinfeksi HIV. Jika terlambat, virus bisa dengan cepat menyebar ke dalam sistem kekebalan tubuh. Hal ini bisa mengganggu kesehatan Anda. Anda juga bisa menghindari penyebaran virus kepada orang-orang terdekat atau pun kepada orang lain.

Melakukan Tes HIV/AIDS

Untuk menguji apakah kita terinfeksi HIV, satu tes yang paling umum adalah tes darah. Darah akan diperiksa di laboratorium. Tes ini berfungsi untuk menemukan antibodi terhadap HIV di dalam darah. Tapi tes darah ini baru bisa dipercaya jika dilakukan setidaknya sebulan setelah terinfeksi HIV karena antibodi terhadap HIV tidak terbentuk langsung setelah infeksi awal. Antibodi terhadap HIV butuh waktu sekitar dua minggu hingga enam bulan, sebelum akhirnya muncul di dalam darah.
Masa antara infeksi HIV dan terbentuknya antibodi yang cukup untuk menunjukkan hasil tes positif disebut sebagai “masa jendela”. Pada masa ini, seseorang yang terinfeksi HIV sudah bisa menularkan virus ini, meski dalam tes darah tidak terlihat adanya antibodi terhadap HIV dalam darah.
Sebelum seseorang diberikan diagnosis yang pasti, perlu dilakukan beberapa kali tes untuk memastikan. Hal ini dikarenakan masa jendela HIV cukup lama. Jadi hasil tes pertama yang dilakukan belum tentu bisa dipercaya. Lakukan tes beberapa kali jika Anda merasa berisiko terinfeksi HIV.
Jika dinyatakan positif HIV, beberapa tes harus dilakukan untuk memerhatikan perkembangan infeksi. Setelah itu barulah bisa diketahui kapan harus memulai pengobatan terhadap HIV.

Tempat Melakukan Tes HIV/AIDS

Ada beberapa tempat untuk melakukan tes darah HIV. Bahkan, beberapa puskesmas juga sudah menyediakan layanan untuk tes HIV. Klik tautan ini untuk melihat beberapa rumah sakit di Indonesia yang menyediakan fasilitas tes HIV.
Di Indonesia, terdapat beberapa yayasan dan organisasi yang fokus untuk urusan HIV/AIDS, di antaranya:
  • Komunitas AIDS Indonesia
  • ODHA Indonesia
  • Himpunan Abiasa
  • Yayasan Spiritia
  • Yayasan Orbit
Sedangkan lembaga pemerintah yang dibentuk khusus untuk menangani HIV/AIDS adalah Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Anda bisa berkonsultasi kepada mereka tentang segala hal yang berhubungan dengan HIV/AIDS.
Sekarang alat tes HIV untuk di rumahan juga tersedia bebas untuk dibeli di apotik, klinik kesehatan, atau melalui daring internet. Tapi untuk lebih jelas dalam memahami virus ini, disarankan untuk berkonsultasi kepada dokter.
Jika berminat melakukan tes HIV, sebelumnya akan diberikan penyuluhan atau konseling. Tes HIV tidak bisa dilakukan tanpa persetujuan orang yang bersangkutan.

Pengobatan HIV dan AIDS pada UMUMnya

Tidak ada obat untuk menyembuhkan infeksi HIV, tapi ada pengobatan yang bisa memperlambat perkembangan penyakit. Perawatan ini bisa membuat orang yang terinfeksi untuk hidup lebih lama dan bisa menjalani pola hidup sehat. Ada berbagai macam jenis obat yang dikombinasikan untuk mengendalikan virus.

Obat-obatan Darurat Awal HIV

Jika merasa atau mencurigai baru saja terkena virus dalam rentan waktu 3×24 jam, obat anti HIV bisa mencegah terjadinya infeksi. Obat ini bernama post-exposure prophylaxis (PEP) atau di Indonesia dikenal sebagai profilaksis pasca pajanan. Profilaksis adalah prosedur kesehatan yang bertujuan mencegah daripada mengobati.
Pengobatan ini harus dimulai maksimal tiga hari setelah terjadi pajanan (terpapar) terhadap virus. Idealnya, obat ini bisa diminum langsung setelah pajanan terjadi. Makin cepat pengobatan, maka lebih baik.
Pengobatan memakai PEP ini berlangsung selama sebulan. Efek samping obat ini serius dan tidak ada jaminan bahwa pengobatan ini akan berhasil. PEP melibatkan obat-obatan yang sama seperti pada orang yang sudah dites positif HIV.
Obat ini bisa Anda dapatkan di dokter spesialis penyakit infeksi menular seksual (IMS) atau di rumah sakit.

Hasil Tes Positif HIV

Hasi tes positif atau reaktif berarti kita terinfeksi HIV. Hasil tes ini seharusnya disampaikan oleh penyuluh (konselor) atau pun dokter. Mereka akan memberi tahu dampaknya pada kehidupan sehari-hari dan bagaimana menghadapi situasi yang terjadi saat itu.
Tes darah akan dilakukan secara teratur untuk mengawasi perkembangan virus sebelum memulai pengobatan. Pengobatan dilakukan setelah virus mulai melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia. Ini bisa ditentukan dengan mengukur tingkat sel CD4 dalam darah. Sel CD4 adalah sel yang bertugas untuk melawan infeksi.
Pengobatan biasanya disarankan setelah CD4 di bawah 350, entah terjadi gejala atau tidak. Jika CD4 sudah mendekati 350, disarankan untuk melakukan pengobatan secepatnya. Tujuan pengobatan adalah untuk menurunkan tingkat virus HIV dalam darah. Ini juga untuk mencegah atau menunda penyakit yang terkait dengan HIV. Kemungkinan untuk menyebarkannya juga menjadi lebih kecil.

Keterlibatan Penyakit Lain

Bagi penderita hepatitis B dan hepatitis C yang juga terinfeksi HIV, pengobatan disarankan ketika angka CD4 di bawah 500. Jika penderita HIV sedang menjalani radioterapi atau kemoterapi yang akan menekan sistem kekebalan tubuh, pengobatan dilakukan dengan angka CD4 berapa pun. Atau ketika Anda juga menderita penyakit lain seperti TB, penyakit ginjal, dan  penyakit otak.

Obat-obatan Antiretroviral

Antiretroviral (ARV) adalah beberapa obat yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV. Obat-obatan ini tidak membunuh virus, tapi memperlambat pertumbuhan virus. HIV bisa mudah beradaptasi dan kebal terhadap satu golongan ARV. Oleh karena itu kombinasi golongan ARV akan diberikan.
Pengobatan kombinasi ini lebih dikenal dengan nama terapi antiretroviral (ART). Biasanya pasien akan diberikan tiga golongan obat ARV. Kombinasi obat ARV yang diberikan berbeda-beda pada tiap-tiap orang, jadi jenis pengobatan ini bersifat pribadi atau khusus.
Beberapa obat ARV sudah digabungkan menjadi satu pil. Begitu pengobatan HIV dimulai, mungkin obat ini harus dikonsumsi seumur hidup. Jika satu kombinasi ARV tidak berhasil, mungkin perlu beralih ke kombinasi ARV lainnya.
Jika menggabungkan beberapa tipe pengobatan untuk mengatasi infeksi HIV, hal ini bisa menimbulkan reaksi dan efek samping yang tidak terduga. Selalu konsultasikan kepada dokter sebelum mengonsumsi obat yang lain.

Pengobatan HIV Pada Wanita Hamil

Bagi wanita hamil yang positif terinfeksi HIV, ada obat ARV khusus untuk wanita hamil. Obat ini untuk mencegah penularan HIV dari ibu kepada bayinya. Tanpa pengobatan, terdapat perbandingan 25 dari 100 bayi akan terinfeksi HIV. Risiko bisa diturunkan kurang dari satu banding 100 jika diberi pengobatan sejak awal.
Dengan pengobatan lebih dini, risiko menularkan virus melalui kelahiran normal tidak meningkat. Tapi bagi beberapa wanita, tetap disarankan untuk melahirkan dengan operasi caesar.
Bagi wanita yang terinfeksi HIV, disarankan untuk tidak memberi ASI kepada bayinya. Virus bisa menular melalui proses menyusui. Jika Anda adalah pasangan yang menderita HIV, bicarakan kepada dokter sebagaimana ada pilihan untuk tetap hamil tanpa berisiko tertular HIV.

Konsumsi Obat Secara Teratur

Anda harus membuat jadwal rutin untuk memasukkan pengobatan HIV ke dalam pola hidup sehari-hari. Pengobatan HIV bisa berhasil jika Anda mengonsumsi obat secara teratur (pada waktu yang sama setiap kali minum obat). Jika melewatkan satu dosis saja, efeknya bisa meningkatkan risiko kegagalan.

Efek Samping Pengobatan HIV

Semua pengobatan untuk HIV memiliki efek samping yang tidak menyenangkan. Jika terjadi efek samping yang tidak normal, Anda mungkin perlu mencoba kombinasi obat-obatan ARV yang lainnya. Berikut adalah contoh efek samping yang umumnya terjadi:
  • Kelelahan
  • Mual
  • Ruam pada kulit
  • Diare
  • Satu bagian tubuh menggemuk, bagian lain kurus
  • Perubahan suasana hati

Kasus HIV/AIDS pada Ibu Rumah Tangga Terus Meningkat


Sekretaris Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Merauke Henny Astuti Suparman, Senin (30/5/2011), menuturkan, risiko tertinggi tertular kini tidak lagi pada kelompok pekerja seks, tetapi beralih ke kelompok ibu rumah tangga. ”Sumber penularan dari hubungan seksual,” kata Henny di Merauke.

Berdasarkan data KPA Merauke, jumlah pengidap HIV/AIDS di Merauke hingga Maret 2011 ada 1.283 orang. Dari jumlah tersebut, 630 laki-laki dan 607 perempuan. Sisanya tidak diketahui.
Dari jumlah tersebut, 196 orang adalah pekerja seks, 168 petani, dan 165 (12,86 persen) ibu rumah tangga. Jumlah ibu rumah tangga pengidap HIV/AIDS meningkat dibandingkan dengan data bulan Desember 2010 sebanyak 158 orang (12,57 persen).
”Bulan April 2011, kami temukan lagi tiga ibu rumah tangga positif HIV/AIDS,” kata Henny.
Menurut dia, 3 dari 10 ibu rumah tangga pengidap HIV/AIDS tahun 2011 sedang hamil. Diduga mereka tertular dari suami. ”Setelah diperiksa, ternyata suaminya positif. Namun, ada juga suami tak mau dites,” katanya.
Ironisnya, ada ibu hamil yang positif HIV/AIDS tak mau mendapat pengobatan antiretroviral (ARV). ”Dia merasa sehat dan baik-baik saja sehingga merasa tidak butuh ARV ataupun pendampingan,” kata Henny.
Di Kabupaten Asmat, penyebaran HIV/AIDS juga cepat. Pada tahun 2006 tercatat satu orang terinfeksi. Sementara tahun 2010 ditemukan ada 41 orang yang terinfeksi. (RWN)

Pengidap HIV, Apakah Boleh Punya Anak?


Virus HIV merupakan virus yang dapat ditularkan melalui 
pertukaran cairan tubuh seperti sperma, atau air susu. Karena itu, pengidap HIV diimbau untuk tidak melakukan hubungan seks tanpa pengaman.

Hanya saja, memiliki keturunan hak setiap orang, termasuk pengidap HIV. Namun dengan risiko penurunan virus dari orangtua ke anak yang tinggi, lantas, bagaimana mereka mampu memiliki tanpa menularkan virusnya?

Menurut pakar ilmu penyakit dalam dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) Samsuridjal Djauzi, cara paling efektif untuk mencegah penularan dari orangtua ke keturunannya adalah memastikan orangtuanya memiliki kadar virus yang sangat rendah di tubuhnya sebelum mejalani program kehamilan.

Setelah kadar virus di dalam tubuh sudah sedikit, lanjut dia, cairan tubuh khususnya sperma pada laki-laki tidak lagi mengandung virus. Karena itu, laki-laki sudah dapat berhubungan seks tanpa pengaman dengan pasangannya selama masa suburnya.

"Dibutuhkan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan sperma bebas virus," tegas Samsuridjal.

Sementara itu, kata dia, jika si calon ibu sudah terinfeksi virus, maka pemberian ARV tetap wajib dilakukan untuk mencegah transmisi virus selama kehamilan. Dalam kandungan, bayi menerima cairan yang berisi nutrisi dari ibu, namun jika jumlah virus di tubuh ibu sangat sedikit, maka penularan sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi.

Proses persalinan juga dapat menularkan virus. Maka, para dokter sepakat untuk melakukan teknik persalinan Caesar untuk meminimalisasi kontak cairan antara bayi dengan ibu.

Setelah itu pun, lanjutnya, ibu tidak menyusui anaknya, karena air susu mungkin juga mengandung virus HIV. Meskipun ada pula yang mengatakan, selama ASI yang diberikan adalah ASI eksklusif, ibu dengan HIV masih bisa menyusui.

"Dengan melakukan cara-cara tersebut, risiko penularan dari orangtua ke anak dari 37 persen bisa ditekan menjadi 2 persen," pungkasnya

Jangan Langsung Salahkan Suami Jika IRT tertular HIV


Data dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) tahun 2013 menyatakan, jumlah ibu rumah tangga (IRT) yang terinfeksi HIV meningkat cukup tajam. Diperkirakan, angkanya melonjak dari 24,3 persen dari total pengidap menjadi 30,1 persen.

Hal tersebut dinilai miris mengingat kesempatan IRT untuk berhubungan dengan orang lain selain suaminya cenderung kecil.  Maka, kemungkinan transmisi virus sebagian besar adalah dari suami mereka.

Untuk diketahui, suami yang bekerja jauh dari rumah atau dikenal dengan istilah mobile man with money merupakan kelompok yang rentan tertular HIV melalui hubungan seks tanpa pengaman yang dilakukan dengan orang yang sudah terinfeksi HIV. Dan ketika di rumah, suami yang terinfeksi melakukan hubungan seks dengan istri sehingga kemudian menularkannya.

Kendati demikian, Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Samsuridjal Djauzi menegaskan untuk tidak hanya "menyalahkan" sang suami sebagai pihak yang menularkannya. Karena bisa jadi, pihak wanita lah yang justru menulari.

"Pengidap HIV bisa hidup bertahun-tahun tanpa ada gejala, jadi bisa saja sebelum menikah, perempuan sudah membawa virus," ujar Samsuridjal di sela-sela acara peluncuran situs interaktif HIV dan AIDS Temanteman.org, Kamis (7/11/2013) di Jakarta.

Transmisi virus yang terjadi sebelum menikah, jelas dia, bisa melalui gaya hidup yang tidak sehat, misalnya penggunaan narkoba suntik atau melakukan hubungan seks tanpa pengaman. Selain itu, transmisi virus juga bisa berasal dari transfusi darah yang tidak melalui proses penampisan yang baik.

Oleh karena itu, Samsuridjal menyarankan agar calon pasangan suami-istri melakukan pemeriksaan HIV sebelum menikah. Hal tersebut guna mencegah penularan antarmereka, serta ke keturunan mereka.

Menurut brand ambassador Temanteman.org sekaligus artis peran Dian Sastrowardoyo, sebelum menikah umumnya orang melakukan pemeriksaan virus seperti rubella, toksoplasma, hingga hepatitis B atau C, namun masih jarang yang melakukan pemeriksaan HIV. Padahal HIV termasuk dalam virus yang bisa menular melalui hubungan seksual dan juga bisa ditularkan secara vertikal dari orangtua ke anak.

"Maka saya rasa, pemeriksaan HIV perlu dilakukan dan seharusnya pemeriksaan itu menjadi hal yang sudah dianggap normal," kata dia.

Disclaimer :

Untuk Hasil Sembuh Fungsional Permanen Umumnya di butuhkan pengobatan selama 3-6 bulan pengobatan. Faktor kondisi tubuh seseorang dan suport keluarga sangat berpengaruh terhadap reaksi kesembuhan. Simpanlah alamat & nomor HP kami 082332222009