“Dan apabila aku sakit. Dialah (Allah) yang menyembuhkanku” (As Syu’araa: 80)
Slide 1 Code Start -->

ODHA dengan Infeksi Oportunis : Dermatitis Kronis dan SGB

Perbaikan yang begitu cepat hanya dalam waktu 1 bulan pengobatan. Alhamdulllah

Control Keberadaan Virus HIV

Sangat penting di lakukan Kontrol VL selama Pengobatan Kami

Rasulullah ï·º
“Setiap penyakit ada obatnya, dan bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah”

Faktor Yang Berpengaruh Hasil CD4

Apa yang mempengaruhi jumlah Sel CD4?
Jumlah sel CD4 bervariasi setiap waktu dan nilainya dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa hal yang berpengaruh pada cd4 adalah:
– CD4 biasanya memiliki kecenderungan rendah di pagi hari dan naik di sore hari.
– infeksi akut seperti pneumonia, flu, herpes akan menurnkan jumlah sel cd4
– setelah di vaksin biasanya jumlah sel cd4 turun
– kemoterapi bisa menurunkan jumlah sel cd4
– kelelahan dan stress bisa juga menurunkan sel cd4.

Oleh sebab itu jika kita melakukan tes cd4 usahakan,
– menggunakan klinik yang sama
– mengambil sampel darah di jam yang hampir sama
– tunggu kondisi tubuh Anda sehat dan bugar

Seberapa sering dokter merekomendasikan tes CD4?
Selama kita menjadi ODHA maka tes CD4 dilakukan pada
– awal kita di vonis
– setelah dua minggu atau delapan minggu setelah masuk terapi ARV
– setiap tiga sampai enam bulan sekali guna melihat perkembangan terapi Anda

Berapa biaya tes cd4?
Biaya tes CD4 bervariasi antara 50 rb-200 rb.

sumber : http://temansehati.web.id/tag/faktor-yang-mempengaruhi-jumlah-cd4/

SISTEM IMUN

Pengertian Sistem Imun
Sistem kekebalan tubuh atau sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker
            Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme.
2.2.  Macam-macam Sistem Pertahanan Tubuh
Sistem kekebalan tubuh manusia dibagi 2, yaitu kekebalan tubuh tidak spesifik dan kekebalan tubuh spesifik.
a.       Sistem kekebalan tubuh non spesifik
Proses pertahanan tubuh non spesifik tahap pertama
Proses pertahanan tahap pertama ini bisa juga diebut kekebalan tubuh alami. Tubuh memberikan perlawanan atau penghalang bagi masuknya patogen/antigen. Kulit menjadi penghalan bagi masuknya patogen karena lapisan luar kulit mengandung keratin dan sedikit air sehingga pertumbuhan mikroorganisme terhambat. Air mata memberikan perlawanan terhadap senyawa asing dengan cara mencuci dan melarutkan mikroorganisme tersebut.
Minyak yang dihasilkan oleh Glandula Sebaceae mempunyai aksi antimikrobial. Mukus atau lendir digunakan untuk memerangkap patogen yang masuk ke dalam hidung atau bronkus dan akan dikeluarkjan oleh paru-paru. Rambut hidung juga memiliki pengaruh karenan bertugas menyaring udara dari partikel-partikel berbahaya.
Semua zat cair yang dihasilkan oleh tubuh (air mata, mukus, saliva) mengandung enzimm yang disebut lisozim. Lisozim adalah enzim yang dapat meng-hidrolisis membran dinding sel bakteri atau patogen lainnya sehingga sel kemudian pecah dan mati. Bila patogen berhasil melewati pertahan tahap pertama, maka pertahanan kedua akan aktif.
Proses pertahanan tubuh non spesifik tahap ke dua
Inflamasi merupakan salah satu proses pertahanan non spesifik, dimana jika ada patogen atau antigen yang masuk ke dalam tubuh dan menyerang suatu sel, maka sel yang rusak itu akan melepaskan signal kimiawi yaitu histamin. Signal kimiawi berdampak pada dilatasi(pelebaran) pembuluh darah dan akhirnya pecah. Sel darah putih jenis neutrofil,acidofil dan monosit keluar dari pembuluh darah akibat gerak yang dipicu oleh senyawa kimia(kemokinesis dan kemotaksis). Karena sifatnya fagosit,sel-sel darah putih ini akan langsung memakan sel-sel asing tersebut.
Peristiwa ini disebut fagositosis karena memakan benda padat, jika yang dimakan adalah benda cair, maka disebut pinositosis. Makrofag atau monosit bekerja membunuh patogen dengan cara menyelubungi patogen tersebut dengan pseudopodianya dan membunuh patogen dengan bantuan lisosom. Pembunuh dengan bantuan lisosom bisa melalui 2 cara yaitu lisosom menghasilkan senyawa racun bagi si patogen atau lisosom menghasilkan enzim lisosomal yang mencerna bagian tubuh mikroba.
Pada bagian tubuh tertentu terdapat makrofag yang tidak berpindah-pindah ke bagian tubuh lain, antara lain : paru-paru(alveolar macrophage), hati(sel-sel Kupffer), ginjal(sel-sel mesangial), otak(sel–sel microgial), jaringan penghubung(histiocyte) dan pada nodus dan spleen. Acidofil/Eosinofil berperan dalam menghadapi parasit-parasit besar. Sel ini akan menempatkan diri pada dinding luar parasit dan melepaskan enzim penghancur dari granul-granul sitoplasma yang dimiliki. Selain leukosit, protein antimikroba juga berperan dalam menghancurkan patogen.
Protein antimikroba yang paling penting dalam darah dan jaringan adalah protein dari sistem komplemen yang berperan penting dalam proses pertahan non spesifik dan spesifik serta interferon. Interferon dihasilkan oleh sel-sel yang terinfeksi oleh virus yang berfungsi menghambat produksi virus pada sel-sel tetangga. Bila patogen berhasil melewati seluruh pertahanan non spesifik, maka patogen tersebut akan segera berhadapan dengan pertahanan spesifik yang diperantarai oleh limfosit.
b.       Sistem kekebalan tubuh spesifik
Pertahanan Spesifik: Imunitas diperantai antibodi Untuk respon imun yang diperantarai antibodi, limfosit B berperan dalam proses ini, dimana limfosit B akan melalui 2 proses yaitu respon imun primer dan respon imun sekunder.Jika sel limfosit B bertemu dengan antigen dan cocok, maka limfosit B membelah secara mitosis dan menghasilkan beberapa sel limfosit B.
Semua Limfosit B segera melepaskan antibodi yang mereka punya dan merangsang sel Mast untuk menghancurkan antigen atau sel yang sudah terserang antigen untuk mengeluarkan histamin. 1 sel limfosit B dibiarkan tetap hidup untuk menyimpan antibodi yang sama sebelum penyerang terjadi. Limfosit B yang tersisa ini disebut limfosit B memori. Inilah proses respon imun primer. Jika suatu saat, antigen yang sama menyerang kembali, Limfosit B dengan cepat menghasilkan lebih banyak sel Limfosit B daripada sebelumnya.
Semuanya melepaskan antibodi dan merangsang sel Mast mengeluarkan histamin untuk membunuh antigen tersebut. Kemudian, 1 limfosit B dibiarkan hidup untuk menyimpan antibodi yang ada dari sebelumnya. Hal ini menyebabkan kenapa respon imun sekunder jauh lebih cepat daripada respon imun primer.
Suatu saat, jika suatu individu lama tidak terkena antigen yang sama dengan yang menyerang sebelumnya, maka bisa saja ia akan sakit yang disebabkan oleh antigen yang sama karena limfosit B yang mengingat antigen tersebut sudah mati. Limfosit B memori biasanya berumur panjang dan tidak memproduksi antibodi kecuali dikenai antigen spesifik. Jika tidak ada antigen yang sama yang menyerang dalam waktu yang sangat lama, maka Limfosit b bisa saja mati, dan individu yang seharusnya bisa resisten terhadap antigen tersebut bisa sakit lagi jika antogen itu menyerang, maka seluruh proses respon imun harus diulang dari awal.
Pertahanan spesifik: Imunitas diperantai Sel
Untuk respon imun yang diperantarai sel, Limfosit yang berperan penting adalah limfosit T.
Jika suatu saat ada patogen yang berhasil masuk dalam tubuh kemudian dimakan oleh suatu sel yang tidak bersalah(biasanya neutrofil), maka patogen itu dicerna dan materialnya ditempel pada permukaan sel yang tidak bersalah tersebut. Materi yang tertempel itu disebut antigen. Respon imun akan dimulai jika kebetulan sel tidak bersalah ini bertemu dengan limfosit T yang sedang berpatroli, yaitu sel tadi mengeluarkan interleukin 1 sehingga limfosit T terangsang untuk mencocokkan antibodi dengan antigennya.
Permukaan Limfosit T memiliki antibodi yang hanya cocok pada salah satu antigen saja. Jadi, jika antibodi dan antigennya cocok, Limfosit T ini, yang disebut Limfosit T pembantu mengetahui bahwa sel ini sudah terkena antigen dan mempunyai 2 pilihan untuk menghancurkan sel tersebut dengan patogennya. Pertama, Limfosit T pembantu akan lepas dari sel yang diserang dan menghasilkan senyawa baru disebut interleukin 2, yang berfungsi untuk mengaktifkan dan memanggil Limfosit T Sitotoksik.
Kemudian, Limfosit T Sitotoksik akan menghasilkan racun yang akan membunuh sel yang terkena penyakit tersebut. Kedua, Limfosit T pembantu bisa saja mengeluarkan senyawa bernama perforin untuk membocorkan sel tersebut sehingga isinya keluar dan mati.
2.3 Fungsi Sistem Imun
Sistem imun memiliki beberapa fungsi bagi tubuh, yaitu sebagai berikut.
1.        Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit;  menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme  atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan  virus, serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh
2.        Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak untuk perbaikan jaringan.
3.        Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal. Sasaran utama: bakteri patogen & virus Leukosit merupakan sel imun utama (disamping sel plasma, makrofag, & sel mast).
4.        Pertahanan Tubuh, yaitu menangkal bahan berbahaya agar tubuh tidak sakit, dan jika sel-sel imun yang bertugas untuk pertahana ini mendapatkan gangguan atau tidak bekerja dengan baik, maka oranmg akan mudah terkena sakit
5.        Keseimbangan, atau fungsi homeostatik artinya menjaga keseimbangan dari komponen tubuh.
6.        Perondaan, sebagian dari sel-sel imun memiliki kemampuna untuk memantau ke seluruh bagian tubuh. Jika ada sel-sel tubuh yang mengalami mutasi maka sel peronda tersebut akan membinasakannya. 
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Sistem Imun
v  Faktor genetik dan fisiologis
            Faktor resiko fisiologis melibatkan fungsi fisik dari tubuh. Kondisi fisik tertentu, seperti kehamilan atau berat badan berlebih akan meningkatkan stres pada sistem fisiologis ( sebagai contoh : sistem sirkulasi darah) sehingga meningkatkan kerentanan terhadap penyakit pada area ini. 
Faktor keturunan, atau presdiposisi genetik terhadap penyakit tertentu merupakan faktor resiko fisik yang penting. Sebagai contoh, seseorang dengan riwayat keluarga diabetes melitus akan berisiko untuk menderita penyakit ini pada hidupnya, faktor resiko genetik lainnya adalah riwayat keluarga dengan penyakit kanker, penyakit jantung, penyakit ginjal, atau penyakit mental.
Getah lambung menyebabkan suatu lingkungan yang kurang menguntungkan untuk sebagian bakteri patogen. Air kemih akan membilas saluran kemih sehingga menurunkan infeksi oleh bakteri. Pada kulitpun dihasilkan zat-zat yang bersifat bakterisida. Darah terdapat sejumlah zat protektif yang bereaksi secara nonspesifik yaitu "natural antibody'' yang tidak bersifat khas untuk bakteri bersangkutan. Faktor humoral lain yaitu properdin dan interferon yang selalu terdapat dan siap untuk.menanggulangi masuknya zat asing.
v  Usia
            Usia meningkatkan atau menurunkan kerentanan terhadap penyakit tertentu. Sebagai contoh seseorang bagi yang lahir secara prematur dan semua bayi baru lahir lebih rentan terhadap infeksi. Resiko penyakit jantung meningkat seiring usia untuk wanita dan pria. Pada usia 45 tahun atau lebih, terdapat resiko yang lebih besar untuk timbulnya kanker.
 Faktor usia sering dihubungkan dengan faktor resiko lainnya,seperti riwayat keluarga dan kebiasaan pribadi. Perawat harus menekankan pentingnya pemeriksaan berkala untuk kelompok usia tertentu. Otoritas di amerika serikat telah memberikan rekombenasi jadwal skrining kesehatan, imunisasi, dan konseling.
Orang-orang yang berada pada kedua ujung rentan usia lebih rentang usia lebih besar kemungkinannya untuk menghadapi masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi sistem imun ketimbang orang-orang yang berusia dibawah rentang tersebut. Frekuensi dan intensitas infeksi akan meningkat pada orang yang berusia lanjut dan peningkatan ini mungkin disebabkan oleh penurunan kemampuan untuk bereaksi secara memadai terhadap mikroorganisme yang menginvasinya. Produksi maupun fungsi limfosit T dan B dapat terganggu. Insidensi penyakit autoimun juga meningkat bersamaan dengan pertambahan usia; hal ini mungkin terjadi akibat penurunan kemampuan antibodi untuk membedakan antara diri sendiri dan bukan diri sendiri. Kegagalan sistem surveilans untuk mengenali sel-sel yang abnormal atau yang mengalami mutasi mungkin bertanggung jawab atas tingginya insidensi penyakit kanker yang berkaitan dengan pertambahan usia.
            Penurunan fungsi berbagai sistem organ yang berkaitan dengan pertambahan usia juga turut menimbulkan gangguan imunitas. Penurunan sekresi serta motilitas lambung memungkinkan flora normal intestinal untuk berproliferasi dan menimbulkan infeksi sehingga terjadi gastroenteritis serta diare.
Penurunan pada sirkulasi renal, fungsi fitrasi, absorpsi dan ekskresi turut menyebabkan infeksi saluran kemih. Lebih lanjut, pembesaran kelenjar prostat dan neurogenic bladder dapat menghambat pengaliran urin serta selanjutnya klirens (pembersihan) bakteri lewat sistem urinarius. Stasis urin yang lazim terjadi pada kaum lanjut usia akan memudahkan pertumbuhan mikroorganisme.
            Pajanan terhadap tembakau dan toksin lingkungan akan mengganggu fungsi paru. Pajanan yang lama terhadap kedua agens ini akan menurunkan elasrisitas jaringan paru, keefektifitas silia dan kemampuan batuk yang efektif. Semua gangguan ini akan menghalangi pengeluaran mikroorganisme yang infeksius dan toksin sehingga kerentanan lansia terhadap penyakit infeksi serta kanker paru semakin meningkat.
            Akhirnya, bersamaan dengan pertambahan usia, kulit akan menjadi tipis dan tidak begitu elastis lagi. Neuropati perifer dan penurunan sensibilitas serta sirkulasi yang menyertainya dapat menimbulkan ulkus statis, dekubitus, ekskoriasi dan gejala luka bakar. Gangguan integritas kulit merupakan faktor predisposisi yang memudahkan orang tua untuk mengalami infeksi oleh mikroorganisme yang merupakan bagian dari flora kulit yang normal.
v  Lingkungan
Tempat dan kondisi lingkungan kita ( udara, air, dan tanah) akan menentukan cara hidup, makanan, agen genetik, keadaan kesehatan, dan kemampuan kita untuk beradaptasi ( murray dan zentner, 2001). Lingkungan fisik tempat seseorang bekerja atau berdiam dapat meningkatkan kecendrungan terjadinya suatu penyakit. Sebagai contoh, beberapa jenis kanker lebih mungkib timbul jika pekerja industri terpajan pada zat kimia tertentu atau jika masyarakat berdiam di dekat lokasi limbah beracun. Penilaian keperawatan meluas dari individu ke keluarga dan kumonitas sekitarnya ( murray dan zentner, 2001)
v  Gaya hidup
Banyak kegiatan, kebiasaan, dan praktik yang melibatkan faktor resiko. Praktik gaya hidup dan tingkah laku dapat memiliki efek positif atau pun efek negatif terhadap kesehatan. Praktik dengan efek yang negatif merupakan faktor resiko. Beberapa kebiasaan merupakan faktor resiko bagi penyakit tertentu.
Sebagai contoh, berjemur di sinar matahari secara berlebihan akan meningkatkan resiko kanker kulit, dan berat badan yang berlebihan akan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Mokdad, et al. (2004) mengidentifikasi faktor resiko tingkah laku yang dimodifikasi sebagai penyebab kematian utama di amerika serikat.
Analisis mereka menunjukkan bahwa walaupun merokok adalah penyebab utama kematian, diet buruk dan kurangnya aktivitas fisik dapat menggantikan posisi ini. Data ini menekankan pentingnya layanan pencegahan. Informasi ini juga memperlihatkan dampak yang besar pada ekonomi dari sistem layanan kesehatan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami dampak tingkah laku gaya hidup terhadap status kesehatan.
v  Stres
Stres merupakan faktor risiko gaya hidup jika ia cukup berat  atau berkepanjangan atau jika individu tersebut tidak dapat mengatasi suatu kejadian hidupnya secara adekuat. Stres mengancam kesehatan mental (stres emosional) dan juga kesejahteraan fisik (stres fisiologis). Keduanya dapat berperan terhadap timbulnya penyakit dan mempengaruhi kemampuan beradaptasi terhadap perubahan yang berkaitan dengan penyakit dan juga kemampuan untuk bertahan dari penyakit yang mengancam jiwa.
 Stres juga mengganggu aktivitas promosi kesehatan dan kemampuan untuk menerapkan modifikasi gaya hidup yang dibutuhkan. Stres juga mengancam kesejahteraan fisik dan dihubungkan dengan penyakit seperti penyakit jantung, kanker, dan kelainan gastrointestinal.
v  Jender
Kemampuan hormon-hormon seks untuk memodulasi imunitas telah diketahui dengan baik. Ada bukti yang menunjukkan bahwa estrogen memodulasi aktivitas limfosit T sementara androgen berfungsi untuk mempertahankan produksi interleukin-2 (IL-2) dan aktivitas sel supresor. Efek hormon seks pada sel-sel B tidak begitu menonjol.
 Estrogen akan mengaktifkan populasi sel B yang berkaitan dengan autoimun yang mengekspresikan marker CD5 (marker antigenik pada sel B). Estrogen cenderung menggalakkan imunitas sementara androgen bersifat imunosupresif. Umumnya penyakit autoimun lebih sering dijumpai pada wanita ketimbang pada laki-laki.
v  Nutrisi
Nutrisi yang adekuat sangat esensial untuk mencapai fungsi sistem imun yang optimal. Gangguan fungsi imun yang disebabkan oleh defisiensi protein-kalori dapat terjadi akibat kekurangan vitamin yang diperlukan untuk sintesis DNA dan protein. Vitamin juga membantu dalam pengaturan proliferasi sel dan maturasi sel-sel imun.
Kelebihan atau kekurangan unsur-unsur renik atau trace element (yaitu, tembaga, besi, mangaan, selenium atau zink) dalam makanan umumnya akan mensupresi fungsi imun. Asam-asam lemak merupakan unsur pembangun (building blocks) yang membentuk komponen struktural membran sel. Lipid merupakan prekursor vitamin A, D, E dan K di samping prekursor kolesterol. Baik kelebihan maupun kekurangan asam lemak ternyata akan mensupresi fungsi imun.
Deplesi simpanan protein tubuh akan mengakibatkan atrofi jaringan limfosit, depresi respon antibodi, penurunan jumlah sel T yang beredar dan gangguan fungsi fagositik. Sebagai akibatnya, kerentanan akibat infeksi sangat meningkat. Selama periode infeksi dan sakit yang serius terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi yang potensial untuk menimbulkan deplesi protein, asam lemak, vitamin, serta unsur-unsur renik dan bahkan menyebabkan resiko terganggunya repon imun serta terjadinya sepsis yang lebih besar.
v  Faktor-faktor psikoneuro-imunologik
Bukti dari hasil observasi klinik dan berbagai penelitian pada manusia serta hewan menunjukkan bahwa respons imun secara parsial di atur dan dimodulasi oleh pengaruh neuroendrokrin (Terr, 1991). Limfosit dan makrofag memilki reseptor yang dapat bereaksi terhadap neorotranmiter serta hormon-hormon endokrin. Limfosit dapat memproduksi dan mensekresikan ACTH serta senyawa-senyawa yang mirip endorfin. Neuron dalam otak, khususnya dalam hipotalamus dapat mengenali prostagladin, interferon dan interleukin disamping histamin dan serotomin yang dilepaskan selama proses inflamasi. Sebagaimana semua sistem biologik lainnya yang berfungsi untuk kepentingan homeostasis, sistem imun di integrasikan dengan berbagai proses psikofisiologik lainnya dan di atur serta dimodulasi oleh otak.
Di lain pihak, proses imun ternyata dapat mempengaruhi fungsi neura dan endokrin, termasuk perilaku. Jadi, interaksi sistem saraf dan sistem imun tampaknya bersifat dua arah. Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa parameter sistem imun yang bisa di ukur dapat dipengaruhi oleh strategi biobehavioral yang melibatkan self-regulation. Contoh strategi ini meliputi teknik-teknik relaksasi serta imajinasi, biofeedback, humor, hipnosis dan kondisioning.
v  Kelainan organ yang lain
Keadaan seperti luka bakar atau bentuk cedera lain, infeksi dan kanker dapat turut mengubah fungsi sistem imun. Luka bakar yang luas atau faktor-faktor lainnya menyebabkan gangguan integritas kulit dan akan mengganggu garis pertama pertahanan tubuh. Hilangnya serum dalam jumlah yang besar dalam luka bakar akan menimbulkan deplesi protein tubuh yang esensial, termasuk imunoglobulin. Stresor fisiologik dan psikologik yang disertai dengan stres karena pembedahan atau cedera akan mebstimulasi pelepasan kortisor dari korteks andrenal; peningkatan kortisolserum juga turut menyebabkan supresi respon imun yang normal.
Keadaan sakit yang kronis dapat turut mengganggu sistem imun melalui sejumlah cara. Kegagalan ginjal berkaitan dengan defisiensi limfosit yang beredar. Disamping itu, fungsi imun untuk pertahanan tubuh dapat berubah karena asidosis dan toksin urenik. Peningkatan insidensi infeksi pada deabetes juga berkaitan dengan insufisiensi vaskuler, neuropati dan pengendalian kadar glukosa darah yang buruk. Infeksi saluran nafas yang rekuren berkaitan dengan penyakit paru obstruktif menahun sebagai akibat dari berubahnya fungsi inspirasi serta ekspirasi dan tidak efektifnya pembersihan saluran nafas.
v  Penyakit kanker
Imunosupresi turut menyebabkan terjadinya penyakit kanker. Namun, penyakit kanker sendiri bersifat imunosupresif. Tumor yang besar dapat melepaskan antigen ke dalam darah; antigen ini akan mengikat antibodi yang beredar dan mencegah antibodi tersebut agar tidak menyebar sel-sel tumor. Lebih lanjut, sel-sel tumor dapat memiliki faktor penghambat yang khusus yang menyalut sel-sel tumor dan mencegah penghancurannya oleh limfost T killer. Dalam stadium awal pertumbuhan tumor, tubuh tidak mampu mengenali antigen tumor sebagi unsur yang asing dan selanjutnya tidak mampu memulai destruksi sel-sel yang malingnan tersebut. Kanker darah seperti Leukimia dan limfoma berkaitan dengan berubahnya produksi serta fungsi sel darah putih dan limfosit.
v  Obat-obatan
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan perubahan yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki pada fungsi sistem imun. Ada empat klasifi
kasi obat utama yang memiliki potensi untuk menyebabkan imunosupresi: antibiotik, kosteroid, obat-obat anti-inflasi non steroid (NSAID:  nonsteroidal antiinflammatory drugs) dan preparatsitotoksit. Penggunaan preparat ini bagi keperluan terapeutik memerlukan upaya untuk mencari keseimbangan yang sangat tipis antara manfaat terapi dan supresi sistem pertahanan tubuh resipien yang berbahaya.
v  Radiasi
Terapi radiasi dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kanker atau pencegahan rejeksi alograft. Radiasi akan menghancurkan limfosik dan menurunkan populasi sel yang diturunkan untuk menggantikannya. Ukuran atau luas daerah yang akan disinari menentukan taraf imunosupresi. Radiasi seluruh tubuh dapat mengakibatkan imonusupensi total pada orang yang menerimanya.
v  Metabolik
Hormon tertentu nyata dapat mempengaruhi respons imun tubuh.  Misalnya: hipoadrenalis dan hipotiroidisme akan mengakibatkan menurunnya daya tahan terhadap inteksi. Orang dengan pengobatan steroid mudah mendapatkan infeksi bakteri maupun virus. Steroid tersebut mempunyai khasiat menghambat fagositasis, produksi antibodi dan menghambat proses radang.
Golongan hormon steroid yaitu hormon kelamin seperti androgen, estrogen dan progesteron.
Diduga merupakan faktor pengubah terhadap respons imun yang tercermin adanya perbedaan jumlah penderita antara laki-laki dan wanita yang mengindap  penyakit imun tertentu.
v  Anatomis
Garis pertahanan pertama dalam menghadapi invasi mikroba biasanya terdapat pada kulit dan selaput lendir yang melapisi permukaan dalam tubuh. Struktur jaringan tsb sebagai imunitas alamiah dengan menyediakan suatu rintangan fisik yang efektif. Kulit lebih efektif daripada selaput lendir. Kerusa­sakan pada permukaan kulit atau selaput lendir, seseorang mudah teriangkit penyakit.
v  Mikrobial
Mikroba yang tidak patogen pada permukaan tubuh baik di luar ataupun di dalam tubuh, akan mempengaruhi sistem imun. Misalnya bakteri tersebut dibutuhkan untuk produksi "natural antibody". Flora yang tumbuh pada tubuh dapat kulit membantu menghambat pertumbuhan kuman patogen. Pengobatan dengan antibiotika dapat mematikan norma flora yang sehingga sebaliknya dapat menyuburkan pertumbuhan bakteri patogen.
Mekanisme pertahanan tubuh
Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan spesifik dan mekanisme pertahanan non spesifik.
1.        Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif 
Imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen. Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat. Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang merupakan ligannya.
Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori imunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang spesifik terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen.
Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cell = makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen.
Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC).
Imunitas selular
Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel pluripotensial yang pada embrio terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum tulang. Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi limfosit T memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.
Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada permukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada permukaan membran ini dinamakan juga petanda permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, artinya cluster of differentiation.  
Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus dan masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T4 dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).
Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan kembali gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang merupakan reseptor antigen dari sel limfosit T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.
Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan limfosit T efektor. Limfosit T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th = CD4) yang akan menolong meningkatkan aktivasi sel imunokompeten lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang akan menekan aktivasi sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi. Sedangkan limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis sel target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td = CD4) yang merekrut sel radang ke tempat antigen berada.
2.        Mekanisme pertahanan non spesifik (disebut juga komponen nonadapti innate atau imunitas alamiah)
Artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu.
Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun alamiah. Yang merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya, lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.
Ø  Permukaan tubuh, mukosa dan kulit
Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan pelbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah.
Ø  Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit
Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa. Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme.
Ø  Komplemen dan makrofag
Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara langsung sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya.
Ø  Protein fase akut
Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan jaringan. Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. C-reactive protein (CRP) merupakan salah satu protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis antigen.
Ø  Sel ‘natural killer’ (NK) dan interferon
Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel tumor. Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan sel yang terinfeksi virus, yang bersifat dapat menghambat replikasi virus di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.

Faktor yang Menyebabkan Sistem Pertahanan Tubuh menjadi Lemah
  1. Makanan yang Kita Makan: Asupan makanan yang buruk dalam waktu yang lama dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh. Makanan dengan bahan kimia tambahan, pestisida, dan pengawet dapat merusak sistem kekebalan tubuh dan dapat menyebabkan berbagai penyakit kronis. Kekurangan nutrisi juga dapat membuat sistem kekebalan tubuh kita lemah.
  2. Konsumsi Gula yang Kelebihan: Gula yang dibicarakan disini adalah gula kristal rafinasi yang merupakan gula hasil pemurnian sehingga tidak lagi mengandung vitamin dan mineral, hanya sukrosa saja. Gula jenis ini banyak diteliti membahayakan bagi kesehatan, dampaknya  adalah mengurangi kemampuan sel darah putih untuk membunuh kuman. Konsumsi yang tinggi akan memberikan efek buruk pada sistem kekebalan tubuh.
  3. Alkohol yang Berlebihan: Minum minuman beralkohol secara berlebihan dapat merusak sistem kekebalan tubuh. Sama seperti gula, terlalu banyak alkohol dapat mengurangi kemampuan sel darah putih untuk membunuh kuman. Dosis alkohol yang tinggi membuat tubuh kekurangan gizi secara keseluruhan, sehingga merusak kekebalan tubuh.
  4. Kurang Tidur: Tidur yang baik sangat penting bagi tubuh kita untuk mengembalikan energi. Tidur membantu untuk membangun kembali sistem kekebalan tubuh. Tanpa tidur yang cukup, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah karena tidak mendapatkan kesempatan untuk membangun kembali.
  5. Stres: Stres menekan fungsi sistem kekebalan tubuh. Stres jangka panjang sangat buruk bagi sistem kekebalan tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa stres kronis menurunkan jumlah sel darah putih.
  6. Dehidrasi: Dehidrasi berarti tubuh kekurangan cairan. Dehidrasi dapat menyebabkan masalah medis. Untuk bekerja, sistem kekebalan tubuh kita membutuhkan jumlah air yang cukup.
  7. Obat: Terlalu sering menggunakan obat yang diresepkan atau non-resep dapat merusak sistem kekebalan tubuh. Obat adalah racun utama yang kita masukkan ke dalam tubuh kita. Bahkan, penggunaan antibiotik dalam jangka panjang dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh.
  8. Eksposur Radiasi: Paparan zat Kimia, sinar UV, dan paparan radiasi, hal-hal tersebut dapat merusak sistem kekebalan tubuh.
  9. Gaya Hidup yang higienis: Kebersihan yang baik sangat penting untuk mempertahankan sistem kekebalan yang kuat. Terlalu banyak terpapar kuman mungkin dapat membuat tubuh menjadi stress karena melewati batas yang bisa dihadapi oleh tubuh. Kehidupan yang higienis adalah cara terbaik untuk menghindari infeksi dan menjaga sistem kekebalan yang kuat.
  10. Tidak Aktif atau Jarang Berolahraga: Olah raga sangat penting untuk menjaga sistem kekebalan tubuh yang baik. Latihan membantu untuk meningkatkan aliran darah yang membantu membersihkan tubuh dari racun tertentu dan produk-produk limbah. Kurang olahraga memperlambat proses ini dan itu menghasilkan sistem kekebalan tubuh yang lemah. Obesitas juga dapat menyebabkan sistem kekebalan tubuh yang lemah.

Infeksi Oportunistis HIV

Apa Infeksi Oportunistik Itu?

Dalam tubuh, kita membawa banyak kumanbakteri, parasit, jamur dan virus. Sistem kekebalan yang sehat mampu mengendalikan kuman ini. Tetapi bila sistem kekebalan dilemahkan oleh penyakit HIV atau obat tertentu, kuman ini mungkin tidak terkendali lagi dan menyebabkan masalah kesehatan.
Infeksi yang mengambil kesempatan dari kelemahan dalam pertahanan kekebalan disebut “oportunistik”. Istilah “infeksi oportunistik” sering kali disingkat menjadi “IO”.
Angka IO sudah menurun secara dramatis sejak tersedia terapi antiretroviral (ART). Namun IO masih menimbulkan masalah, terutama untuk orang yang baru diketahui terinfeksi HIV setelah infeksinya lebih lanjut. Banyak orang masih dirawat inap di rumah sakit dengan IO yang berat. Akibat ini, mereka dites HIV, dan baru diketahui terinfeksinya.

Tes untuk IO

Kita dapat terinfeksi IO, dan “dites positif” untuk IO tersebut, walaupun IO tersebut belum menimbulkan penyakit. Misalnya, hampir setiap orang dengan HIV jika dites untuk virus sitomegalia (cytomegalovirus atau CMV) ternyata positif. Tetapi penyakit CMV sangat jarang berkembang kecuali bila jumlah CD4 turun di bawah 50, yang merupakan tanda kerusakan berat terhadap sistem kekebalan.
Untuk menentukan apakah kita terinfeksi IO, darah kita dapat dites untuk antigen (potongan kuman penyebab IO) atau untuk antibodi (protein yang dibuat oleh sistem kekebalan untuk memerangi antigen). Ditemukan antigen berarti kita terinfeksi. Ditemukan antibodi berarti kita pernah terpajan pada infeksi. Kita mungkin diberikan imunisasi atau vaksinasi terhadap infeksi tersebut, atau sistem kekebalan mungkin “memberantas” infeksi dari tubuh kita, atau pun kita mungkin tetap terinfeksi. Jika kita terinfeksi kuman penyebab IO, dan jika jumlah CD4 kita cukup rendah sehingga memungkinkan IO berkembang, dokter kita akan mencari tanda penyakit aktif. Tanda ini tergantung pada IO.

IO dan AIDS

Orang yang tidak terinfeksi HIV dapat mengembangkan IO jika sistem kekebalannya rusak. Misalnya, banyak obat yang dipakai untuk mengobati kanker menekan sistem kekebalan. Beberapa orang yang menjalani pengobatan kanker dapat mengembangkan IO.
HIV melemahkan sistem kekebalan, sehingga IO dapat berkembang. Jika kita terinfeksi HIV dan mengalami IO, kita mungkin AIDS.
Di Indonesia, Kemenkes bertanggung jawab untuk memutuskan siapa yang AIDS. Kemenkes mengembangkan pedoman untuk menentukan IO yang mana mendefinisikan AIDS. Jika kita HIV, dan mengalami satu atau lebih IO “resmi” ini, maka kita dianggap AIDS.

IO Mana yang Paling Umum?

Pada tahun-tahun pertama epidemi AIDS, IO menyebabkan banyak kesakitan dan kematian. Namun, setelah orang mulai memakai ART, penyakit akibat IO dialami oleh jauh lebih sedikit orang. Tidak jelas berapa banyak orang dengan HIV akan jatuh sakit dengan IO tertentu.
Pada perempuan, penyakit pada vagina dapat menjadi tanda awal infeksi HIV. Masalah ini, antara lain, termasuk penyakit radang panggul dan vaginosis bakteri.
Berikut tercantum IO yang paling umum, berbarengan dengan penyakit yang biasa disebabkannya, dan jumlah CD4 waktu penyakit menjadi aktif:
  • Kandidiasis adalah infeksi jamur pada mulut, tenggorokan, atau vagina. Rentang CD4: dapat terjadi bahkan dengan CD4 yang agak tinggi. 
  • Virus sitomegalia (CMV) adalah infeksi virus yang menyebabkan penyakit mata yang dapat menimbulkan kebutaan. Rentang CD4: di bawah 50. 
  • Dua macam virus herpes simpleks dapat menyebabkan herpes pada mulut atau kelamin. Ini adalah infeksi yang agak umum, tetapi jika kita terinfeksi HIV, perjangkitannya dapat jauh lebih sering dan lebih berat. Penyakit ini dapat terjadi pada jumlah CD4 berapa pun.
  • Malaria adalah umum di beberapa daerah di Indonesia. Penyakit ini lebih umum dan lebih berat pada orang terinfeksi HIV.
  • Mycobacterium avium complex (MAC) adalah infeksi bakteri yang dapat menyebabkan demam berulang, seluruh badan terasa tidak enak, masalah pencernaan, dan kehilangan berat badan yang berlebihan. Rentang CD4: di bawah 50..
  • Pneumonia pneumocystis(PCP) adalah infeksi jamur yang dapat menyebabkan pneumonia (radang paru) yang gawat. Rentang CD4: di bawah 200. . Sayangnya PCP tetap menjadi IO yang agak umum pada orang yang belum diketahui HIV, atau Odha yang belum mulai ART.
  • Toksoplasmosis (tokso) adalah infeksi protozoa yang menyerang otak. Rentang CD4: di bawah 100. 
  • Tuberkulosis (TB) adalah infeksi bakteri yang menyerang paru, dan dapat menyebabkan meningitis (radang pada sistem saraf pusat). Rentang CD4: TB dapat menimbulkan penyakit dengan jumlah CD4 berapa pun. 

HUBUNGAN PENGOBATAN ALTERNATIF DAN PENGOBATAN MEDIS ODHA

Mohammad Kurniawan

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pihak medis atau dokter mampu menyelamatkan lebih dari 3 juta nyawa di dunia pada tahun 2025 jika menawarkan obat AIDS kepada pengidap HIV lebih cepat, segera setelah mereka diketahui positif mengidap virus mematikan itu. Hal ini tentu memberikan harapan yang lebih nyata terhadap pengobatan HIV/AIDS dari pada pengobatan alternatif yang banyak ditawarkan kepada masyarakat di Indonesia oleh pihak tertentu. Namun patut disayangkan pengobatan alternatif tersebut masih menggunakan sebuah metode yang tanpa didasari penelitian mengenai efektifitas terhadap penyembuhan pada penderita HIV/AIDS atau bisa kita sebut ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) terlebih dahulu. Bisa dibayangkan jika itu terjadi maka selain membuang-buang waktu dan biaya dengan sesuatu yang tidak bisa dipercaya tanpa didasari dengan penelitian juga dapat membahayakan nyawa dari penderita karena penanganan yang tidak tepat.


Satu-satunya obat yang saat ini dipercaya sebagai obat dari HIV/AIDS adalah Obat antiretroviral (ARV) yang telah dikenal luas sebagai obat yang dapat menghambat perkembangan penyakit HIV/AIDS. Obat ini memang tidak menyembuhkan, tetapi setidaknya dapat memperpanjang harapan hidup penderita dan tetap bisa beraktivitas normalnya tanpa digerogoti kondisi sakitnya. Di Indonesia kita kenal 2 jenis regimen terapi ARV yang sering kita kenal dengan Terapi Lini Pertama dan terapi Lini Dua. Standar dalam menjalani pengobatan setidaknya menggunakan 3 jenis obat dari 2 golongan obat yang berbeda, Pengobatan dengan menggunakan 3 jenis obat sering sekali disebut dengan HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy). Tujuan dari pengobatan ini adalah untuk menekan replikasi HIV dalam tubuh manusia. ARV sangat efektif untuk menekan angka kematian dan kesakitan pada orang dengan HIV sehingga dengan mengkonsumsi ARV dengan benar maka dapat meningkatkan kualitas hidup Orang dengan HIV. ARV di Indonesia sudah ada sejak tahun 2006. Obat-obatan antiretroviral ini mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga ODHA tidak perlu membayar untuk mendapatkannya. Obat ini sendiri sejak tahun 2006 telah mampu diproduksi di dalam negeri dalam bentuk generik. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa jenis obat ARV yang telah mampu diproduksi di dalam negeri masih sangat terbatas dan untuk beberapa jenis lainnya masih dimport. Hasil dari program obat ARV bersubsidi ini adadalah menurunya angka kematian akibat HIV di Indoenesia. Jika semula angka kematian di Indonesia dapat mencapai 42 persen, maka belakangan angka kematian akibat HIV dapat ditekan menjadi di bawah 5 persen. Angka kematian ini masih dapat ditekan lagi sekiranya HIV ditemukan lebih dini dan ODHA cepat mengkonsumi ARV. Beberapa terapi pendukung lainnya yang memang penting dalam membantu meningkatkan derajat kesehatan ODHA khususnya adalah suplemen-suplemen yang bertujuan meningkatkan kekebalan tubuh manusia. 


Saat ini penelitian mengenai obat yang benar-benar dapat menyembuhkan ODHA telah banyak dilakukan diberbagai penjuru dunia tidak terkecuali di Indonesia. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berjalan dengan pesat membuat penelitian untuk pengobatan HIV/AIDS semakin beragam, bahkan banyak yang sudah mengklaim telah menemukan obat untuk penyakit ini. Salah satu contoh penelitian yang ada di Indonesia adalah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Perlebahan Lembaga Penyakit Tropis Universitas Airlangga (LPT Unair), Surabaya yang melakukan uji klinis dengan menggabungkan terapi propolis atau air liur dan racun lebah dilakukan secara simultan dengan ARV. Rusia oleh Ilmuwan dari Vector Institute, Novosibirsk, Rusia, juga mengklaim telah menemukan pengobatan potensial untuk HIV/AIDS (human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency syndrome). Pengobatan ini ada pada jamur yang disebut Chaga. Dalam riset yang dilakukan, para ilmuwan memilih 82 jenis dari 33 tipe jamur yang tumbuh di barat daya Siberia. Hasilnya, jamur Chaga menunjukkan spektrum paling luas sebagai antiretroviral. Denmark, Amerika, dan Nigeria masing-masing juga telah mengklaim telah menemukan titik terang mengenai obat yang bisa digunakan untuk pengobatan penyakit HIV/AIDS hingga benar-benar sembuh. Jika klaim yang para peneliti sebutkan tersebut nyata dan berhasil maka akan menjadi sebuah pencapaian besar dalam penanggulangan wabah penyakit ini. 


Dunia pengobatan alternatif HIV/AIDS yang ada di Indonesia juga tidak kalah dengan pencapaian dunia medis dan boleh dibilang cukup berani menjanjikan kesembuhan bagi para penderita penyakit ini. Mengingat untuk para ilmuan yang ahli dan menggunakan teknologi canggih saja masih dipertanyakan dan perlu pembuktian mengenai efektifitas temuanya. Menjadi sebuah tanda tanya karena pengobatan alternatif yang selama ini beredar di Indonesia sudah berani menjanjikan kesembuhan bagi ODHA. Boleh percaya atau tidak, Namun perlu diingat bahwa jika ingin melakukan pengobatan alternatif harus dengan pertimbangan yang cukup, dan jangan hanya memperhatikan aspek karena sudah bosan dalam menjalani pengobatan menggunakan ARV dan tergiur janji akan kesembuhan yang ditawarkan dengan segera, namun keamanan dan metode penyembuhan juga harus kita perhatikan. Satu cara yang lebih bijak adalah dengan mengkonsultasikan rencana ini dengan dokter terlebih dahulu. Pengobatan alternatif umumnya adalah dengan metode pengobatan herbal, dari segi efek samping umumnya memang akan menimbulkan efek yang lebih aman dari pada pengobatan dengan menggunakan ARV seperti yang diresepkan oleh dokter. Tapi dalam kasus terharap ODHA akan riskan jika saat dalam pengobatan secara medis kemudian secara sepihak beralih menuju pengobatan alternatif tanpa sepengetahuan dokter yang menangani dan berhenti mengkonsumsi ARV, maka justru akan sangat membahayakan ODHA. Tanpa mengonsumsi ARV, semua ODHA cepat atau lambat akan memburuk kesehatannya dan kemungkinan terburuknya adalah meninggal. Atau jika ODHA yang ingin mengganti sementara waktu pengobatan dengan ARV ke obat-obat herbal juga berbahaya karena beresiko menimbulkan efek resistensi atau pengebalan ARV terhadap virus HIV untuk pemakaian selanjutnya. Artinya, tindakan beralih dari pengobatan medis ke pengobatan tradisional hanya akan membahayakan ODHA, sebab manfaat ARV adalah penting karena dapat menjaga kesehatan, dan memperbaiki kualitas hidup ODHA, namun memang ada efek samping yang akan dirasakan tetapi bisa ditanggulangi dengan baik. 


Bahan obat-obatan yang digunakan dalam pengobatan alternatif yang selama ini banyak diketahui salah satunya adalah bersumber dari hewan tokek. Sebuah tim yang diketuai Prof. Wang dari Universitas Henan, Cina (2008), menunjukkan bahwa zat aktif tokek tidak hanya meningkatkan respons sistem kekebalan tubuh dari suatu organisme, tetapi juga menginduksi sel-sel tumor. Namun untuk pengobatan HIV/AIDS, sampai saat ini belum ada riset untuk membuktikan efektifitasnya. Bagaimana mengenai buah manggis yang dikenal memiliki antioksidan paling tinggi dari buah yang lain, atau buah merah atau mahkota dewa yang terkenal sangat berkhasiat untuk mengobati berbagai macam penyakit? Jawabanya adalah sama saja, karena ARV memang harus terus dilanjutkan Untuk terapi pengobatan HIV/AIDS. Belum ada yang dapat membuktikan secara klinis efek dari obat-obat tersebut yang diklaim dapat digunakan untuk penyembuhan penyakit HIV/AIDS. Posisi yang lebih tepat untuk pengobatan alternatif menggunakan herbal adalah pengobatan tambahan (suportif), Artinya, ARV wajib terus dikonsumsi jangka panjang dan boleh ditambah obat alternatif sebagai suplemen untuk membantu menjaga dan meningkatkan kesehatan ODHA. 


Kondisi yang menyebabkan ODHA ingin beralih dari pengobatan medis ke alternative bisa disebabkan karena ODHA bosan sudah sekian lama meminum ARV beserta efek samping yang ditimbulkan namun tak kunjung sembuh. Untuk efek samping tentu sudah disiapkan antisipasinya oleh dokter dengan menambahkan beberapa obat lain seperti obat pusing, mual atau vitamin. Namun untuk menghadapi bosan karena sudah begitu lama mengkonsumsi ARV adalah masalah yang terlihat sepele namun bisa mengakibatkan sesuatu yang serius. Tips Untuk ODHA dan keluarga atau kerabat ODHA agar tidak bosan atau jenuh mengkonsumsi ARV adalah sebagai berikut : 
  • Untuk keluarga dan kerabat agar selalu memberikan motivasi dan semangat secara berkala dan tak kenal bosan, karena dukungan dan perhatian dari keluarga atau kerabat akan sangat bermanfaat bagi psikis ODHA dalam keaseharianya dan selanjutnya agar mereka tidak merasa dikucilkan.
  • Untuk keluarga dan kerabat cobalah sekali waktu mengajaknya untuk melakukan kegiatan-kegiatan bermanfaat seperti kegiatan amal mengenai penyakit HIV/AIDS agar menumbuhkan motivasi dan perasaan lebih baik yang selanjutnya akan memicu semangat untuk bisa sembuh dan membantu orang lain yang memiliki keluhan yang sama agar tak patah semangat. Tentu dengan melihat kondisi ODHA bersangkutan.
  • Untuk ODHA, Tetap jalani hidup dengan bahagia. menderita salah satu penyakit yang paling mematikan didunia memang tidak akan menyenangkan bagi siapapun, tapi cobalah untuk berbahagia, pikirkan mengenai hikmah dan sesuatu untuk direnungkan tentang apa yang sedang berjalan sekarang, bersyukurlah walau mungkin ada perasaan kecewa. perlu diingat bahwa penderita ODHA diseluruh dunia merasakan hal yang sama, bahkan ada yang lebih buruk, jangan sia-siakan hidup, selama masih bernafas akan ada banyak kesempatan dan kebahagiaan yang bisa diraih.
Dari uraian diatas bisa disimpulkan pengguaan ARV dapat digunakan bersamaan dengan media pengobatan alternatif berupa obat-obatan herbal maka dengan demikian peluang untuk meningkatkan dan memelihara derajat dan kualitas hidup ODHA akan lebih besar. Kemudian mengingat obat yang pasti dapat menyingkirkan atau membunuh Virus HIV masih dalam tahap wacana sudah ditemukan maka tindakan terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan melaksanakan prosedur yang sudah ada yaitu dengan mengkonsumsi ARV untuk mencegah penyebarluasan virus HIV dalam tubuh. Pengobatan alternatif sepenuhnya belum bisa dipercaya sebagai pengobatan yang bisa menyembuhkan ODHA. Karena belum ada penelitian mengenai efektifitas metode yang dilakukan, pengobatan alternatif berupa penggunaan obat-obat herbal hanya bersifat terapi tambahan. Penaganan ODHA akan lebih baik jika dilaksanakan dengan cepat setelah diketahui sudah terinfeksi virus HIV, karena akan secepatnya di terapi menggunakan obat-obatan retroviral untuk menekan pertumbuhan virus HIV. Bagi ODHA dan keluarga atau kerabat ODHA memberikan semangat dan dorongan moral akan berperan banyak dalam upaya pegobatan HIV/AIDS.

Komentar Tabib Masrukhi : 
Hubungan itu ada benarnya, namun alternatif tergantung metode dan bahan herbal yang di gunakan agar penyakit HIV benar benar sembuh.Tidak asal meningkatkan stamina tubuh jika pengobatan alternatif hanya untuk meningkatkan daya tahan tubuh tentu tidak perlu biaya mahal. anda bisa mendapatkan dengan meniran / sambiloto dll tidak perlu mahal. karena itu odha pandai pandailah memilih memilah pengobatan alternatif.


Daftar pustaka :


  1. Anonym. (2013) khasiat tokek untuk kesehatan. Available from: http://www.tipscaraterbaik.com/khasiat-tokek-untuk-kesehatan.html, accessed 10 November 2013.
  2. Anonym. (2013) panduan baru dalam pengobatan HIV. Available from: http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2013/06/130630_aids_acuan_baru_kesehatan.shtml. accessed 10 November 2013.
  3. Anonym.(2012) Terapi ARV Lini 1 dan 2, available from: http://www.odhaberhaksehat.org/2012/terapi-arv-lini-1-dan-2/, accessed 10 november 2013.
  4. Anonym. (2013) Unair Temukan Obat HIV/AIDS dari Air Liur dan Racun Lebah. available from: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/05/28/mni5yb-unair-temukan-obat-hivaids-dari-air-liur-dan-racun-lebah, accessed 10 November 2013.
  5. Bararah, V.F. (2012) 3 Orang Penderita HIV AIDS Bisa Sembuh, available at http://health.detik.com/read/2012/08/03/161839/1982694/763/3-orang-penderita-hiv-aids-bisa-sembuh, accessed 10 November 2013.
  6. Djauzi.s.(2013) obat herbal untuk hiv?. available at http://sains.kompas.com/read/2013/02/24/05063919/Obat.Herbal.untuk.HIV., accessed 10 November 2013
  7. Sartika.K. (2013) Obat HIV/AIDS telah ditemukan?. Available from: http://www.tabloidbintang.com/extra/fenomena/66873-obat-hiv-aids-telah-ditemukan.html, accessed 10 November

Arti Tes CD4


Apa Sel CD4 Itu? 

Sel CD4 adalah jenis sel darah putih atau limfosit. Sel tersebut adalah bagian yang penting dari sistem kekebalan tubuh kita. Sel CD4 kadang kala disebut sebagai sel-T. Ada dua macam sel-T. Sel T-4, yang juga disebut CD4 dan kadang kala sel CD4+, adalah sel ‘pembantu’. Sel T-8 (CD8) adalah sel ‘penekan’, yang mengakhiri tanggapan kekebalan. Sel CD8 juga disebut sebagai sel ‘pembunuh’, karena sel tersebut membunuh sel kanker atau sel yang terinfeksi virus.
Sel CD4 dapat dibedakan dari sel CD8 berdasarkan protein tertentu yang ada di permukaan sel. Sel CD4 adalah sel-T yang mempunyai protein CD4 pada permukaannya. Protein itu bekerja sebagai ‘reseptor’ untuk HIV. HIV mengikat pada reseptor CD4 itu seperti kunci dengan gembok.

Mengapa Sel CD4 Penting Sehubungan dengan HIV?

HIV umumnya menulari sel CD4. Kode genetik HIV menjadi bagian dari sel itu. Waktu sel CD4 menggandakan diri (bereplikasi) untuk melawan infeksi apa pun, sel tersebut juga membuat tiruan HIV.
Setelah kita terinfeksi HIV dan belum mulai terapi antiretroviral (ART), jumlah sel CD4 kita semakin menurun. Ini tanda bahwa sistem kekebalan tubuh kita semakin rusak. Semakin rendah jumlah CD4, semakin mungkin kita akan jatuh sakit.
Ada jutaan keluarga sel CD4. Setiap keluarga dirancang khusus untuk melawan kuman tertentu. Waktu HIV mengurangi jumlah sel CD4, beberapa keluarga dapat diberantas. Kalau itu terjadi, kita kehilangan kemampuan untuk melawan kuman yang seharusnya dihadapi oleh keluarga tersebut. Jika ini terjadi, kita mungkin mengalami infeksi oportunistik

Apa Tes CD4 Itu?

Contoh kecil darah kita diambil. Darah ini dites untuk menghitung beberapa tipe sel. Jumlah sel CD4 tidak langsung diukur. Malahan, laboratorium membuat hitungan berdasarkan jumlah sel darah putih, dan proporsi sel tersebut yang CD4. Oleh karena itu, jumlah CD4 yang dilaporkan oleh tes CD4 tidak persis.
Karena jumlah CD4 penting untuk menunjukkan kekuatan sistem kekebalan tubuh, diusulkan kita melakukan tes CD4 setiap 3-6 bulan. Namun setelah kita mulai ART dan jumlah CD4 kita sudah kembali normal, tes CD4 dapat dilakukan setiap 9-12 bulan.

Faktor Apa yang Berpengaruh pada Jumlah CD4?

Hasil tes dapat berubah-ubah, tergantung pada jam berapa contoh darah diambil, kelelahan, dan stres. Sebaiknya contoh darah kita diambil pada jam yang sama setiap kali dites CD4, dan juga selalu memakai laboratorium yang sama.
Infeksi lain dapat sangat berpengaruh pada jumlah CD4. Jika tubuh kita menyerang infeksi, jumlah sel darah putih (limfosit) naik. Jumlah CD4 juga naik. Vaksinasi dapat berdampak serupa. Kalau akan melakukan tes CD4, sebaiknya kita menunggu dua minggu setelah pulih dari infeksi atau setelah vaksinasi.

Bagaimana Hasil Tes CD4 Dilaporkan?

Hasil tes CD4 biasanya dilaporkan sebagai jumlah sel CD4 yang ada dalam satu milimeter kubik darah (biasanya ditulis mm3). Jumlah CD4 yang normal biasanya berkisar antara 500 dan 1.600.
Karena jumlah CD4 begitu berubah-ubah, kadang lebih cocok kita lihat persentase sel CD4. Jika hasil tes melaporkan CD4% = 34%, ini berarti 34% limfosit kita adalah sel CD4. Persentase ini lebih stabil dibandingkan jumlah sel CD4 mutlak. Angka normal berkisar antara 30-60%. Setiap laboratorium mempunyai kisaran yang berbeda. Belum ada pedoman untuk keputusan pengobatan berdasarkan CD4%, kecuali untuk anak berusia di bawah lima tahun.
Jumlah CD4 mutlak di bawah 200 menunjukkan kerusakan yang berat pada sistem kekebalan tubuh. Walau CD4% mungkin lebih baik meramalkan perkembangan penyakit HIV dibandingkan CD4 mutlak, jumlah CD4 mutlak tetap dipakai untuk menentukan kapan ART sebaiknya dimulai.
Kadang kita juga diusulkan untuk melakukan tes CD8. Namun sama sekali tidak jelas bagaimana hasil tes CD8 dapat ditafsirkan. Oleh karena itu, tidak ada manfaat mengeluarkan biaya untuk tes CD8.

Apa Artinya Angka Ini?

Jumlah CD4 adalah ukuran kunci kesehatan sistem kekebalan tubuh. Semakin rendah jumlahnya, semakin besar kerusakan yang diakibatkan HIV. Jika kita mempunyai jumlah CD4 di bawah 200, atau persentase CD4 di bawah 14%, kita dianggap AIDS, berdasarkan definisi Kemenkes.
Jumlah CD4 dipakai bersama dengan viral load untuk meramalkan berapa lama kita akan tetap sehat.  untuk informasi lebih lanjut tentang tes viral load.
Jumlah CD4 juga dipakai untuk menunjukkan kapan beberapa macam pengobatan termasuk ART sebaiknya dimulai.
Kapan mulai pengobatan untuk mencegah infeksi oportunistik: Sebagian besar dokter meresepkan obat untuk mencegah infeksi oportunistik pada jumlah CD4 yang berikut:
  • Di bawah 200: PCP
  • Di bawah 100: toksoplasmosis dan meningitis kriptokokus
  • Di bawah 50: MAC
Memantau keberhasilan ART: Umumnya jumlah CD4 akan mulai naik segera setelah kita mulai ART. Namun kecepatan sangat beragam, dan kadang pelan. Bila jumlah CD4 di bawah 50 waktu kita mulai ART, jumlah CD4 kita mungkin tidak akan meningkat menjadi normal (di atas 500). Yang penting jumlah naik; kita sebaiknya tidak terlalu berfokus pada angka. Sebaliknya, bila jumlah CD4 mulai menurun lagi setelah naik, mungkin itu adalah tanda bahwa ART kita mulai gagal, dan mungkin rejimen harus diganti.
Jumlah CD4 yang lebih tinggi adalah lebih baik. Namun, jumlah CD4 yang normal tidak tentu berarti sistem kekebalan tubuh benar-benar pulih.

sumber : spiritia.or.id

Banyak Kondisi Non-AIDS yang Bisa Menyebabkan CD4 Rendah


  1. Test CD4 digunakan sebagai tolak ukur kesehatan Odha. Makin rendah CD4 Odha, makin parahlah kondisi kesehatannya.
  2. Hasil Test CD4 rendah HANYA ada pada kasus HIV/AIDS, bukan di kasus penyakit/kondisi kesehatan lainnya.
Dalam artikel ini, saya akan membuka rahasia besar bahwa sudah ada penelitian-penelitian yang mengungkapkan fakta:
  1. Hasil Test CD4 rendah JUGA ADA pada kasus serangan jantung, pneumonia, olahraga berlebih, luka, depresi, malaria, TBC, narkoba, kehamilan, malnutrisi, isolasi sosial, dan sebagainya.
  2. Mereka yang diteliti (dengan hasil CD4 rendah) adalah orang-orang HIV-negatif.
Saya berikut contoh beberapa hasil penelitian-penelitian tersebut:
Jumlah CD4 Rendah di Ruang ICU
Di tahun 1995, Feeney dan kawan-kawan menguji jumlah CD4 pada 102 pasien di ruang ICU, dimana semuanya adalah HIV negatif. Pasien-pasien menderita 34 penyakit yang berbeda-beda, dimana yang paling umum adalah serangan jantung, pendarahan yang parah, gagal ginjal, trauma, dan penyakit paru kronis. 30% dari mereka memiliki jumlah CD4 kurang dari 300 dan 41% memiliki CD4 kurang dari 400.
Dalam studi ini ditemukan hasil yang sama pada rasio CD4/CD8, yang memberikan fakta bahwa perhitungan rasio CD4/CD8 ternyata TIDAK HANYA ada pada kasus HIV/AIDS, tapi juga ada pada kasus penyakit UMUM.
.
Jumlah CD4 Rendah pada Kasus Pneumonia, Pielonefritis, Abses, Luka Terinfeksi, Selulitis, dan Sepsis
Pada tahun 1983, sekitar satu tahun sebelum HIV pertama kali disebutkan sebagai kemungkinan penyebab AIDS, Williams dan kawan-kawan menerbitkan sebuah studi yang menunjukkan sangat kurangnya jumlah CD4 pada 146 orang dengan infeksi akut serius yang dirawat di rumah sakit mereka di New Mexico. Infeksi termasuk pneumonia, pielonefritis akut, abses, luka yang terinfeksi, selulitis, infeksi jaringan dalam, dan sepsis.
Para penulis hanya menyediakan jumlah CD4 rata-rata untuk sebagian besar pasien, kecuali untuk grafik yang memplot jumlah CD4 untuk semua 45 pasien pneumonia. Penelitian ini mengungkapkan bahwa 31 dari 45 (69%) memiliki jumlah CD4 kurang dari 500 sel/mm3, 19 dari 45 (42%) memiliki jumlah di bawah 300, 13 dari 45 (29%) memiliki jumlah di bawah 200, 6 dari 45 (13% ) memiliki 100 atau kurang, dan 2 dari 45 (4%) memiliki kurang dari 50 nilai. CD4 rata-rata untuk semua penderita pneumonia adalah 574.
.
Jumlah CD4 Rendah pada Kasus Malaria
Malaria disebabkan oleh parasit dari spesies plasmodium, dan sangat umum di Afrika dan di daerah tropis. Pada tahun 1999 diterbitkan surat mendokumentasikan turunnya jumlah CD4 pada pasien Afrika dengan malaria (Chirenda 1999). Penulis memeriksa jumlah CD4 pada 78 pasien dengan malaria yang HIV-positif, dan 19 yang HIV-negatif. Dia terkejut menemukan bahwa kasus malaria pada HIV-negatif lebih banyak memiliki jumlah CD4 sangat rendah dibanding pada kasus HIV-positif, rata-rata, dengan 8 dari 19 (42%) kasus HIV-negatif yang di bawah 200, sementara hanya 31 dari 78 (40%) kasus HIV-positif memiliki jumlah CD4 di bawah 200. Tujuh HIV-negatif kasus malaria memiliki jumlah CD4 di bawah 100. Selain itu, 6 pasien HIV-positif memiliki jumlah CD4 yang normal.
.
Jumlah CD4 Rendah pada Kasus Kehamilan Normal
Beberapa studi telah dipublikasikan mengenai jumlah CD4 selama kehamilan normal. Baru-baru ini, Burns dan kawan-kawan menerbitkan sebuah studi pada tahun 1996, di mana mereka berusaha untuk mengendalikan faktor pembaur seperti peningkatan volume darah yang biasanya terjadi pada kehamilan.
Mereka menggunakan persentase CD4 dan mendapati bahwa sel CD4 temuan mereka untuk wanita HIV-negatif ternyata konsisten dengan mayoritas penelitian sebelumnya, yang menunjukkan penurunan jumlah CD4 selama kehamilan normal (Burns et al. 1996, halaman 1465 ).

Mereka juga menemukan bahwa wanita HIV-positif mengalami penurunan lebih parah dalam perhitungan pasca-melahirkan dibandingkan dengan wanita HIV-negatif, meskipun mereka gagal untuk mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan menurunkan jumlah CD4. Ini termasuk setiap infeksi bahwa wanita mungkin pernah mengalami, efek traumatis dari operasi Cesar yang biasanya dilakukan pada wanita HIV-positif untuk mencegah penularan neonatal, atau stres psikologis berpotensi parah yang mengkhawatirkan jika bayi mereka juga akan HIV-positif, yang dapat berlangsung hingga 18 bulan

Pada tahun 1989 sebuah studi yang diterbitkan mengenai kehamilan normal, ditemukan adanya pengurangan persentase CD4 pada trimester 1 dan trimester 2, serta pengurangan rasio CD4/CD8 pada trimester 2 (Castilla et al, 1989.).

Para penulis pada studi sebelumnya melihat berbagai perubahan limfosit selama kehamilan dan menyatakan, “Dalam studi ini, variasi dalam jumlah dan proporsi CD4 + limfosit adalah perubahan yang paling sering dilaporkan (Castilla et al, 1989, halaman 104).” Persentase CD8 limfosit + ditemukan tidak berubah. Mereka juga mengklaim bahwa, “kami telah memperhitungkan semua faktor yang diketahui saat ini dapat mengubah konsentrasi subset T-sel dalam darah”(Castilla et al. 1989, halaman 104), namun pada kenyataannya mereka tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang dijelaskan dalam makalah ini, seperti infeksi, trauma, olahraga berlebih, variasi normal sehari-hari, atau stres psikologis. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dokter dan peneliti melakukan penelitian yang berfokus khusus pada tingkat CD4 sering tidak menyadari berapa banyak kondisi yang berbeda menyebabkan rendahnya jumlah CD4.

Ada satu studi terakhir yang perlu dipertimbangkan lagi (Sridama et al. 1982). Para peneliti ini menemukan berkurangnya jumlah CD4 mutlak, serta berkurangnya persentase CD4 + T-sel dalam 76 wanita dengan kehamilan normal. Pada trimester ketiga, wanita hamil memiliki rata-rata hanya 543 + 169 CD4 + T-sel, dibandingkan dengan 1073 + 441 pada wanita tidak hamil. Kedua angka mutlak dan persentase tetap rendah sampai beberapa bulan pasca-melahirkan, dan hasil yang sama diperoleh untuk rasio CD4/CD8 yang juga berkurang.

B-sel ditemukan meningkat yang berarti sesuai dengan peningkatan kadar antibodi yang biasanya ditemukan dalam kehamilan manusia, dan yang juga sering terlihat pada orang yang didiagnosis HIV-positif. Ini adalah satu-satunya studi pada kehamilan normal yang menyediakan data tentang jumlah CD4 mutlak, dan rata-rata 543, dengan standar deviasi dari 169, yang berarti adanya persentase besar dari wanita-wanita ini yang memiliki tingkat lebih rendah dari 500, titik di mana obat antiretroviral akan dimulai pada seseorang yang didiagnosis HIV-positif.

Masih Banyak Lagi Faktor Non-HIV/AIDS yang Bisa Mengurangi Jumlah CD4
Ya, benar. Masih ada banyak faktor non-HIV/AIDS yang bisa menyebabkan CD4 kita turun, dan ini tidak hanya terjadi pada para Odha, tapi juga non-Odha. Apa yang saya beberkan di atas adalah kutipan dari jurnal medis The British Medical Journal Online, September 2003, berjudul: “Low CD4 Counts: A Variety of Causes and Their Implications to a Multi-factorial Model of AIDS” oleh Matt Irwin, MD.

Referensi-referensi medis untuk artikel ini juga ada banyak, seperti yang bisa Anda lihat di bawah artikel. Jika Anda ingin mempelajari lebih mendalam tentang topik ini, saya menyarankan Anda untuk membaca artikel berbahasa Inggris di link: http://www.aliveandwell.org/html/viral_load_tcell/low_cd4.html
Anda juga bisa melihat fakta lainnya bahwa kadar kolesterol seseorang juga bisa mempengaruhi jumlah CD4 dan fakta bahwa orang-orang sehat juga bisa memiliki CD4 yang rendah. Penasaran untuk mengetahui hal-hal ini lebih dalam lagi? Silahkan Anda membaca artikel saya yang berjudul “Awas, Jangan Tertipu dengan Test CD4!”.
Mungkin Anda tidak percaya dengan apa yang kami tulis, yang sangat bertentangan dengan pandangan umum. OK, tidak apa-apa. Demi keselamatan para Odha, bagi Anda yang tidak percaya, saya menyarankan Anda untuk melakukan uji coba mandiri (jangan menunggu orang lain atau pemerintah untuk melakukannya bagi Anda), yaitu sebagai berikut:
  1. Ujilah jumlah CD4 dari minimal 10 orang sehat, misal: dokter, tabib, olahragawan, dll dimana mereka juga menjaga pola makan sehat dan kadar kolesterol yang normal. Kita lihat berapa di antara mereka yang memiliki jumlah CD4 yang rendah.
  2. Ujilah jumlah CD4 dari minimal 10 orang hamil non-Odha yang sehat. Kita lihat berapa di antara mereka yang memiliki jumlah CD4 yang rendah.
Para kaum cendikiawan atau professional kesehatan biasanya hanya melakukan uji coba CD4 pada Odha. Cobalah melakukan uji coba pada beberapa orang non-Odha dan lihat bagaimana hasilnya!
Semoga artikel ini bisa membuka mata kita semua untuk tidak memakai Test CD4 sebagai tolak ukur kesehatan para Odha.
Healindonesia, Dt Awan (Andreas Hermawan)



.
Referensi:
Abbott Laboratories (1997). HIV Type 1, HIVAB, EIA. Abbot laboratories diagnostic division (668805/R5).
Alberts SC, Sapolsky RM, Altmann J (1992). Behavioral, endocrine and immunological correlates of immigration by an aggressive male into a natural primate group. Hormones and Behavior 26; 167-178.
Andreoli TE et al. (1993). Cecil essentials of medicine. W.B. Saunders; Philadelphia.
Antonaci S, Jirillo E, Stasi D, De Mitrio V, La Via MF, Bonomo L (1988). Immunoresponsiveness in hemophilia: lymphocyte- and phagocyte-mediated functions. Diagn Clin Immunol;5(6):318-25
Antonacci AC, Good RA, & Gupta S (1982). T-cell subpopulations following thermal injury. Surg Gynecol Obstet; 155(1); 1-8.
Ashton LJ, Carr A, Cunningham PH, Roggensack M, McLean K, Law M, Robertson M, Cooper DA, Kaldor JM (Jan 1998). Predictors of progression in long-term nonprogressors. Australian Long-Term Nonprogressor Study Group. AIDS Res Hum Retroviruses;14(2):117-21
Atzori (2000). In Vitro activity of HIV protease inhibitors against Pneumocystis carinii. J Infect Dis; 181; 1629-1634.
Azar ST, Melby JC (1993). Hypothalamic-pituitary-adrenal function in non-AIDS patients with advanced HIV infection. Am J Med Sci May;305(5):321-5.
Babameto G & Kotler DP (1997). Malnutrition in HIV infection. GI Clin North America: 26(2): 393-413.
Bacellar A, Munoz A, Miller EN, Cohen EA, Besley D (1994). Temporal trends in the incidence of HIV-1 related neurological diseases: Multicenter AIDS cohort study. Neurology ; 44:1892-1900.
Balter M (1997, November 21). How does HIV overcome the body’s T-cell bodyguards? Science 278: 1399-1400.
Beck JS, Potts RC, Kardjito T, and Grange JM (1985). T4 lymphopenia in patients with active pulmonary tuberculosis. Clin Exp Immunol, Volume 60, 49-54.
Beisel WR (1996, october). Nutrition in pediatric HIV infection: setting the research agenda. Nutrition and immune function: overview. J Nutr;126(10 Suppl):2611S-2615S
Berkman L & Syme S (1979). Social networks, host resistance, and mortality: a nine year follow up study of alameda county residents. Am J Epidemiol; 109(2): 186-203.
Bird AG (1996). Non-HIV AIDS: nature and strategies for its management. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 37 Suppl B, 171-183.
Blatt SP, Lucey CR, Butzin CA et al. (1991). Total lymphocyte count as a predictor of absolute CD4+ percentage in HIV infected persons. JAMA 269; 622-626.
Bonneau RH, Sheridan JF, Feng N, Glaser R (1993). Stress-induced modulation of the primary cellular immune response is mediated by both adrenal-dependent and adrenal independent mechanisms. Journal of Neuroimmunology; 42; 167-176.
Britton S, Thoren M, Sjoberg HE (December 20, 1975). The immunological hazard of Cushing’s syndrome. British Medical Journal 4; 678-680.
Burns DN, Nourjah P, Minkoff H, et al. (1996). Changes in CD4 and CD8 cell levels during pregnancy and post partum in women seropositive and seronegative for HIV-1. Am J Obstet Gyn; 174(5); 1461-1468.
Carney WP, Rubin RH, Hoffman RA, et al. (1981). Analysis of T lymphocyte subsets in CMV mononucleosis. The Journal of Immunology 126(6); 2114-2116.
Carr DJJ, Serou M (1995, November). Exogenous and endogenous opioids as biological response modifiers. Immunopharmacology; 31(1): 59-71
Cassone (1999). In vitro and in vivo anticandidal activity of HIV protease inhibitors. J Infect Dis; 180; 448-453.
Castilla JA, Rueda R, Vargas L, et al. (1989). Decreased levels of circulating CD4+ T lymphocytes during normal human pregnancy. J Reprod Immunol; 15; 103-111.
Castle S, Wilkins S, Heck E, Tanzy K, Fahey J (1995, September). Depression in caregivers of demented patients is associated with altered immunity: impaired proliferative capacity, increased CD8+, and a decline in lymphocytes with surface signal transduction molecules (CD38+) and a cytotoxicity marker (CD56+ CD8+). Clin Exp Immunol;101(3):487-93
CDC (1999). HIV/AIDS Surveillance Report. Centers for Disease Control, Atlanta, GA.
Chandra RK (1997, August). Nutrition and the immune system: an introduction. Am J Clin Nutr; 66(2) :460S-463S
Chirenda J (1999). Low CD4 count in HIV-negative malaria cases, and normal CD4 count in HIV-positive and malaria negative patients. Cent Afr J Med; Volume 45(9): page 248.
Choi S, Lagakos SW, Schooley RT, Volberding PA (1993). CD4+ lymphocytes are an incomplete surrogate marker for clinical progression in persons with asymptomatic HIV infection taking zidovudine. Ann Intern Med; 118; 674-680.
Christeff N, Gharakhanian S, Thobie N et al. (1992). Evidence for changes in adrenal and testicular steroids during HIV infection. J Acquired Imm Def Syn; 5: 841-846.
Concord Coordinating Committee (1994). Concorde: Randomised double-blind controlled trial of immediate and deferred Zidovudine in symptom-free HIV infection. Lancet ;343:871-881.
Coodley GO, Loveless MO, Nelson HD et al. (1994). Endocrine function in the HIV wasting syndrome. J Acquired Imm Def Syn; 7: 46-51.
Culver KW, Ammann AJ, Partridge JC, Wong DF, Wara DW, Cowan MJ (1987, August). Lymphocyte abnormalities in infants born to drug-abusing mothers. J Pediatr;111(2):230-5.
Dalakas MC, Illa I, Pezeshkpour GH, Laukaitis JP, Cohen B, Griffin JL. (1990, April 19) Mitochondrial Myopathy caused by long-term Zidovudine therapy. New England Journal of Medicine ; 322(16):1098-1105.
Des Jarlais DC, Friedman SR, Marmor M et al. (1987, July). Development of AIDS, HIV seroconversion, and potential cofactors for CD4 cell loss in a cohort of intravenous drug users. AIDS 1(2): 105-111.
Duesberg PH (1992). AIDS acquired by drug consumption and other non-contagious risk factors. Pharmacology and Therapeutics ;55:201-277.
Duesberg P, Rasnick D (1998). The AIDS dilemma: drug diseases blamed on a passenger virus. Genetica; 104(2): 85-132
Engle GL (1971). Sudden and rapid death during psychological stress: Folklore or folk wisdom? Ann Intern Med 74; 771-782.
Engle GL (1968). A life setting conducive to illness: the giving-up-given-up complex. Bull Menninger Clin 32; 355-365.
Epitope, Organon Teknika (1997). HIV Type 1 Western Blot kit. PN201-3039 Revision #6, page 11.
Feeney C, Bryzman S, Kong L, Brazil H, Deutsch R, Fritz LC (1995, Oct). T-lymphocyte subsets in acute illness. Crit Care Med; 23(10):1680-5.
Fox CH (1996). The pathogenesis of HIV-disease. J Nutr; 126(10 Suppl): 2608S.
Gallo RC, Salahuddin SZ, Popovic M, et al (1984). Frequent Detection and Isolation of Cytopathic Retro-viruses (HTLV-III) from Patients with AIDS and at Risk for AIDS. Science ; 224:500-502.
Garrett L (2001). Change in Guidelines for HIV; U.S. officials to tout new treatment policy. Newsday (New York, NY), January 17, 2001, Wednesday, page A22.
Goldman (2000). Cecil Textbook of Medicine, 21st edition, W.B. Saunders, Inc.
Goodkin K, Feaster DJ, Asthana D, et al. (1998, May). A bereavement support group intervention is longitudinally associated with salutory effects on the CD4 cell count and number of physician visits. ClinDiagn Lab Immunol: 5(3); 382-91.
Guyton AC & Hall JE (1996). Textbook of Medical Physiology. Saunders; New York
Harbige LS (1996). Nutrition and immunity with emphasis on infection and autoimmune disease. Nutrition and Health: 10; 285-312.
Hegde HR, Woodman RC, Sankaran K (1999, March). Nutrients as modulators of anergy in acquired immune deficiency syndrome. J Assoc Physicians India; 47(3): 318-25
Hamilton JD et al (1992). A controlled trial of early versus late treatment with Zidovudine in symptomatic HIV infection. New England Journal of Medicine ;326:437-443.
Herbert TB & Cohen S (1993). Stress and immunity in humans: A meta-analytic review. Psychosomatic Medicine; 55;364-379.
House et al. (1988). Social relationships and health. Science ;241:540-545.
Hughes MD, Daniels MJ, Fischl MA et al. (1998). CD4 cell count as a surrogate endpoint in HIV clinical trials. AIDS; 12; 1823-1832.
Junker AK, Ochs HD, Clark EA et al. (1986, Sep). Transient immune deficiency in patients with acute Epstein-Barr virus (EBV) infection. Clin Immunol Immunopathol 40(3); 436-446.
Kennedy S, Kiecolt-Glaser JK, Glaser R (1988 Mar). Immunological consequences of acute and chronic stressors: mediating role of interpersonal relationships. Br J Med Psychol; 61(Pt 1):77-85.
Keusch GT & Thea DM (1993). Malnutrition in AIDS. Med Clin North America: 77(4); 795-813.
Kiecolt-Glaser JK, Ricker D, George J (1984). Urinary cortisol levels, cellular immuno-competency, and loneliness in psychiatric inpatients. Psychosomatic Medicine; 46(1): 15-23.
Kiecolt-Glaser JK, Dura JR, Speicher CE et al. (1991). Spousal caregivers of dementia victims: Longitudinal changes in immunity and health. Psychosomatic Medicine; 53;345-362.
Kiecolt-Glaser JK, Glaser R (1992). Acute, psychological stressors and short-term immunological changes. Psychosomatic Medicine; 54;680-685.
Kotze M (1998). Ability of the total lymphocyte count to accurately predict the CD4+ T-cell count in a group of HIV1-infected South African patients. Int Conf AIDS – 1998; 12: 810 (abstract no. 42187)
Laudenslager M, Ryan SM, Drugan RC, et al. (1983). Coping and immunosuppression: Inescapable but not escapable shock suppresses lymphocyte proliferation. Science, 221;568-570.
Learmont J, Tindall B, Evans L, et al (1992). Long-term symptomless HIV-1 infection in recipients of blood products from a single donor. Lancet ;340:863-867.
Leserman J, Jackson ED, Petitto JM, et al. (1999) Progression to AIDS: the effects of stress, depressive symptoms, and social support. Psychosomatic Medicine; 61; 397-406.
Lewi DS, Kater CE, Moreira AC (1995 Mar-Apr). Stimulus of the hypophyseal-adrenocortical axis with corticotropin releasing hormone (CRH) in acquired immunodeficiency syndrome. Evidence for activation of the immune-neuroendocrine system (article in Portuguese). Rev Assoc Med Bras;41(2):109-18.
Lortholary O, Christeff N, Casassus P, Thobie N, Veyssier P, Trogoff B, Torri O, Brauner M, Nunez EA, Guillevin L (1996 Feb). Hypothalamo-pituitary-adrenal function in human immunodeficiency virus-infected men. J Clin Endocrinol Metab ;81(2):791-6
Mackinnon LT (1997). Immunity in athletes. Int J Sports Med;18 Suppl 1:S62-8
Madhok R, Gracie A, Lowe GD, Burnett A, Froebel K, Follett E, Forbes CD (1986, Oct 18). Impaired cell mediated immunity in haemophilia in the absence of infection with human immunodeficiency virus. Br Med J (Clin Res Ed);293(6553):978-80
Marchisio P, Esposito S, Zanchetta N, Tornaghi R, Gismondo MR, Principi N ( Aug 1998). Effect of superimposed infections on viral replication in human immunodeficiency virus type 1-infected children. Pediatr Infect Dis J;17(8):755-7
McChesney MB & Oldstone A (1987). Viruses perturb lymphocyte functions. Ann Rev Immunol, Volume 5: 279-304.
McDonough RJ, Madden JJ, Falek A, et al. (1980). Alteration of T and null lymphocyte frequencies in the peripheral blood of human opiate addicts: In Vivo evidence for opiate receptor sites on T lymphocytes. J Immunol: 125(6); 2539-43.
Membreno L, Irony I, Dere W, Klein R, Biglieri EG, Cobb E (1987 Sep). Adrenocortical function in acquired immunodeficiency syndrome. J Clin Endocrinol Metab;65(3):482-7.
Mientjes GH, Miedema F, van Ameijden EJ, Hoek AA, et al. (1991). Frequent injecting impairs lymphocyte reactivity in HIV-positive and HIV-negative drug users. AIDS: 5; 35-41.
Momose JJ, Kjellberg RN, Kliman B (1971). High incidence of cortical atrophy of the cerebral and cerebellar hemispheres in Cushing’s disease. Radiology 99; 341-348. Grau O, Tuppin P, Slizewicz B, Launay V, Goujard C, Bahraoui E, Delfraissy JF,
Montagnier L (1998). A longitudinal study of seroreactivity against Mycoplasma penetrans in HIV-infected homosexual men: association with disease progression. AIDS Res Hum Retroviruses; 20; 14(8): 661-7
Nishijima MK, Takezawa J, Hosotsubo KK et al. (1986). Serial changes in cellular immunity of septic patients with multiple organ-system failure. Critical Care Medicine, Volume 14(2); 87-91.
Norbiato G, Bevilacqua M, Vago T, Clerici M (1996, July). Glucocorticoids and interferon-alpha in the acquired immunodeficiency syndrome. J Clin Endocrinol Metab;81(7):2601-6
Norbiato G, Bevilacqua M, Vago T, Taddei A, Clerici (1997, Oct). Glucocorticoids and the immune function in the human immunodeficiency virus infection: a study in hypercortisolemic and cortisol-resistant patients. J Clin Endocrinol Metab; 82(10): 3260-3.
O’Mahoney JB, Palder SB, Wood JJ, et al. (1984). Depression of cellular immunity after multiple trauma in the absence of sepsis. J Trauma: 24(10); 869-75.
O’Mahoney JB, Wood JJ, Rodrick ML, Mannick JA (1985). Changes in T lymphocyte subsets following injury. Ann Surg; 202(5); 580-586.
Ornish D (1997). Love and Survival: the Scientific Basis for the Healing Power of Intimacy; Harper Collins; New York.
Pariante CM, Carpiniello B, Orru MG, Sitzia R, Piras A, Farci AM, Del Giacco GS, Piludu G, Miller AH (1997). Chronic caregiving stress alters peripheral blood immune parameters: the role of age and severity of stress. Psychother Psychosom;66(4):199-207.
Polk HC, George CD, Cost K, et al. (1986). A systematic study of host defense processes in badly injured patients. Ann Surg; 204; 282-299.
Robbins SL, Cotran RS, Kumar V (1994). Pathologic Basis of Disease (5th Edition); W. B. Saunders; Philadelphia, PA.
Roederer, M (1998). Getting to the HAART of T cell dynamics. Nature Medicine 4: 145-146.
Sapolsky RM, Uno H, Rebert CS, Finch CE (1990 Sep). Hippocampal damage associated with prolonged glucocorticoid exposure in primates. J Neurosci ; 10(9):2897-902.
Sapolsky RM (1996, August 9). Why stress is bad for your brain. Science 273; 749-750.
Schmitz SH, Scheding S, Voliotis D, Rasokat H, Diehl V, Schrappe M (1994). Side effects of AZT prophylaxis after occupational exposure to HIV-infected blood. Annals of Hematology; 69:135-138.
Shallenberger F (1998). Selective compartmental dominance: an explanation for a non-infectious, multifactorial etiology for AIDS. Medical Hypotheses: 50; 67-80.
Sonnabend JA, Witkin SS, Purtilo DT (1984). A multifactorial model for the development of AIDS in homosexual men. Ann N Y Acad Sci; 437: 177-83
Sridama V, Pacini F, Yang S, et al. (1982). Decreased levels of helper cells: A possible cause of immunodeficiency in pregnancy. New Eng J Med: 307(6); 352-356.
Starkman MN, Gebarski SS, Berent S et al. (1992). Hippocampal formation volume, memory dysfunction, and cortisol levels in patients with Cushing’s syndrome. Biological Psychiatry; 32: 756-765.
Stefanski V, Engler H (1998 Jul). Effects of acute and chronic social stress on blood cellular immunity in rats. Physiol Behav;64(5):733-41
United States Pharmacopeial Convention (1996). USP DI: Drug Information for the Health Care Professional, 16th Edition. pages 3032-3034.
Verde TJ, Thomas SG, Moore RW, et al. (1992). Immune responses and increased training of the elite athlete. J Appl Physiol; 73(4); 1494-9.
Verges B, Chavanet P, Desgres J, Vaillant G, Waldner A, Brun JM, Putelat R (1989 Nov). Adrenal function in HIV infected patients. Acta Endocrinol (Copenh);121(5):633-7.
Walton C (1999). What makes a survivor? Continuum 5(5); 16-18.
Williams RC, Koster FT, Kilpatrick KA (1983, November). Alterations in lymphocyte cell surface markers in various human infections. Am J Med: Volume 75; 807-816.

sumber : http://aidsalternative.com/2011/12/06/banyak-kondisi-non-aids-yang-bisa-menyebabkan-cd4-rendah/ 

CEGAH HIV SETELAH BEHUBUNGAN BERESIKO - BELUM ADA YANG GAGAL

Disclaimer :

Untuk Hasil Sembuh Fungsional Permanen Umumnya di butuhkan pengobatan selama 3-6 bulan pengobatan. Faktor kondisi tubuh seseorang dan suport keluarga sangat berpengaruh terhadap reaksi kesembuhan. Simpanlah alamat & nomor HP kami 082332222009